Kebakaran Hutan, Kabut Asap, Amarah dan Teguran Tuhan



Kata orang bijak, sebaik-baik menilai persoalan adalah melihat hikmahnya, dan seburuk-buruk penilaian adalah menilai hanya kepada keburukannya. Dan semua yang terjadi hendaknya menjadi pelajaran yang berharga untuk menjadi bahan renungan bersama. Entah bisa diterima atau tidak pernyataan ini, yang pasti semua yang terjadi tidak pernah keluar dari kuasa Ilahi Robbi, Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu menggerakkan alam semesta ini sesuai dengan KuasaNya.

Sampai saat ini kita semua pasti terlihat panik, tak hanya warga yang tengah dalam kondisi kebakaran hutan dan kabut asap saja yang mengalami, karena di daerah lain pun mengalami kepanikan yang sama. Panik lantaran dampak musibah tersebut sudah mengenai wilayah lain, asap membumbung tinggi dan bergerak ke semua arah mengikuti arah mata angin. Dan otomatis, semua yang mendapatkan dampak kebakaran itu mau tidak mau turut menjadi korban pasif. Mereka tak melakukan pembakaran, tapi terkena getahnya.

Tak hanya wilayah lain yang mengenai dampaknya, karena saya yakin pemerintah pun hakekatnya panik dengan apa yang terjadi, meskipun ketermbatan merespon bencana itu sebagai bencana nasional sempat mendapatkan cibiran dari berbagai pihak. Padahal sejatinya, pemerintah hendak memberikan hukuman kepada pelaku pembakaran dan kelalaian masyarakat yang membiarkan pembakaran hutan itu berlangsung bertahun-tahun tanpa diprotes masyarakat sekitar. Sehingga ketika kebakaran itu benar-benar meluas maka sudah dapat dipastikan semua yang berada di wilayah itu pun akan mengalami kerugian akibat asap yang menyesakkan itu.

Meskipun demikian, meskipun pemerintah dianggap lalai, faktanya pemerintah pun tidak menutup mata dan memberikan solusi dengan melihat langsung ke wilayah bencana itu. Tak hanya duduk diam di kursi kepresidenan namun benar-benar turun gunung agar bisa melihat dampak yang ditimbulkan. Kenapa ini dilakukan? Karena presiden sebelum-sebelumnya serasa seorang raja yang kurang begitu respons terhadap setiap keluhan. Rakyat ingin pemimpinnya turun ke bawah (turba) agar pemimpin ini bisa melihat rakyatnya di berbagai daerah. Meskipun hakekatnya para wakil beliau seperti para menteri dan pegawai dinas terkait di daerah pun sebenarnya sudah harus mewakili tugas-tugas dari pemerintah pusat. Apalagi saat ini otonomi daerah memberikan hak seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya. Mengeluarkan kebijakan terkait persoalan perkebunan dan kehutanan, serta kebijakan pengelolaan keuangan. 

Namun sayang sekali, sampai sejauh ini, ternyata kebijakan lebih dari otonomi daerah sudah disalahgunakan, pemerintah pusat yang sudah memberikan kewenangan daerah agar mengatur rumah tangganya sendiri ternyata masih saja merengek agar diperhatikan pemerintah pusat. Selain itu, terkait keuangan, korupsi di daerah ternyata semakin lama semakin membudaya. Terbukti Gubernur Riau menjadi tersangka. Itulah salah satu bukti, bahwa selama ini otonomi daerah justru menjadikan alat untuk mencari kekayaan bagi pengelola keuangan daerah. Pemerintah yang sudah memberikan kebijakan lebih kepada daerah terkait bagaimana menangani bencana pun harus dibuat repot. Uang daerah bukannya untuk mengantisipasi setiap bencana, ternyata dikorupsi. Dampaknya ya sekarang ini, di saat uang daerah sudah habis dikorupsi para pejabat daerah, maka ketika bencana kebakaran melanda, mereka pun tidak bisa berbuat banyak. Sekali lagi pemerintah daerah seperti menipu dan mengakali pemerintah pusat dengan status otonomi daerah. Sedangkan pemerintah pusat selalu saja mendapatkan getahnya. Bagaimana ini?

Bencana kebakaran, mungkin saja alam tengah marah akibat amarah rakyat di negeri ini

Bukankah kita tahu, bahwa alam ini pun bisa marah, seperti halnya manusia yang juga bisa marah. Alam ini marah lantaran sudah dieksploitasi oleh manusia dengan sesuka hati. Mereka menganggap dengan membakar hutan, merambahnya dan merusaknya untuk diperjual belikan tanpa tindakan preventif terkait kerusakannya, tentu saja menjadi salah satu penyebab kenapa bencana kebakaran semakin mewabah.

