Media Telpon-telponan untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Anak Tunagrahita

Tulisan ini sekedar sharing dan sebagai bahan untuk diskusi tentang bagaimana membangun dan meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi lebih khusus terhadap anak-anak yang memiliki kelemahan intelegensi atau disebut dengan anak-anak tuna grahita.

Komunikasi adalah bagian penting dalam menjalin hubungan sosial, baik komunikasi secara verbal maupun non verbal menjadikan seseorang akan mampu melakukan interaksi antar personal secara aktif yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi pelakunya dalam proses hidup dan kehidupan.

Terlepas dengan jenis-jenis komunikasi, dalam banyak hal akan ditemukan suatu masalah disebabkan karena seseorang sulitnya melakukan komunikasi, bisa jadi berawal dari pengenalan pengenalan fonem maupun morfem, sintaksis maupun kosa kata yang selalu berkembang seiring dengan banyaknya bahasa serapan yang diadopsi dari bahasa asing maupun bahasa daerah di seantero jagad sosial.

Bertitik tolak dari konsep di atas, maka kemunikasi semestinya juga diajarkan, diperkenalkan, dikembangkan maupun ditingkatkan seiring dengan semakin berkembangnya hubungan sosial personal, yang awalnya hanya lingkup keluarga, selanjutnya mereka harus berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas, yang tentu saja dibutuhkan kemampuan berkomunikasi yang tidak mudah, bahkan teramat rumit untuk ukuran anak-anak masa-masa sekolah dasar. Karena sebagaimana tersirat dalam kurikulum sekolah dasar, pengembangan bahasa dalam segi kemapuan komunikasi verbal merupakan program pokok dan indikator yang ingin dicapai selama proses pembelajaran.

Sebagai contoh, saya merupakan guru bagi anak-anak disabilitas, anak-anak berkebutuhan khusus, di mana lebih khusus tuna grahita, di mana pada anak-anak tersebut memiliki kemampuan di bawah rata-rata dengan kemampuan intelegensi yang amat rendah, bahkan jika diukur tes intelegensi hanya berada di bawah 80 sehingga besar kemungkinan anak-anak tersebut sangat rendah kemampuan berbahasa karena dipengaruhi kemampuan intelegensi dalam menangkap dan merekam informasi yang berkaitan bahasa, baik kosa kata maupun kemampuan dalam mengucapkannya.

Sebelum kita membahas lebih  jauh mengenai media telpon-telponan terlebih dahulu kita pahami apa sebenarnya media telpon-telponan?

Media telpon-telponan adalah sebuah alat, bahan atau benda-benda yang digunakan untuk sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran. Dimana media yang dimaksudkan di sini adalah alat pembelajaran yang dibuat dari dua buah kaleng susu yang dibentuk sedemikian rupa kemudian kedua kaleng tersebut dihubungan dengan seutas benang berbentuk seperti sebuah alat komunikasi dua arah. Alat tersebut sejatinya digunakan sebagai alat bermain dan belajar mengucapkan kata-kata dan mendengarkan informasi dari lawan bicaranya.

Sedangkan anak tuna grahita di sini adalah adalah anak-anak yang dapat diidentifikasi sebagai anak yang memiliki keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai lemah pikiran (Feeble Minded), terbelakang mental (Mentally Retarded), bodoh atau dungu (Idiot), pandir (Imbecile), tolol (Moron), oligofrenia (Oligophrenia), mampu didik (Educable), mampu latih (Trainable), ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau butuh rawat, mental subnormal, defisit mental, defisit kognitif,  cacat mental, defisiensi mental dan gangguan intelektual.

Lebih dipertegas lagi, sebagaimana menurut American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20) bahwa anak tunagrahita memiliki karakteristik intelegensinya sebagai berikut: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.

Berdasarkan tingkat IQ yang rendah inilah maka perlu diberikan model-model pembelajaran yang melibatkan alat pembelajaran berupa permainan edukatif berupa pengembangan kemampuan berbahasa sejak dini, meski prosesnya lambat tapi akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kemampuan anak dalam berkomunikasi secara verbal.

Subyek penelitian merupakan anak yang sudah dapat menggunakan media telpon-telponan dan tentu saja sedikit banyak dapat melakukan komunikasi dengan orang lain meski dengan kalimat yang belum sepenuhnya benar. Sehingga diharapkan dengan alat bermain edukatif ini anak akan terpicu dan terpacu untuk dapat mengucapkan kata-kata serta mendengarkan dengan benar sesuai dengan konteks kalimat dan petunjuk yang diberikan.

Sebagaimana yang saya sebutkan di atas, sebagai media pembelajaran berupa alat permainan edukatif, media telpon-telponan dapat menjadi salah satu media yang penting dalam pengembangan berbahasa. Meski harus tetap di bawah pengawasan dan bimbingan guru, permainan ini meransang syaraf motorik halus maupun kasar serta indera pendengaran dan tentu saja indera pengucap. Karena indera ini sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa.

Selanjutnya, bagaimana cara guru menggunakan media telpon-telponan ini dalam proses pembelajaran?
Perlu dipahami bahwa Bahasa Indonesia di sekolah luar biasa memiliki karakteristik pembelajaran yang orientasinya sama dengan dengan apa yang diajarkan di sekolah umum pada umumnya yaitu pada kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Namun demikian dengan media telpon-telponan lebih difokuskan pada kemampuan mendengarkan dan berbicara karena media ini memang berkaitan dengan kemampuan mendengarkan dan berbicara.

Pada tahap awal, terlebih dahulu guru melakukan pengenalan tentang media yang akan diadakan, termasuk di dalamnya cara menggunakan dan indikator yang akan dicapai. Misalnya ketika guru mengajarkan anak tunagrahita, terlebih dahulu diajarkan cara menggunakannya, bahkan semestinya guru harus menunjukkan cara menggunakan alat tersebut dengan tujuan agar memahami penggunaannya.

Selanjutnya guru memberitahukan indiktor yang ingin dicapai misalnya, kemampuan menggunakakn telepon baik melakukan percakapan atau komunikasi dua arah. Guru menunjuk satu anak sebagai lawan berbicara melalui media telpon-telponan tersebut, selanjutnya ketika semua anak memahami cara menggunakan media, anak-anak dibentuk beberapa kelompok dengan cara menyebut angka satu sampai sepuluh (cara ini disesuaikan kondisi siswa dan keinginan guru dalam mengelompokkan siswanya) kemudian masing-masing anak berkumpul sesuai dengan angka yang sama menjadi pasangannya ketika mempraktekkan media ini.

Setelah masing-masing anak mendapatkan pasangannya, secara bergantian pasangan tersebut mempraktekkan percakapan berdasarkan instruksi guru dan guru mencatat hasil percakapan dengan media, dari awal hingga akhir percakapan, cara ini dapat dilakukan berulang-ulang setelah dilakukan refleksi peningkatan kemampuan berbicara baik pengucapan maupun intonasi kalimat. Namun jika anak belum terbiasa menggunakan kalimat panjang ada baiknya diawali dari pengenalan kata-kata.

Cara ini dapat dilakukan terus menerus seiring dengan materi yang sesuai dengan penggunaan alat permainan ini. Namun demikian, ketepatan berbicara dan mendengar memang tergantung pula kemampuan indera anak tersebut, jika inderanya fungsinya baik maka kemampuan intelegensi dalam mengolah kata-kata akan lebih mudah dan teratur begitu sebaliknya jika anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran maupun pengucapan maka akan berpengaruh pula pada kemampuan mendengar dan berbicaranya.

Wassalam

Komentar