Memformat Ulang Ujian Nasional. Perlukah?



Berbicara tentang UN sepertinya memang tidak berujung. Di samping karena penuh pro dan kontra, tentu saja karena teramat rumit sistem dan teknis pelaksanaannya. Sehingga sepantasnya sarana untuk menilai prestasi akademik siswa ini diperbincangkan lebih mendalam oleh para akademisi di tanah air. Tentu saja harapannya agar UN benar-benar mengukur prestasi siswa dan tidak hanya kegiatan rutin yang hanya menghambur-hamburkan uang negara.

Sekali lagi, karena begitu pentingnya ujian nasional, maka kaum cendikiawan pun bersama-sama merumuskan teknis ujian nasional yang sepatutnya mewakili item-item persoalan yang sesuai dengan materi pembelajaran. Bagik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sehingga mau tidak mau, penyusunan format ulang ujian nasional sangat dibutuhkan. Hal tersebut mengingat karena tingginya tingkat kegagalan lulusan siswa pasca ujian nasional dalam mengikuti arus kompetisi yang semakin sulit.

Sebagaimana kita tahu, saat ini UN masih saja menggunakan format pilihan ganda (Multiple Choice) di mana siswa diberikan kemudahan dalam menjawab soal. Namun sayang sekali justru soal yang katanya “mudah” ini justru semakin menyesatkan alam berpikir para siswa. Pasalnya, saat ini siswahanya dituntut memilih tanpa dituntut untuk menjawab dan menganalisis persoalan dengan bahasanya sendiri. Tidak hanya facumnya pola pikir siswa, karena selama ini ujian nasional justru menjerumuskan siswanya pada sistem hafalan. Padahal sejatinya saat ini persoalan yang muncul bukan hanya bersifat hafalan tapi lebih banyak bersifat praktis. Siswa secar a langsung menangani persoalan yang muncul di lingkungannya.

Meskipun ketika soal PG tidak mesti buruk jika team penyusun soal benar-benar profesional, namum tidak sepatutnya jenis soal melulu multiple choice. Karena jenis soal ini sepertinya sudah sangat usang dan tidak benar-benar mengukur prestasi siswa. Terbukti, mereka menyimpan materi pelajaran dalam memori ingatan mereka tapi meraka sulit sekali mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga sebatutnya ujian nasional tidak berbentuk pilihan ganda, alasan karena saat ini kebutuhan lulusan bukan hanya dinilai siapa orangnya (who) tetapi apa (what) dan how (bagaimana), yakni tidak melihat siapa orangnya melainkan apa keahliannya. Sehingga tudingan banyak pihak bahwa ujian nasional penuh kesia-siaan sepatutnya mulai dikikis bahkan tidak akan terjadi lagi.

Sebenarnya, dengan bentuk soal pilihan ganda memiliki tingkat kemudahan paling tinggi dibandingkan dengan soal essay maupun praktik. Karena dengan bentuk soal pilihan ganda yakni option A sd. D atau E sekalipun soal tersebut tetap terkesan amat mudah. Meskipun tetap saja di antara peserta yang dapat  menyelesaikan soal tersebut ada saja peserta yang bingung mengerjakan soal. Adakalanya kebingungan tersebut disebabkan rumitnya siswa memahami naskah soal, dan bingung karena tingginya standar soal yang diberikan. Soal yang diberikan sepatutnya mudah dipahami dan tak perlu berfikir keras sampai seribu kali sebelum akhirnya dapat menentukan jawabannya dengan tepat.

Kesan soal yang mudah dibaca tapi sulit dimengerti ini seringkali muncul di dalam soal-soal UN sebagaimana pernah dibahas oleh seorang Kompasianer terkait teks soal yang tidak “nyambung” dan dianggap penulis soalnya tidak profesional.

Persoalan pertama terkait soal UN sudah terlihat dari bentuk soalnya  sudah terkesan membingungkan meskipun mudah, kesan keduanya hakekatnya soal itu “sepatutnya” mudah tapi tetap saja rumit. Wajar jika soal-soal tersebut sepertinya sudah dijawab dengan benar, toh hasilnya masih sangat jauh dari harapan. Tetap saja nilai-nilai siswa masih banyak yang rendah. Sudah rendah efek positif dari soalpun masih jauh dari kesan faktual dan aktual.

