Apakah Gegara Ahok Kita Putus Persahabatan?


Gambar : berawan.com




Beberapa hari ini media sosial begitu ramai perdebatan, cacian, puja-puji maupun pencitraan-pencitraan yang sepertinya silih berganti seperti musim penghujan dan kemarau yang juga silih berganti.

Aneka perdebatan yang berawal dari pernyataan yang tidak tepat oleh seorang calon gubernur ternyata tidak hanya berdampak pada konflik internal dan eksternal dalam agama Islam itu sendiri, karena muara dari perdebatan yang panjang itu mengarah pada mengaburnya makna kebersamaan, persaudaraan dan persahabatan yang sekian lama ingin dibina.

Perjuangan untuk meraih keharmonisan dalam perbedaan itu tidaklah mudah, karena selalu saja tersulut oleh persoalan persoalan yang sebenarnya bukan termasuk wilayah persahabatan itu sendiri, karena murni wilayah hukum dan meja hijaulah yang akan menuntaskannya.

Namun sayang sekali, karena nila setitik rusaklah susu sebelanga. Persahabatan dan persaudaraan yang baik harus terkoyak oleh satu orang yang "bermasalah". Persaudaraan yang baik mesti musnah oleh seorang pemimpin yang ambisius dan tidak lagi bisa mengontrol ucapan sendiri. Padahal apalah pentingnya gara-gara persoalan hukum, masyarakat kecil menjadi ribut. Toh, nanti pihak aparat penegak hukum yang akan bekerja menuntaskannya.

Hukum tetaplah jalan, dan persahabatan serta persaudaraan jangan sampai dirusak oleh kepentingan politik.

Apakah rela memutuskan persahabatan hanya gara-gara Ahok?

Boleh jadi ini menjadi pertanyaan dalam sanubari masing-masing rakyat Indonesia. Nggak jauh-jauh deh membicarakan Indonesia yang rakyatnya jutaan ini, karena di lingkup media sosial saja sepertinya menunjukkan riuh rendah dan kekisruhan yang semakin mencolok. Padahal apa sih yang mesti diributkan? Kalau persoalan memilih pemimpin Islam, ya sudah cukup selesai sampai di sini. Dan kalau kaitan hukum, 'kan sudah ada aparat penegak hukumnya. Tidah usah memanas-manasi suasana dengan status-status yang nggak jelas banget. Karena itu akan semakin memperkeruh suasana. Ini Indonesia dan bukan Suriah yang porak-poranda karena adu domba media habul yang tidak jelas siapa pemiliknya.

Tak hanya di media sosial, dalam organisasi sendiri boleh jadi antara warga NU mengalami perselisihan hingga tak saling bertanya lagi. Adapula dari golongan Muhammadiyah yang juga tak lagi sejalan. Semua karena perbedaan persepsi bahwa urusan politik tidak seharusnya merusak nilai-nilai persaudaraan. Politik boleh kejam, tapi hati kita jangan sadis.

Begitu pula sesama NU atau sesama Muhammadiyah boleh jadi berbeda cara pandang terkait kasus yang tengah digulirkan. Karena kapasitas masing-masing berbeda. Jadi cukup aparat penegak hukumlah yang berbicara.

Meributkan persoalan hukum dengan mengorbankan persahabatan adalah sebuah kesalahan. Dan persahabatan itu akan selalu ada jika tidak dicampuri oleh kepentingan sesaat. Pandangan politik boleh beda, tapi rumah bersama jangan dikorbankan.

Hanya orang bodoh yang bermusuhan gara-gara politik

Dalamnya hati manusia tidak ada yang tahu, begitu dalam pikirannya tentu penuh rahasia. Karena boleh jadi saat ini kita tengah bersahabat dengan apik, karena persoalan Ahok tiba-tiba menunjukkan egosentrisme. Menilai kesalahan atau membela seseorang bukan karena murni kesalahannya tapi karena perbedaan agamanya.

Jangan mentang-mentang yang muslim tiba-tiba memusuhi yang non Islam karena berbeda cara pandang, dan begitu pula yang non Islam jangan memusuhi yang muslim gara-gara membela orang yang dianggap "seagama". Padahal agama apapun kalau melakukan kesalahan maka harus dihukum. Tak perlu dihubung-hubungkan agamanya apa dan sukunya apa, karena persoalan ini tidak akan selesai.

Meninggalkan teman yang mengundang kekisruhan

Bersahabatan adalah baik, tapi bersahabat yang membawa kebaikan. Jikalau ditemukan sahabat yang membawa kekisruhan ada baiknya ditinggalkan saja sementara. Kembali disapa jika kondisinya sudah stabil lagi. Karena betapa tidak baiknya memiliki sahabat yang justru membuat urusan menjadi semakin sengkarut.


Namun demikian, persoalan hukum memang kadang membutuhkan dukungan elemen masyarakat bawah agar aparat penegak hukum terbuka matanya hingga benar-benar mengadili orang yang salah secara tepat dan adil. Sehingga tidak ada ruang kasak-kusuk di tingkat elit demi meloloskan dan membebaskan orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan.

Sama seperti ungkapan Untuk apa berebut tulang tanpa daging, jika masih ada bongkahan emas di balik itu semua. Meributkan persoalan hukum dengan mengorbankan persaudaraan dan persahabatan yang lama terjalin dengan amat baiknya.

Bagaimana? Apakah kita mesti putus silaturrahim gara-gara Ahok?

Salam


Komentar