Sumber : kompasiana.com |
Tatkala
Orang Tua (Terlalu) Mengeskploitasi Anak Disabilitas
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag
Seperti biasa, saya melaksanakan tugas sebagai pendidik di
salah satu sekolah penyandang disabilitas di Lampung, kebetulan di hari Jum’at
ini saya menyampaikan materi tentang pendidikan karakter dan siswa-siswi
memberikan tanggapannya terhadap cerita atau kisah terkait sikap seseorang
tatkala dibenturkan dengan tugas-tugas harian. Dengan antusiasmenya para siswa,
menjawab dengan bahasa apa adanya, semampu mereka mampu memahami kalimat saya
dan menerjemahkan menjadi kata-kata untuk menilai sikap dari seseorang yang
saya ceritakan. Saya menggunakan metode ini agar saya bisa menggali lebih dalam
pengetahuan dan penilaian mereka terhadap sikap seseorang.
Seperti biasa, tatkala saya meminta anak-anak tersebut
menjawab, mereka mampu menjawab dengan tanggapan baik hati, jujur, menolong
orang tua, bertanggung jawab, namun adakalanya menanggapi dengan kata “jelek”
maksudnya sikapnya tidak baik. Meskipun kata-kata tersebut teramat sederhana,
namun saya memahaminya sebagai sebuah penilaian tentang tulus tatkala mereka diminta menanggapi
cerita dan kisah yang seringkali mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah anak-anak tersebut menanggapi cerita saya, kemudian
secara bergantian mereka menceritakan aktifitas sehari-hari yang berkaitan
dengan pengamalan karakter dan sikap yang baik atau buruk. Dan siswa lain pun
menanggapi cerita teman-temannya.
Seiring proses bercerita dan menanggapi cerita tersebut,
secara polos dan jujur mereka menceritakan bagaimana mereka melakukan pekerjaan
rumah selayaknya asisten rumah tangga. Sepulang sekolah mereka langsung diminta
mencuci piring, memasak dan menyapu halaman, bahkan adapula yang tidak sempat
lagi beristirahat karena orang tua (ibu dan saudaranya) justru memerintahkan si
anak untuk melakukan pekerjaan ala PRT. Tanpa mempertimbangkan kelelahan atau
rasa letih setelah setengah hari mereka belajar. Tidak hanya
pekerjaan-pekerjaan ringan, karena kegiatan menyiapkan masakan dan mencuci
pakaianpun menjadi kewajibannya. Anak-anak tuna grahita yang setengahnya
dipaksa untuk melakukan sesuatu yang seharusnya orang tua memberikan toleransi.
Sebuah sikap yang teramat berlebih-lebihan yang dilakukan
orang tua mereka. Mereka mendidik anak-anak ini teramat keras, bahkan terlalu
keras sampai tidak memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat meski hanya
sesaat saja. Meskipun saya memahami apa yang dilakukan bertujuan agar anak-anak
ini lebih mandiri, tapi karena terkesan mengeksploitasi sepertinya amat tak
patut.
Anak-anak penyandang disabilitas, khususnya anak-anak tuna
grahita memiliki kelemahan secara fisik dan psikis, selain itu mereka memiliki
kelemahan intelegensi di bawah rata-rata. Jadi sepatutnya para orangtua
mendidik dan melatih yang sesuai dengan karakter mereka. Tidak terkesan
memperkerjakan mereka seperti halnya pembantu yang harus melakukan pekerjaan
sendirian. Bahkan dari cerita anak-anak tersebut ada pula yang mengeluh
merasakan sakit perut selama berbulan-bulan (menurut saya gejala maag kronis)
setelah saya selidik ternyata akibat dari pola makan yang tidak teratur. Di
saat makan siang mereka harus menikmati hidangan, mereka harus mengerjakan
pekerjaan rumah tanpa diberi toleransi istirahat, tidur dan menikmati makan
siang. Tapi justru para orang tua ini memerintahkan mereka mengerjakan semua
pekerjaan rumah ala pembantu.
Karena saya ingin memastikan bagaimana anak-anak ini diperlakukan
di rumah, maka saya melakukan konfirmasi terhadap para orang tua mereka. Dan
benar di antara orang tua mereka justru menganggap anak penyandang disabilitas
ini seperti pembantu yang harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Sebuah
kondisi yang teramat miris.
Rendahnya
Perhatian Orang Tua Terhadap Kondisi Anak
Selain terlalu berlebihannya orang tua dalam “memperkerjakan”
anak di rumah, seringkali saya melihat anak-anak ini kurang mendapatkan
perhatian. Misalnya kondisi pakaian yang seringkali terlihat kotor, adapula
dari mereka yang tak memakai seragam sesuai hari yang sudah ditentukan, dengan
alasan pakaian belum dicuci, padahal seharusnya enam hari yang lalu pakaian
tersebut sudah disiapkan sebelumnya.
Melihat kondisi ini, saya selaku guru kelasnya berusaha
menyampaikan surat peringatan atau sekedar saran melalui buku penghubung yang
dikirimkan kepada orang tua siswa, dengan tujuan orang tua semakin
memperhatikan kondisi anaknya. Setelah saya kirim peringatan atau
pemberitahuan, satu atau dua hari si anak terlihat rapih dan disiplin dalam
berpakaian, tapi seminggu kemudian terlihat lagi kebiasaan sebelum diberikan
buku penghubung. Selain itu orang tua selalu saya ajak berdiskusi mengenai
kondisi anak dan bagaimana cara orangtua memberikan perhatian kepada
anak-anaknya. Meskipun cara ini cukup efektif, sayang sekali hanya berjalan
beberapa pekan, selebihnya orang tua kembali berkurang perhatiannya.
Dan yang lebih membuat saya miris adalah tatkala pemerintah
memberikan Bantuan Siswa Miskin (BSM) justru para orang tua menggunakannya
untuk keperluan lain yang tidak berkaitan dengan urusan pendidikan
anak-anaknya. Seperti membeli keramik, pakaian dan lain-lain yang sama sekali
tidak berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anaknya. Kontan saja, meskipun
setiap tahun anak-anak ini mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui sekolah,
justru orangtuanyalah yang banyak menikmati ketidak mampuan anak-anaknya.
Mereka menganggap anak-anak mereka sebagai alat pencetak uang dan sedikit
sekali tanggung jawab mereka terkait bantuan dari pemerintah ini.
Wajar saja
setelah saya amati anak-anak ini masih saja terlihat kumuh, ada saja siswa yang
tidak berganti pakaian dan buku-buku serta alat belajarmereka yang selalu saja
tidak tercukupi.
Fakta inilah yang membuat saya prihatin, tatkala pemerintah
sudah memperhatikan kondisi anak-anak disabilitas justru para orang tua
memanfaatkan anak-anak mereka untuk memperoleh kekayaan. Dan lebih dari itu
mereka menganggap anak-anak disabilitas ini sebagai anak yang bisa dimanfaatkan
tenaganya demi meringankan pekerjaan mereka.
Semoga saja kedepannya para orang tua penyandang disabilitas
tetap memanusiakan mereka seperti anak-anak sebayanya. Memberikan mereka
kesempatan untuk berkembang dan bersosialisasi tanpa diberikan beban yang melebihi
kemampuan mereka.
Salam
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.kompasiana.com
Komentar