Wahai Orang Tua, Jangan Paksa Anak Seperti Maumu!


Tulisan ini berawal dari pembicaraan kami dengan teman sesama guru, sebutlah namanya ibu Bunga, ia adalah guru honorer di mana saat ini aku mengabdikan diriku dalam institusi bagi sekolah berkebutuhan khusus. Kira-kira sepekan yang lalu, ibu Bunga tiba-tiba curhat kepadaku selaku teman sesama sekolah, terkait aktivitas beliau di kelasnya.
Kurang lebih beliau curhat begini "Pak, saya jadi nggak enak hati sama ibu itu, setiap kali saya mengajar kog dia selalu saja mengintip di jendela, sudah begitu sepertinya ia memaksakan saya untuk mengajarkan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya. Padahal beliau sendiri tahu bahwa anaknya adalah down syndrom, yang kebetulan anak yang kemampuannya sebatas mampu latih. Tapi ibunya memaksa sang anak seperti anak-anak yang lainnya." Saya seketika itu menanggapi keluhannya dengan mengatakan "lakukan yang ibu pahami dalam mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, jika orang tua tidak menerima kenyataan terhadap apa yang dialami anaknya, itu amat wajar. Siapa sih yang tak ingin anaknya menjadi seperti anak pada umumnya.
Pembicaraan itu tidak seketika itu saya akhiri di situ saja, karena saya terus mengamati kondisi anak yang memang selalu diantar dan memiliki kelemahan dalam fisik, psikis dan kognisinya. Saya mengamati juga bagaimana sang ibu terus memaksa anaknya seperti yang beliu inginkan. Sebagaimana pernyataan beliau yang saya tangkap di sela-sela istirahat. Beliau mengatakan "ituloh pak anak saya kog nggak ada perubahan ya? Dari dulu gak bisa nulis-nulis.
Saya menanyakan balik ke ibu tersebut, "apakah anak ibu sudah bisa mandi sendiri, makan sendiri dan bisa memakai baju sendiri?. Beliau mengatakan "iya, anak saya sudah bisa makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri." Lah itu anak ibu sudah ada kemajuan, berarti ada perubahan pada kondisi anak ibu saat ini. Meskipun kemajuannya pada hal tertentu yang menyangkut kebiasaan sehari-hari. Seketika itu sang ibu pun terdiam dan terlihat beliau mengakui bahwa memang sang anak sudah ada perubahan prilaku sejak bersekolah di sekolah kami.
Berdasarkan cerita ini, hakekatnya banyak di antara kita-khususnya orang tua dari anak berkebutuhan khusus- kurang memahami kondisi sang anak. Padahal sebelum mereka masuk sekolah, ada assessment terhadap calon siswa untuk mengetahui beberapa kemampuan dan kelemahan anak yang bisa dijadikan obyek perkembangan dan layanan yang akan diberikan. Namun demikian, tidak semua orang tua ngeh dan memahami terkait kondisi anak, kebanyakan mereka menuntut sang anak untuk menjadi sosok yang seperti impian mereka. Meskipun kondisi anak dengan melihat kondisi yang dialaminya aman kecil kemungkinan memiliki kemampuan secara kognitif seperti anak-anak sebayanya.
Sebagaimana dipahami bahwa anak-anak sindrom down (down syndrom) seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. sumber
Down syndrom merupakan salah satu bagian tunagrahita yaitu merupakan kelainan kromosom, yakni terbentuknya kromosom 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sebagaimana diketemukan oleh Dr. John Longdon Down tahun 1866. (Aqila Smart, 2010)
Dengan kondisi yang dialami anak-anak down syndrom pada akhirnya akan mengalami perhambatan pertumbuhan secara fisik maupun psikis dan dampaknya anak-anak ini memiliki kecenderungan berbeda dari anak-anak normal pada umumnya. Sehingga jika melihat kondisi tersebut, selayaknya anak diberikan layanan disesuaikan dengan kebutuhannya. Di mana yang dialami anak tersebut mereka lebih banyak membutuhkan latihan untuk kemandirian. Sehingga suatu saat nanti sang anak tidak lagi menjadi beban orang-orang di sekitarnya. Minimal mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri secara personal.
