ExtraordinaryNews Menulis bagi saya adalah bagian yang paling menyenangkan,
meskipun tulisan tersebut kadangkala tidak sebaik para penulis profesional yang
memang terjun dalam dunia kepenulisan, semisal penulis buku, majalah atau
buku-buku ilmiah sekalipun. Karena menjadi penulis profesional ala penulis
tersebut tentunya membutuhkan proses yang tidak mudah dan tentu saja
membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kecintaan saya dalam tulis menulis diawali karena hobinya
saya dalam mengoleksi buku-buku dari berbagai genre, bahkan semenjak sekolah
saya sudah terbiasa dengan membaca, secarik kertas koran pun akan saya baca
karena begitu besarnya rasa ingin tahu akan sebuah tulisan. Bahkan bungkus
terasi pun menjadi media yang sangat menarik untuk saya jadikan sahabat tatkala
waktu-waktu senggang.
Mungkin kehobian saya membaca inilah sejak kecil saya pun
disebut sebagai kutu buku, alias maniak membaca. Bahkan istri saya pun sering
mengatakan saya seorang kutu buku, lantaran semasa menempuh pendidikan beliau
sering melihat saya berada di perpustakaan, mencatat dan membaca banyak
literatur. Meskipun alasan awalnya saya terlalu sibuk di perpustakaan adalah
karena saya tergolong mahasiswa sederhana, atau kalau boleh disebut mahasiswa
kurang mampu. Karena modal untuk menuntut ilmu adalah modal kemauan, dan mengabaikan
rasa malu demi sebuah pengetahuan.
Karena sulitnya membeli buku-buku materi kuliah, saya
berusaha meminimalisir kelemahan saya dibidang referensi lantaran tak mampu
membeli buku yang mahal, maka saya memutuskan untuk menuliskannya secara
teratur teori-teori yang saya anggap sangat penting untuk dipelajari dalam
studi saya. Tidak hanya istri dan orang-orang di sekitar saya, karena petugas
perpustakaan pun tak pernah lupa bahwa saya adalah salah satu mahasiswa yang
doyan membaca dan menulis referensi di perpustakaan tersebut. Sebuah
kenang-kenangan indah yang mampu membantu saya menyelesaikan studi meski dengan
modal kemauan. Benar kata pepatah ada kemauan tentu ada jalan. Tak hanya lulus
studi, karena ketertarikan saya pada dunia buku membawa saya kepada pasangan
hidup..
Berawal dari hobi membaca itulah menulis menjadi bagian yang
menyenangkan, bahkan berandai-andai kapan tiba saatnya saya bisa menulis buku
yang bisa saya persembahkan pada dunia pendidikan? Buku yang bermanfaat bagi
semua orang, khususnya anak-anak didik saya, anak-anak ABK yang tentu saja
sebagai wahana untuk belajar memahami dunia lain yang berbeda dari pendidikan
yang saya tempuh. Semoga saja bukan hanya mimpi.
Guru menulis, bukan
hanya kewajiban, tapi sebuah kebutuhan.
Menjadi penulis-meskipun belum masuk dalam kategori penulis
profesional- adalah sebuah kebutuhan. Bukan hanya sebuah kewajiban karena
faktor tuntutan jenjang karir atau kenaikan pangkat tertentu. Tapi murni
semata-mata keinginan berbagi dan menyelami khasanah pengetahuan untuk kemudian
dipersembahkan kepada orang lain agar bisa bermanfaat bagi sesama.
Meskipun demikian, tak sedikit guru yang merasa alergi
ketika dilibatkan pada dunia tulis menulis.
Bukan bermaksud merendahkan para
abdi negara ini, lantaran mereka tidak terbiasa menuliskan konsep yang bisa
dibagi untuk khalayak banyak. Pemicu awalnya adalah karena guru, termasuk saya
sendiri terbiasa menyampaikan materi berdasarkan diktat, buku pelajaran atau
buku-buku referensi yang sudah ada tanpa berpikir bagaimana menyampaikan
sesuatu berdasarkan karya tulis sendiri.
Kami tidak terbiasa membuat tulisan
sederhana, apalagi tulisan ilmiah yang tentu saja dianggap sebagai momok bagi kebanyakan
guru. Tentu hal ini diawali dari tidak diawali dari sebuah kecintaan dalam
membaca dan niat awal ingin berbagi. Karena bagaimanapun sulitnya menghasilkan
karya tulis, tentu diawali dari keengganan untuk memulai dan mencintai.
Padahal, seberapa berat untuk memulai membuat
coretan-coretan kecil, adalah tak sebanding dari kepuasan batin dan kebanggaan
karena bisa mempersembahkan sebuah tulisan bermanfaat untuk orang lain. Seperti
berakit-rakit ke hulu, dan berenang-renang ke tepian. Bersusah-susah dahulu
menulis meskipun dengan waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya sekalipun tapi akan
menjadi kebahagiaan tersendiri ketika sudah memperoleh hasilnya. Hasil karya
tulisan yang bermanfaat bagi sesama.
Lalu, apakah karya tulis kita semata-semata ingin mendapatkan
keuntungan secara materi? Tentu bukan materi menjadi tujuan. Lantaran semua
diawali dari niatan awal ingin menyampaikan pengetahuan kepada orang lain. Bahkan
jika dianalogikan ilmu itu seperti dalamnya lautan yang tak pernah kering
meskipun airnya digunakan sebagai tinta dari coretan-coretan tulisan kita.