Mengingat jenis tes bentuk pilihan ganda dianggap terlalu mudah namun rumit, ada baiknya jika soal-soal tersebut difokuskan pada bentuk soal essay dan praktik murni. Ketika pemerintah ingin mengukur kemampuan kognisi dan afeksi siswa dengan soal essay tersebut. Tapi jika ingin mengukur kemampuan psikomotorik tentunya dengan metode praktik saja. Atau soal tertulis ada baiknya dihapuskan atau disesuaikan dengan kebutuhan saja dan diganti dangan praktik. Seperti halnya jika pelajaran Bahasa Indonesia, maka tesnya praktik menulis, membaca, mendengarkan dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Sifatnya individual seperti tatkala kita mendapatkan ujian bahasa Inggris memakai pola praktik langsung di sebuah ruangan audio visual. Anak akan benar-benar bisa menguasai bahasa Indonesia bukan hanya tebak-tebak jawaban ABCDE tapi benar-benar memiliki kemampuan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka bisa menulis, membaca, mendengarkan dan berbicara dengan benar dan tidak hanya mampu menjawab soal pilihan ganda yang dianggap mudah tapi masih saja rumit dan tidak terpusat pada kebutuhan yang diperlukan saat ini.

Begitu pula jika materi tersebut berkaitan keahlian seperti di sekolah-sekolah teknik misalnya SMK pertanian atau teknik mesin, maka soal tersebut murni praktik, teori cukup sepuluh soal saja selebihnya melakukan praktik untuk memberikan kategori. Misalnya mahir, cukup mahir dan kurang mahir. Bagi anak yang sudah mahir sepatutnya diluluskan dan diberikan sertifikat kemahiran dan pantas disebut profesional. Nah, bagi anak ini sudah sepatutnya diberikan kesempatan yang lebih apakah ingin melanjutkan di jenjang pendidikan tinggi atau langsung ditempatkan di sebuah perusahaan. Perusahaan tak perlu khawatir lagi pekerjanya tidak bekerja secara profesional karena keahliannya sudah diuji dengan akurat dan tepat.

Meskipun dimungkinkan dengan pengkatagorian tersebut terkesan tidak adil, namun faktanya di sekolah manapun tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Akan tetapi dengan perbedaan kemampuan tersebut hendaknya si anak memiliki alternatif kecenderungan lain yang bisa dikembangkan dalam kehidupan mereka.

Kedepannya diharapkan format ujian nasional benar-benar mengukur aspek keahlian (psikomotorik) tidak seperti bentuk soal-soal yang sampai saat ini digunakan oleh pemerintah. Dengan kata lain merubah sistem ujian dan bentuk (jenis) ujiannya demi melahirkan akibat yang lebih faktual dan aktual ketimbang memburu kemampuan kognisi saja.

Namun demikian, meskipun bentuk soal tersebut hendak mengukur aspek psikomotorik, sebaiknya tidak meninggalkan aspek afeksinya agar setinggi-tingginya keahlian siswa dalam bidang tertentu, para lulusan tetap memegang kearifan diri dan menjunjung tinggi karakter positif dalam dirinya.

Jika ternyata sistem ujian benar-benar mengukur keahlian para siswa, maka pemerintah sudah menjadikan lembaga pendidikan di negeri ini sebagai kawah candra dimuka, atau tempat penggemblengan diri baik pengetahuan (pemahaman) penghayatan dalam pembentukan karakter dan kemampuan mengamalkan (mempraktikkan) keahliannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih khusus tatkala mereka harus memasuki dunia kerja.

Para lulusan tidak hanya dipersiapkan sebagai pengangguran. Sebagaima para lulusan SMA saat ini yang masih menyimpan kebingungan kemana mereka akan melangkah. Apakah berhenti sekolah atau melanjutkan ke perguruan tinggi. 

Ketika mereka menghendaki berhenti di jenjang SMA atau perguruan tinggi,  faktanya sama sekali “tidak siap pakai” ketika memasuki dunia kerja. Meskipun adakalanya para ahli pendidikan menganggap tingkat SMA hanya sebagai batu loncatan untuk menempuh pendidikan tinggi, tapi sepatutnya meskipun mereka tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi, kemampuan mereka sesuai dengan latar belakang pendidikannya bisa diandalkan dan dapat dipertanggung jawabkan. 