Adapun penangannya tentu saja membutuhkan metode-metode khusus dengan tepat agar anak dengan kondisi fisik dan mental ini dapat ditangani dengan maksimal.
Terlepas dari kondisi dan bagaimana memberikan layanan yang tepat, ada beberapa hal yang turut memicu mengapa orang tua acapkali tidak menerima kondisi anak-anak berkebutuhan khusus. Tak hanya bagi anak down syndrom, karena anak-anak lain yang memiliki kelemahan berbeda pun acapkali mendapatkan perlakuan yang kurang layak dari orang tuanya.
Seperti contoh pak Mamat, (bukan nama sebenarnya) saat ini beliau tinggal di kota yang sama dengan saya, beliau acapkali memperlakukan anaknya dengan sangat keras, kebetulan sang anak adalah anak tuna rungu wicara, yakni memiliki kelemahan dalam bidang pendengaran dan kelemahan dalam berbicara. Anak tersebut tidak bisa diajak berkomunikasi secara lisan, jadi sang anak menerima setiap informasi, perintah dan ajakan dengan bahasa isyarat. Sayang sekali orang tua sedikit memiliki karakter yang keras, jadi kurang memahami bagaimana kondisi anak. Ketika anak melakukan kesalahan, ia justru memperlakukan sang anak dengan kekerasan, bahkan saking kerasnya kepada anak, anak yang tidak bisa mendengar dan berbicara ini menjadi takut dan berusaha lari dari rumah lantaran kekerasan yang dialaminya. Kekerasan dalam hal ini bukan berarti secara fisik, misalnya dipukul, tapi kekerasan secara psikis, dibentak-bentak dan kerap sekali sang anak mendapatkan amarah sang ayah. Kadang terlihat aneh, anak yang tidak bisa mendengar kog dibentak-bentak? 
Pak Mamat, menyampaikan keluhannya, ia seperti tidak bisa mendidik anak-anaknya, beliau juga menyatakan bahwa ia sudah memberikan apa yang diberikan, memarahinya kog gak berubah-ubah, bahkan pernah sang anak naik ke atap rumah dan seperti mau bunuh diri lantaran ketakutan. Saya selaku salah satu guru yang kebetulan melihat prilaku sang anak berusaha mengingatkan bahwa semua anak, baik anak tuna rungu wicara maupun anak normal, memiliki karakter yang sama, secara fisik dan psikis tidak ada bedanya, yang berbeda hanya di pendengaran dan organ pengucapan. Jadi ketika anak tidak bisa diatur, boleh jadi karena perlakuan kasar yang dialami sang ayah, apalagi sang anak masih dalam kategori pubertas. Sikap ingin dibiarkan dan ingin bebas dalam bergaul seringkali membuat orang tua pusing tujuh keliling. Padahal mengarahkan anak dalam bergaul tak mesti dengan kekerasan, karena semakin dikerasi maka prilaku anak semakin menjadi-jadi.
Apalagi anak yang memiliki kekurangan, tentu ada rasa kecewa, marah, dan ingin memberontak kenapa ia tidak bisa mendengar dan berbicara? Ia merasa berbeda dengan yang lainnya. Dalam pergaulan pun acapkali tersisih lantaran sulitnya berkomunikasi dengan anak-anak sebayanya. Oleh karena itu semestinya orang tua dan orang-orang di lingkungannya menyadari kelemahan yang dialami sang anak. Jadi tidak terjadi kesenjangan dan gap antara anak-anak berkebutuhan khusus dan anak normal pada umumnya.
Alhamdulillah, semenjak pembicaraan kami, orang tua semakin menyadari bahwa selama ini terlalu keras dalam mendidik anaknya, dan terlihat saat ini prilaku anak sudah menunjukkan proses perbaikan prilaku.
Kecenderungan orang tua tidak mau mengenal dan memahami kondisi sang anak

