Radikalisme Berpotensi Menyerang Anak-anak Kita, Ini Solusinya

Fenomena radikalisme di Indonesia semakin marak terjadi, seperti yang beberapa hari masih hangat-hangatnya dibicarakan tentang eksodusnya WNI ke negara Suriah demi bergabung dengan ISIS. Menyusul dengan berita tentang telah masuknya gerakan ini di wilayah Lampung khususnya Kab. Mesuji, seperti diberitakan oleh Metro TV, (21/3). 

Tentu kejadian ini membuat bangsa ini prihatin, baik bagi masyarakat yang bersinggungan langsung dengan para korban, bahkan lebih dari itu menjadi catatan penting bahwa pemerintah Indonesia harus mawas diri dan introspeksi diri mengapa fenomena radikalisme yang disebarkan oleh ISIS bisa diikuti oleh warga negaranya.

Ancaman ISIS tidak bisa dianggap sepele, karena secara terang-terangan gerakan radikalisme yang disebarkan ternyata menuai banyak korban, tak hanya masyarakat yang berkonflik langsung dengan ISIS, karena umat Islam sendiri banyak yang dibidik dan dijadikan anggota rekrutan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, tak hanya merekrut umat Islam yang notabene kurang begitu memahami konsep jihad ini, karena TNI, Polri dan Banser pun menjadi sasaran ancaman dari kelompok yang sering disebut sebagai kaum ekstrimis.

Dengan banyaknya umat Islam yang tergerus keyakinannya dengan mengikuti ajaran ISIS ini, tentu membuka mata batin kita, sejauh mana peran pemerintah, khususnya kementrian agama dan para ulama dalam mensikapi dan mengambil langkah-langkah tepat untuk mengendalikan penyebaran gerakan yang tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Apakah pemerintah sudah benar-benar mengantisipasi dan bekerja sekuat tenaga menyadarkan masyarakat yang belum menjadi korban terkait dampak negatif jika paham rekalisme ini menjalar di bumi pertiwi? Tentu saja langkah-langkah strategis yang patut diambil adalah sepatutnya bangsa ini bergandengan tangan mencegah dehumanisasi ala radikalisme yang disebarkan oleh ISIS.

Sebagaimana disampaikan Khofifah Indar Parawansa bahwa "Kaum ibu memiliki sensitivitas dalam mengenali perilaku dan perubahan sikap anak-anaknya, karena itu kaum ibu rumah tangga bisa menangkal paham radikal yang mengarah pada terorime, seperti ISIS," Sebagaimana dilansir oleh WartaEkonomi, (23/3). 

Hal tersebut disampaikannya setelah memberikan ceramah dalam Pengajian Akbar Hari Lahir Ke-69 Muslimat NU di Pendopo Dipokusumo, Purbalingga, Jawa Tengah. 

Paham radikalisme sudah ditentang oleh Pengurus Besar Nahdhtul Ulama (PBNU) dan secara terang-terangan menolak ISIS. Imbuh menteri sosial ini yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU ini.
Tentu saja, segala macam statement tentang penolakan radikalisme hanya sebatas teori dan debat semata, namun belum menyentuh pada persoalan yang sebenarnya. 

Dengan tindakan nyata dengan melibatkan semua elemen masyarakat, baik NU, Muhammadiyah, dan Non Government Organization (NGO) lainnya agar bersinergi membangun kerjasama yang harmonis demi membendung paham radikal ini masuk ke bumi Indonesia.


Anak-anak Sekolah menjadi sasaran empuk radikalisme

Paham radikalisme, hakekatnya bisa dimiliki oleh semua penganut agama, bahkan kaum atheis sangat berpotensi memiliki ciri-ciri radikalisme dengan bentuk pergerakannya yang cenderung merusak dan membunuh siapa saja yang bukan anggotanya.

Begitu pula radikalisme yang dikembangkan oleh ISIS saat ini, tentu buah dari kesalahan persepsi dari makna perjuangan (jihad) menegakkan agama Islam. Boleh jadi akibat dari tumbukan-tumbukan situasi yang cukup dramatis akibat perang yang berkecamuk di kawasan tanah arab, khususnya Irak dan Syuriah. Sehingga mau tidak mau, munculnya paham radikalisme ini merupakan ekses negatif dari pergolakan politik yang cukup menguras energi masyarakat yang bersangkutan.

Meskipun munculnya radikalisme ini sudah sejak lama terjadi, seperti ikhwanul muslimin yang sempat mengoyak perdaiaman di Mesir beberapa waktu lalu, tentu buntutnya hampir semua negara jika dimasuki paham radikal ini akan berdampak sama, terjadi konflik kepentingan dengan mengatasnamakan idealisme kelompok dan aliran secara sempit yang turut memperkeruh suasana yang terjadi. Dan yang cukup memprihatinkan lagi, jika radikalisme ini menyusupi kawasan edukasi yang semestinya dihindari. Anak-anak sekolah yang semestinya dijauhkan dari paham ini ternyata sejauh ini sudah banyak memakan korban, seperti kasus beberapa anak yang turut serta dalam aksi eksodus ke Suriah dengan alasan bergabung dengan ISIS. Seperti diberitakan di beberapa media massa baru-baru ini.

Apalagi, belum lama ini pula di wilayah Jombang, Jawa Timur, telah beredar buku-buku yang mengajarkan kekerasan, membunuh orang lain yang tidak sependapat dan tidak sepaham. Buku tersebut mengajarkan dibolehkannya membunuh jika orang tersebut dianggap syirik. Padahal konsep hukum Indonesia amat jauh dari apa yang telah disampaikan dalam buku agama bagi anak-anak SMA tersebut.

Paling tidak, mulai saat ini, penyebaran radikalisme begitu mudah terjadi, apalagi media sosial, baik facebook, youtube, twitter dan lain-lain menjadi sarana yang paling efektif dalam menyebarkan konsep tersebut kepada semua kalangan. Baik orang tua maupun anak-anak sekalipun.

Peran masyarakat sejauh ini yang bisa dilakukan

Terlepas dari apa yang dilakukan oleh pemerintah melalui kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), namun bagi masyarakat hendaknya bertindak pro aktif dengan membendung arus radikalisme ini. Misalnya selalu melaporkan setiap gerak-gerik yang menjurus pada tindakan radikal, pesan-pesan sensitif yang bermuara pada perekrutan pada kelompok ISIS dan yang paling penting adalah selalu berkoordinasi dengan apara penegak hukum, tokoh masyarakat, aparat daerah dan para pengelola pendidikan agar anak-anak Indonesia terbebas dari pengaruh ideologi yang menyesatkan ini.

Sebagai orang tua, hendaknya lebih serius lagi dalam mengontrol tontonan, bacaan serta teman-teman jejaring sosial yang dikhawatirkan menjerumuskan pada aksi terorisme, sekaligus memberikan pemahaman yang benar terkait konsep Islam yang selalu mengajarkan kasih sayang pada semua makhlukNya.

Salam

Sumber: Dari berbagai media.

Komentar