Dengan Cara Ini Semestinya Siswa Bandel Dihukum (Sebuah Alternatif)

Hentikan kekerasan pada anak, berikanlah hukuman yang mendidik bagi mereka karena mereka generasi terbaik kita




Dengan Cara Ini Semestinya Siswa Bandel Dihukum (Sebuah Alternatif)

Penulis : M. Ali Amiruddin, S.Ag

Di manapun kita berada, tentu seringkali kita temukan prilaku para siswa-siswi yang terlihat bertingkah di luar batas, kadang menyakiti dirinya sendiri, adapula yang terbiasa mem-bully (baca: menyakiti) teman-teman sebayanya. 

Tindakan ini kadang dianggap biasa saja, sehingga para akademisi selalu menganggap mereka melakukan suatu hal yang sewajarnya, dengan alasan usia mereka memang masih abege atau baru memasuki usia pubertas. Antara dunia anak-anak dan dunia  dewasa yang lagi tinggi-tingginya gairah dalam meniti kehidupan. Dan tentu saja energi yang terlampau berlebih yang seringkali tidak termanfaatkan secara optimal.

Namun, jika prilaku mereka sudah kelewat nakal (bandel) ditambah lagi menyakiti teman-temannya secara fisik atau dengan kekerasan yang mengakibatkan korbannya harus di rawat intensif, atau karena prilaku mereka yang sudah kelewat batas karena menggunakan narkoba. Sehingga ada banyak akademisi serta para orang tua yang harus pusing tujuh keliling. Ditambah lagi jika anak-anak ini tidak lagi merasa takut dengan sanksi yang diberikan oleh sekolah sehingga segala macam hukuman seakan-akan tak memperbaiki kondisi yang amat tak patut ini
Dampaknya tidak hanya orang tua, guru saja yang harus kejatuhan masalah mereka, KOMNAS Anak pun sepertinya harus riweuh jika mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan para ABG ini.
Tapi apakah Anda tahu bahwa hakekatnya anak-anak pelajar yang melakukan kenakalan pun sepatutnya dihukum. Dihukum dalam tanda kutip tidak menyakiti fisiknya. Tidak hanya dianjurkan atau dilarang menyakiti fisik, secara psikis pun sepatutnya dihindari. 

Tentu saja bertujuan agar perkembangan fisik dan psikologis si anak tidak mengalami gangguan dan trauma paska hukuman diberikan. Sehingga amat wajar jika para pendidik, akademisi dan professor pendidikan yang berusaha mencari solusi terhadap fenomena kenakalan anak ini.

Penanganan terhadap kenakalan remaja dan prilaku merusak para remaja ini hakekatnya dapat dilakukan dengan proporsional. Namun jika melihat beberapa kasus kenakalan ABG yang justru berdampak diberikan hukuman tahanan ternyata justru tidak menjadikan anak ini lebih baik. 

Anak yang awalnya mengalami goncangan psikis dan perubahan prilaku karena diawali dari perhatian orang tua yang amat minim, tatkala anak-anak ini melakukan perbuatan yang keliru ternyata karena mendapatkan sanksi pidana dan dijebloskan dalam penjara, justru anak-anak ini mendapatkan pengetahuan akan kekerasan yang diperoleh dari para narapidana yang sama-sama mendiami sebuah lapas.

Pantas saja, anak-anak yang masih bau kencur ini secara tidak langsung meniru aktifitas merusak yang dilakukan di dalam lapas. Seperti merokok, kekerasan fisik dan psikis karena mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang sekitarnya, serta pengalaman negatif lain seperti pelecehan seksual. 

Seperti yang diceritakan mantan narapidana bahwa siapapun yang pernah masuk ke dalam lapas, maka anak yang awalnya nakal karena tekanan keluarga yang tidak begitu peduli, harus berubah menjadi kenakalan karena tekanan kekerasan tatkala di lapas. Masih beruntung jika hanya fisik yang diterima. Nah, jika harus mendapatkan perlakuan tidak senonoh misalnya "maaf" disodomi, seperti beberapa prilaku narapidana, hakekatnya hal ini menjadikan trauma yang akan mereka rasakan hingga usia senja.

Didalam lapas, tujuannya anak-anak ini jera dan menjadi baik, tapi justru berubah menjadi brutal, merokok, bahkan ada pula yang tersangkut narkoba lantaran di lapas juga menjadi tempat peredaran barang haram tersebut.

Bayangkan, jika di antara anak-anak yang ditahan tersebut adalah anak-anak kita apa yang akan kita rasakan? Takut, dan kekhawatiran yang akan muncul jika anak-anak kita benar-benar berprilaku tidak senonoh. Apalagi yang lebih parah lagi jika mereka menjadi trauma karena mendapatkan kekerasan secara fisik maupun psikis di dalam lapas, bukan?

Kejahatan kecil karena salah asuh anak, justru akan membunuh karakter terbaik dari anak-anak kita, bahkan justru bisa menjadi benih-benih perusak yang akan memengaruhi kehidupan orang-orang di sekitarnya. Amat mengerikan.

Kesalah pahaman orang tua tatkala anak-anaknya melakukan kesalahan.

Anehnya masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan kenakalan anak-anak mereka, beberapa orang tua justru hanya menyalahkan sekolah yang dianggap tidak bisa mendidik anak-anak mereka. 