Begitu mudahnya guru menyampaikan materi pelajaran di kelas
dengan ceramah, tapi akan banyak siswa yang semakin bosan, tapi betapa sulitnya
menulis sebuah buku, tapi betapa banyak orang yang rela membaca buku-buku atau
tulisan tersebut hingga berjam-jam atau berhari-hari lamanya hingga tuntas.
Tanpa sadar atau tidak, selain menyampaikan pengetahuan dan pengalaman,
ternyata kita sudah membentuk karakter terhadap pembacanya. Mudah-mudahan
karakter yang baiklah yang akan ditanamkan dalam sanubari mereka.
Seorang guru adalah menjadi corong sebagai sosok yang digugu
dan ditiru, attitude (sikap), behaviour (perilaku) dan character
(karakter) sangat mungkin ditiru oleh orang-orang di sekitarnya, lebih khusus
lagi oleh anak didiknya. Membiasakan diri dan membudayakan menulis dan membaca
menjadi tradisi yang amat indah untuk digalakkan di tengah-tengah gempuran
tekhnologi yang sedikit banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan khususnya
peserta didik.
Sebuah sikap, perilaku, dan karakter yang baik mestilah
ditunjukkan agar menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya serta
lingkungannya, apalagi dalam sub bagian kompetensi guru adalah mampu melakukan
penelitian ilmiah demi suksesnya proses pendidikan bagi anak didiknya. Sebagaimana
empat kompetensi yang dimiliki guru adalah kompetensi pedagodik, kompetensi
Apalagi dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen Bab III huruf a. menyatakan bahwa seorang guru harus memiliki bakat,
minat, panggilan jiwa dan idealisme, dan huruf b. menyatakan bahwa guru
hendaklah memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan dan
ketakwaan dan akhlak mulia. Selain itu sebagai bagian kompetensi sosial,
seorang guru harus mampu berkomunikasi lisan, tulisan / atau isyarat. Dengan
kata lain, tidak ada alasan bagi guru untuk tidak menulis agar tugasnya sebagai
fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran dan pemberi inspirasi
belajar bagi peserta didik adalah sebuah kebutuhan.
Sehingga dengan dasar undang-undang di atas, menjadi pijakan
yang pasti bahwa menjadi guru adalah karena bakat, minat, panggilan jiwa serta
idealisme dengan disertai niatan awal ingin turut memajukan mutu pendidikan,
keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia. Tentu saja dengan menulis
langkah-langkah tersebut dapat dilakukan meskipun dimulai dari persoalan yang
kecil sekalipun.
Guru Menulis, Melatih
Kepekaan dan Kecerdasan Sosial
Sebagai seorang guru, tentu saja menjadi bagian dari sistem
pendidikan yang secara faktual pun turut
menjadi bagian dari dinamika masyarakat. Hal ini tercermin ketika guru mau
mengembangkan pengetahuannya serta turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang
ia temukan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lingkup bidang tugasnya di
dalam kelas.
Sebagaimana tercermin Undang-undang No 12 tahun 2012 pasal 1
ayat 9 menyatakan bahwa dari Tri dharma perguruan tinggi, di mana
manivestasinya adalah lahirnya para guru sebagai output dari perguruan tinggi
yang mau mengabdikan diri dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
“Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut
Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (UU No. 12 Tahun 2012, Pasal 1
Ayat 9)”
Penelitian dan mencari solusi terkait persoalan pendidikan
bukan hanya peran dari perguruan tinggi yang mencakup dosen dan mahasiswanya,
tapi para guru yang juga sama-sama mengemban amanah negara ini dalam sebuah
penelitian. Guru yang seperti dipahami sebagai sosok yang dianggap sekelompok
orang yang kurang peka terhadap persoalan negerinya karena tuntutan akan
kesejahteraan yang selalu disuarakan, akan tetapi benar-benar turut andil dan
menjadi bagian penting dari sistem pendidikan yang juga menjadi motivator,
mobilisator serta dinamisator pendidikan Indonesia yang benar-benar maju dan
setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Sebagaimana program Tanoto Foundation yang turut serta
menjadi bagian pembangunan pendidikan di Indonesia.
Bagaimana para guru ini menunjukkan solusi alternatif kepada
masyarakatnya, tak lain dan tak bukan dengan menulis dan menjadi bagian dari
dunia tulis menulis dan memasyarakatkan membaca dan menulis bagi generasi muda.
Menulis adalah sebagai kewajiban, pun sebagai kebutuhan.
Bahkan jika ditelaah secara mendalam menulis merupakan bagian integral dari
proses pendidikan sekaligus mengemban amanah dalam memperjuangkan semangat
pendidikan yang terbarukan, lahirnya anak-anak Indonesia yang kualitas yang semakin
baik serta guru-guru yang concern dalam dunia pendidikan. Seperti halnya apa
yang dilakukan oleh Bapak Tanoto
Sukanto, sosok pendiri Tanoto
Foundation yang dengan semangat berbagi telah dan masih terus mendukung
kemajuan pendidikan di Indonesia. Di mana “secara khusus Tanoto
Foundation telah menetapkan untuk mengurangi kesulitan dan memutus siklus kemiskinan antar generasi melalui program pendidikan dan pemberdayaan.”
Semoga saja semangat para guru dalam menulis, diikuti oleh semangat yang semakin
tinggi dalam menemukan dan memperdalam pengetahuan baru sehingga khasanah
keilmuan semakin mantap dan mendalam demi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Salam
Komentar