Jangan sampai anak-anak lulus SMK Permesinan misalnya sama sekali tidak bisa memperbaiki motor yang rusak. Karena sehari-harinya mereka dididik dan dilatih mengenal mesin dan bagaimana menangani masalah kerusakan mesin.

Hal tersebut kemungkinan karena kemampuan mereka masih berupa aspek kognisi saja sedangkan aspek afektif dan psikomororik masih amat rendah. Sehingga pendidikan yang hanya berhasil mentransfer ilmu kongnisi saja semestinya dibuang jauh-jauh. Sekali lagi karena kompetisi dunia kerja menuntut para siswa menjadi personal yang siap pakai dan siap kerja.

Kebijakan yang salah terkait siswa berprestasi

Saya tidak hendak mencela atau merendahkan sistem perekrutan siswa berprestasi yang dilakukan pemerintah. Karena semua merupakan kebijakan tertinggi kementrian pendidikan dan pemerintah tentunya. Namun paling tidak kita akan mengetahui bahwa adakalanya pemerintah, khususnya kementrian pendidikan tidak cepat-cepat mengambil langkah kongkrit tatkala berhubungan dengan siswa-siswi berprestasi.

Masih teringat bagaimana pemerintah membuka IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) yang mencetak generasi muda terbaik untuk ditempatkan sebagai calon pemimpin di daerah, siswa yang direkrut adalah siswa yang memiliki prestasi tinggi di sekolahnya. Agenda pemerintah cukup berhasil dengan melahirkan para lulusan yang siap ditempatkan di beberapa kantor pemerintahan. Namun sayangnya sistempendidikan di IPDN justru pernah menorehkan luka bagi orang tua siswa karena kekerasan yang dilakukan di dalamnya. Tidak hanya kekerasan yang dialami, ternyata IPDN justru dipenuhi oleh tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan civitas akademinya. Itulah potret yang baik namun berakhir buruk dari sistem pendidikan kedinasan di Indonesia.

Sayang sekali, pendidikan yang sepatutnya merata untuk segala bidang keahlian, ternyata masih berkutat pada urusan kepemerintahan saja. Dan lebih disayangkan lagi ternyata lulusan dari IPDN pun tetap saja belum menjamin mereka benar-benar berkarakter positif. Mereka ahli dalam pemerintahan tapi mental kejujuran mereka masih rendah.

Mendahulukan lulusan terbaik bangsa untuk dididik secara keras di sekolah pemerintahan, tapi melupakan siswa-siswa yang berprestasi dari jujuran keahlian lain. Satu sisi pemerintah begitu concern melahirkan lulusan ahli pemerintahan, tapi masih minim sekali perhatian terhadap keahlian lainnya. Terbukti mahasiswa IPDN mendapatkan tiket bekerja di lembaga pemerintahan sedangkan mahasiswa ITB masih sulit mengembangkan dirinya lantaran mereka justru lebih suka bekerja sebagai pegawai negeri yang jauh dari konsep awal terkait pendidikan yang mengacu ranah psikomotorik. Mudah-mudahan dugaan saya meleset. Karena sampai saat ini ITB masih saya anggap sekolah tinggi yang melahirkan generasi muda berpotensi mengembangkan teknologi sesuai dengan jurusan yang ditempuh. 

Tidak hanya ITB, karena IPB pun seharusnya menciptakan generasi yang dapat menjadikan pertanian Indonesia maju ternyata sampai saat ini seperti jauh panggang dari api.
Tekhnologi kita yang selalu ketinggalan dan pertanian kita yang juga semakin jauh dari bangsa lain. Sebuah kekeliruan jangkan panjang yang ternyata menjadikan bangsa ini semakin terperosok ke lubang kemiskinan.

Semoga saja dengan memformat ulang sistem dan teknis UN akan berdampak sistemik terhadap lahirnya generasi-generasi tangguh yang siap pakai dan siap kerja, karena apalah artinya jika seperangkat pendidikan yang dibangun tidak benar-benar up to date terhadap tingginya permintaan SDM yang semakin tinggi.

Salam


Komentar