Melihat dua contoh yang terjadi pada kedua orang tua di atas, sebenarnya ada tiga hal yang sampai sejauh ini masih terjadi pada orang tua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus. Bahkan tidak hanya anak yang membutuhkan perlakuan khusus, karena anak-anak normal lainnya pun orang tua acap kali salah memahami anak. Mereka menganggap dengan pengalaman yang dimiliki mereka bisa dengan mudah memberikan bimbingan. Dan sudah dapat ditebak, jika orang tua salah memahami anak maka sudah dapat dipastikan anak akan mengalami konflik batin dan mengalami gangguan terkait proses meraih impian-impiannya.
Ada beberapa hal yang turut memicu kesalahan dalam memahami kondisi anak.
Pertama, orang tua tidak "berusaha" mengenal sang anak secara kontinyu

Seperti anak pada umumnya, anak-anak ABK pun semestinya dipahami dengan sepenuhnya, jangan setengah-setengah. Apalagi orang tua adalah pendidikan awal sebelum orang tua memasukkannya ke dunia pendidikan formal. Bagaimana orang tua bisa mendidik, jika mereka sendiri tidak mengenal anak. Baik terkait kelemahan maupun kelebihan. Jadi secara tidak langsung orang tua pun bisa memberikan layanan yang tepat dan tidak justru memperlakukannya semau sendiri akibat ketidak pahaman mereka terhadap sang anak.
Pada umumnya masyarakat Indonesia gagap melihat kondisi anak-anaknya. Ketika sang anak memiliki kelemahan mereka tidak berusaha mencari informasi bagaimana memberikan perawatan dan layanan di rumah. Sehingga sampai saat ini saja masih ada orang tua yang justru mengurung anak mereka yang memiliki kekurangan. Bahkan beberapa orang tua dan lingkungan menyebut anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak gila, atau anak kutukan. Mereka malu menerima kondisi tersebut, dan sebaliknya membuang atau menyembunyikannya di kamar dan berusaha menutup diri agar orang lain tidak melihatnya. Bahkan adapula yang mengikat kaki dan menguncinya di kamar, tanpa memberikan pendidikan yang tepat. Parahnya, masyarakat di lingkungannya pun tidak memahami bagaimana memperlakukan anak-anak dengan kondisi ini, mereka melecehkan orang tuanya dan selalu saja menghina dengan hinaan yang menyakitkan. Padahal sedikit banyak pengaruh lingkungan ikut berperan dalam tumbuh kembang kepribadian dari anak berkebutuhan khusus. Lingkungan menjadi sarana untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dengan orang lain. (Aqila Smart: 2010)
Memiliki anak berkebutuhan khusus bukanlah aib yang mesti ditutupi dan disembunyikan selayaknya menyimpan benda yang tidak berharga, lantaran mereka malu dengan kondisi anak-anak mereka. Padahal apa yang salah dengan kelahiran anak, bukan? Anak adalah amanah dan dengan amanah itu tersirat pesan yang dalam dari Tuhan bahwa semua anak memberikan kebaikan kepada keluarganya.
Bersyukur akhir-akhir ini, semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai media, orang tua semakin memahami bagaimana cara memberikan layanan di rumah, jadi tingkat kesadaran orang tua semakin tinggi. Selain itu masyarakat pun semakin memahami kondisi anak tersebut.
Kedua, Orang tua memaksa anak seperti yang mereka inginkan

Pengetahuan orang tua yang masih minim, acapkali menjadi tekanan tersendiri terhadap anak, mereka menganggap anak-anak berkebutuhan khusus ini harus diperlakukan seperti anak normal, khususnya dalam meraih masa depannya. Meskipun memiliki mimpi tidak boleh disalahkan, tapi semestinya menyesuaikan dengan kondisi anak donk. Jangan mentang-mentang orang tua seorang dokter, jadi anaknya harus menjadi dokter. Melakukan intervensi yang salah dan memaksakan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Kalau anak mampu tidak menjadi persoalan. Bagaimana jika kondisi anak tidak memungkinkan? Tentu menjadi persoalan tersendiri.
Jadi, semestinya orang tua mesti mawas diri dan tidak memaksakan keinginannya kepada anak-anaknya. Biarkan anak menemukan dirinya sendiri sesuai bakat dan kemampuannya. Bolehlah mengarahkan, tapi jangan memaksa. Kalau memaksa sedangkan anak memiliki kelemahan bukankah orang tua justru bisa menyiksa sang anak, bukan?
Berikan intervensi yang sesuai dengan kebutuhannya, jangan memaksa yang tidak mampu mereka lakukan. Karena dengan memaksa, hakekatnya orang tua terlalu egois dan tidak sepenuhnya memahami kondisi anak mereka.
Ketiga, orang tua "enggan" menjalin komunikasi dengan gurunya

Persoalan ini pun acapkali terjadi pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Orang tua yang tidak memahami kondisi anak ternyata tidak berusaha mengenal anak sendiri dengan bertanya pada orang-orang yang memahaminya. Paling tidak bertanya pada guru, psikolog atau pesikiater jika menyangkut kejiwaan. Kebanyakan mereka hanya mendaftarkan, mengantarkan ke sekolah, menungguh sampai pulang, dan setelah itu menunggu anak hingga dewasa.
Keengganan untuk berkomunikasi, berdiskusi dan bertanya terkait persoalan anak menjadi awal kesalahan dalam memberikan intervensi di rumah. Maka amat wajar, jika kedua orang tua di atas memperlakukan anaknya seperti anak-anak pada umumnya. Mereka tidak melihat kelemahan dan pontensi apa sih yang semestinya dikembangkan.
Dengan adanya sinergitas antara guru, orang tua, sekolah dan masyarakat, tentu saja masalah-masalah penanganan anak lambat laun dapat diselesaikan.
Ketiga hal tersebut hakekatnya hanyalah bagian terkecil yang acapkali terjadi pada orang tua dari anak berkebutuhan khusus. Namun demikian karena ketiga sebab itulah maka banyak orang tua yang frustasi dan kecewa terhadap kondisi anak-anaknya. Coba kalau mereka mau belajar memahami kondisi anak, tentulah tidak akan terjadi kekerasan terhadap anak lantaran orang tua kurang mengerti bagaimana cara mendidik anak.
Dan ingatlah bahwa Tuhan tidak memberikan beban pada suatu kaum yang mereka tidak dapat memikulnya. Dan Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak berusaha merubah sendiri nasib mereka (Al Qur'an)
 *Mohon maaf jika dalam tulisan ini ada kekurangan.
Salam
Metro, 9-10-2015



Komentar