Sudah cukup menyalahkan pemerintah pusat karena dianggap tidak becus mengurus daerah lantaran daerah itu sudah mandiri dan seharusnya bisa mengantisipasi setiap bencana yang terjadi didaerah. Ibarat sepasang pengantin yang sudah harus membina keluarga sendiri, membangun rumah sendiri dan mengelola keuangan serta seabrek persoalan rumah tangganya tanpa campur tangan pihak lain. Sehingga otonomi daerah pun semestinya harus termanifestasi dari pola kedewasaan dalam mengantisipasi dan menangani setiap bencana. Meskipun demikian, musyawarah dan urun rembuk terkait persoalan yang tidak mampu diatasi sendiri pun tetap menjadi kewajiban agar hubungan antara pusat dan daerah selalu harmonis. Karena setiap daerah pun acapkali tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, tak hanya persoalan kebakaran dan kabut asap, karena persoalan gaji pegawai saja acapkali mengemis pada pemerintah pusat.

Dan terkait musibah bencana kebakaran itu, bukankah kita juga mesti mawas diri, dan sadar bahwa setiap tindakan yang merusak alam tentu dampaknya akan buruk sekali. Boleh jadi kebakaran kali ini adalah akumulasi dari emosi alam terkait tindakan arogan manusia di dalamnya yang ingin mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Alam pun bisa marah, begitu pula Tuhan pun bisa murka akibat ulah tangan-tangan manusia. Sedari kita mengenal dunia pendidikan, kita selalu diajarkan arti kehati-hatian kalau tidak ingin terkena celaka. Pun para pendidik mengajarkan bahwa merusak hutan dampaknya akan berbahaya. Menebang pohon akan terjadi banjir dan erosi. Membakar hutan akan terjadi kerusakan lainya juga. Boleh jadi pelajaran berharga ini sudah kita lupakan lantaran kita sudah terlalu haus dan rakus ingin mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi.

Dan kita lupa bahwa dalam kitab suci pun dijelaskan bahwa setiap kerusakan di muka bumi ini akibat ulah tangan-tangan (kotor) manusia yang melakukannya. Jangan salahkan Tuhan atau alam mengapa bencana itu datang, tapi salahkan kita sendiri karena kita terlalu rakus ingin menguasai alam semesta ini dengan angkuhnya. Seandainya kita mendapatkan getahnya, tentu saja kita terlalu abai dan membiarkan kejahatan terhadap alam ini bertubi-tubi datang. Kita seolah-olah tidak peduli dan masa bodoh dengan prilaku merusak ini. Bahkan seakan-akan kita hendak menginginkan keuntungan dari segala macam eksploitasi ini.

Bolehlah saya tunjukkan firman Tuhan terkait kerusakan di muka bumi. Dzoharol fasadu fil barri wal bahri bimaa katsabat aidinnasi liyudiqohum ba'dlo ladzi 'amilu la'allahum yarjiuun. (Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut akibat ulah tangan-tangan manusia, Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) Surat Arruum ayat 41.
Sehingga dapat dijadikan mafhum, bahwa semua yang terjadi ini jika dikaitkan dengan agama, tentu adalah sebuah hukuman atau peringatan agar manusia segera kembali ke jalan yang benar. Tidak melakukan pengerusakan dengan membakar hutan, dan menjaga keanekaragaman hayati demi kelangsungan kehidupan manusia selanjutnya.

Belum lagi kita melihat begitu banyak letupan amarah-amarah rakyat di negeri ini, semuanya berusaha memperturutkan hawa nafsu ingin memerangi, tempat-tempat ibadah dirusak dan dibakar. Karena berbeda suku saling mencelakai, melakukan kekerasan atas nama sekte tertentu. Padahal sudah dijelaskan pula dalam kita suci bahwa Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan suku-suku agar saling mengenal. Tak perlu lagi memperturutkan emosi demi sebuah pemahaman pribadi. Sehingga apapun yang terjadi di negeri ini, boleh jadi memang merupakan pelajaran agar kita semua kembali ke jalan yang benar, tidak saling menyakiti dan tidak merusak alam semesta. 

Mudah-mudahan dengan bencana ini, menjadi pelajaran berharga, bahwa di kemudian hari kita tidak terlena atau serakah memperturutkan ambisi untuk memanfaatkan alam dengan rakusnya tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.

Salam

Metro, Lampung, 14-10-2015


Komentar