Menyalahkan lembaga yang jam tugasnya lebih sedikit daripada tugas dari orang tua anak sendiri.
Orang tua yang semestinya menyadari bahwa keselahan anak adalah kesalahan orang tua pun masih saja ditentang. Bahkan anehnya ketika pihak sekolah memberikan hukuman yang mendidik dengan tugas di sekolah, justru orang tua menganggap guru dan sekolah tidak becus dan dianggap melampaui batas. 

Seperti halnya ketika anak membolos, pihak guru memberikan hukuman dengan anak diperintahkan membersihkan toilet atau membersihkan lingkungan justru orang tua banyak yang protes. Dan anehnya tidak menyadari bahwa dengan memberikan hukuman pekerjaan ringan ini akan mengerti bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi yang harus mereka terima. Ada reward dan ada pula punishment. Ada hadiah bagi anak yang berprestasi dan ada hukuman bagi anak-anak yang berbuat kesalahan.

Bahkan anehnya lagi, ketika sang anak dimarahi guru, justru orang tua membela anak dengan membabi-buta. Mereka tidak menyadari bahwa dengan pembelaan orang tua tersebut menjadikan anak semakin percaya diri dengan perbuatan salahnya. Mereka menganggap ada orang yang dapat membela ketika anak berbuat keliru.  Dampaknya anaknya tidak semakin baik justru semakin brutal.

Sebuah kesalahan anak sejatinya tidak perlu diberikan pembelaan dari orang tuanya. Toh, pendidikan dan hukuman yang diberikan sang guru karena ingin anak mendapatkan perlakuan yang sama dan tidak ada kesan ada anak yang istimewa di antara anak-anak lainnya.

Adapula yang justru menyakiti dan memukuli sang anak ketika mereka melakukan kesalahan. Dampaknya sang anak semakin berperangai buruk dan memiliki trauma yang berkepanjangan. Anak tidak lagi mengenal bagaimana mereka harus berbuat tapi justru melampiaskan kekesalahannya dengan melakukan kekeliruan yang berkepanjangan.

Kedua tipe orang tua di atas sejatinya menjadi potret kenakalan anak-anak sekolah menjadi parah. Orang tua yang tidak mendukung guru dan sekolah dalam menanamkan pendidikan bagi anak-anaknya justru memberikan kesempatan bagi anak menjadi semakin buruk perangainya.

Bagaimana Hukuman Yang Pantas diberikan kepada anak?

Anak-anak yang sudah kadung terlibat pada pergaulan yang menyimpang, hakekatnya pun harus dikembalikan pada kebiasaan yang mendidik mereka untuk hidup mandiri. 

Memberikan bimbingan batin dan perhatian yang tulus kepada anak-anak ini. Karena amat tidak mungkin ketika anak-anak diharapkan menjadi anak yang mandiri, justru orang tua dan orang-orang disekitarnya justru menghukum dengan hukuman yang tak patut. Jika orang tua tak mampu mendidik secara ekslusif, maka ada baiknya menyerahkan kepada seseorang yang pantas menjadi orang tua asuh. 

Orang tua asuh yang bisa menjadi tempat mereka belajar menjadi diri sendiri, dan diberikan tugas yang tidak hanya menghukum, akan tetapi memberikan mereka pengalaman hidup bagaimana hidup mandiri. Mereka mendapatkan bekal keterampilan dan juga mendidik mereka menjadi lebih dewasa.

Setiap pekan orang tua mengamati perkembangan anaknya, baik menanyakan apa yang telah mereka lakukan dan pengalaman apa yang telah mereka dapatkan. Dan secara kontinyu orang tua tersebut mengontrol anak dan mengevaluasi sejauh mana perkembangan kemandirian mereka.

Misalnya, titipkan anak mereka pada petani yang akan mengajarkan bagaimana mereka mengelola perkebunan, meski hal ini tak lazim, tapi hanya langkah pendidikan dengan cara menghukum tapi mendidik inilah sejatinya yang bisa dilakukan terhadap anak-anak yang sudah kadung terpengaruh pergaulan yang tidak benar. Menempatkan mereka pada dunia pekerjaan yang justru melatih mereka memahami hakekat sebuah pekerjaan justru akan mengurangi sedikit banyak ketergantungan anak terhadap orang tua dan mengajarkan mereka menjadi diri sendiri.

Bisa juga ditempat di sektor-sektor lain yang tentu saja bukan untuk memperkerjakan mereka tapi melatih mereka mengenal dunia yang butuh tenaga dan pikiran dan tidak semata-mata dihabiskan usia mereka pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Akan lebih baik jika anak-anak nakal tersebut dihukum dengan cara learning by doing dan working by learning dengan ditangani oleh masyarakat yang memiliki kesanggupan untuk membekali mereka dengan keterampilan.

Point pertama, anak akan terlepas dari pergaulan bebas dan point kedua mereka menjadi mengenal dunia mereka seperti apa adanya. Tidak menjadikan mereka ternina bobokkan dengan situasi yang amat mudah untuk ditempuh. Memanfaatkan energi yang berlebih pada sebuah pekerjaan yang mereka harus belajar untuk menjadi diri sendiri.

Anak-anak menjadi kelewat nakal dengan seabrek konflik kepribadian hakekatnya diawali dari perhatian dan kepedulian dari orang tua, lingkungan dan pemerintah. Sehingga dengan perhatian yang cukup dan membekali mereka dengan segenap pendidikan budi pekerti dan pengalaman di luar kelas pun dapat mengurangi dampak kenakalan remaja.

Salam


divine-music.info

divine-music.info



divine-music.info





Komentar