Berkaca Pada Hukum Alam, Sebab dan Akibat


Percaya atau tidak, semua makhluk akan mengalami hukum sebab akibat. Siapa yang berbuat maka dialah yang bertanggung jawab. Bahkan tak hanya bagi manusia saja hukum ini berlaku, seluruh makhluk di kolong langit ini akan menerima konsekuensi dari hukum itu. Mau suka atau tidak pun tak kan bisa berpaling dari hukum kasualitas ini.
 
Kadang persoalannya sepele misalnya saking malasnya kita menyingkirkan ranting di jalan padahal kita melewati jalan tersebut, maka cepat atau lambat tanpa kita sadari kita akan terganggu oleh adanya ranting, bahkan bukan hanya kita sendiri, seluruh orang yang melewati jalan itupun akan menerima dampak dari kemalasan kita.

Begitu pula ketika kita malas membuang sampah di tempatnya, kita main lempar kemana kita suka. Entah di sungai, jalanan atau kita lempar saja di sudut-sudut ruangan di mana tempat, maka lambat laun kita akan menerima akibat dari kemalasan kita. Timbullan penyakit dan bencana alam di mana-mana.

Itulah sebuah gambaran sederhana ketika kita harus menaati hukum alam sebagai manifes dari hukum Tuhan. Jangankan di akhirat kita akan mendapatkan balasan atau akibat dari perbuatan kita, di dunia saja kita sudah tersakiti dan terzalimi oleh ulah kita sendiri.

Dalam agama kami berniat mencegah diri dari perbuatan buruk sudah dianggap bernilai ibadah dan berpahala, apalagi jika kita benar-benar ingin melakukan perbuatan yang baik. Maka hasilnya tentu akan kita dapatkan. Tak didunia di alam keabadian pun akan dirasakan.

Bahkan dalam sabda Nabi kami mengatakan “jika engkau tidak bisa berbicara yang baik, maka lebih baik diam.” Diam lebih baik daripada berkata-kata yang justru akan menyakiti orang lain. Menyakiti diri sendiri saja tidak boleh apalagi menyakiti orang lain.

Kembali pada hukum kausalitas, dan kita semua sudah mempelajarinya selama pernah menuntut ilmu di bangku sekolah. Pun dalam keseharian kita selalu mendapatkan wejangan bahwa apa yang diperbuat akan selalu mendapatkan konsekuensinya. Menanam satu kebaikan maka akan tumbuh tujuh kebaikan dan dari tujuh kebaikan itu akan berlipat lagi menjadi kebaikan-kebaikan yang lain. 

Begitu pula dari satu kejahatan, maka akan tumbuh tujuh kejahatan lain dan terus menerus menjadi kejahatan-kejahatan lain yang akan datang begitu saja.

Seperti misalnya, kasus makian Florence Sihombing yang berdampak pada makian lain dari sejumlah netizen. Tanpa disuruh dan diminta semua orang membully karena perkataannya yang kurang baik di media sosialnya. Itulah gambaran nyata bahwa ada hukum sebab akibat, dan ada hukum bahwa satu kejahatan akan mendapatkan balasannya. Tak hanya diakhirat tapi di duniapun ada konsekuensinya.

Boleh kita beranggapan bahwa hanya Tuhanlah yang mengadili sebuah kejahatan, tapi faktanya sudah jelas bahwa tidak ada yang bisa luput dari kontrol sosial. Kita memukul, suatu saat kita dipukul, begitu juga kita memaki, tanpa sadar ada banyak orang yang memaki kita.

Kita mau protes? Kepada siapa? Mau protes kepada Tuhan kenapa saya dibully? Kenapa saya disakiti banyak orang padahal saya hanya menulis status di media sosial? Tuhan tidak adil. Manusia pada jahat-jahat? Padahal semuanya berawal dari kita sendiri sumber persoalan yang dianggap kecil dan sepele itu.

Oleh karena itu jangan salahkan Tuhan, dan jangan salahkan orang lain yang telah membully kita karena itu adalah sebuah risiko kehidupan. Yang perlu disesali adalah kenapa kita melakukannya?
Seperti halnya ketika kita terjatuh karena kerikil kecil. Kenapa saya terpelanting dan jatuh dari motor saya? Tentu saja karena ketidak pedulian kita akan keselamatan kita sendiri. Kadang orang yang sudah berhati-hati dalam berbicara dan bertindak tutur saja masih keliru apalagi yang sengaja melakukan kekeliruan. Itulah fungsi logika dan hati untuk memilih mana yang terbaik menurut kita dan orang lain.

Manusia suka yang bebas tanpa diatur-atur

Manusia, kalau boleh dibilang semuanya, pastilah ingin kehidupan yang bebas. Segalanya tidak ingin diatur-atur dan dilarang-larang. Tak menginginkan kehidupannya dibatasi. Semua ingin dilakukannya tanpa mendapatkan pertentangan dan protes dari pihak lain. Itu riil dan semua pastilah mengalami.

Tapi apakah kita puas juga tatkala kita hanya hidup sebatangkara, tak ada orang lain yang akan menilai dan menentang prilaku kita yang buruk. Atau tidak ada orang yang memuji dan membalas kebaikan kita? Puaskah kita hidup tanpa orang lain? Mau makan, tidur, ngamuk-ngamuk, berpakaian semaunya tak ada yang melihat kita. Kita tertawa pun tak ada yang mendengarkan. Dan kita marahpun dengan siapa? Kita melakukannya sendirian. Tak ada yang melarang dan membenci prilaku buruk kita. Tidakkah ini sama halnya kita hidup dalam ketidak warasan?

Kita memaki, berbicara kotor, berpakaian apa saja yg penting semau gue, bertingkah seolah-olah tidak ada orang lain. Yang beginian hanyalah orang yang tak berlogika dan tak berhati. Padahal orang yang tak berlogika dan tak berhati hanyalah orang “sinting” yang tak waras.

Hidup ini memang bisa membahagiakan dan bisa menyengsarakan, jika kita tidak bisa memilih mana yang terbaik menurut diri sendiri dan orang lain, maka jangan salahkan alam jika menghukum kita.

Salam

Artikel ini diposting pertama kali di www.kompasiana.com

Komentar