Pernahkah Anda Tahu, Betapa Bahagianya Ketika Dirindukan Siswa Kita?


Oleh: M. Ali Amiruddin, S.Ag.

Siapapun Anda, sepertinya tidak ada yang tak mau kalau dirinya dicintai. Dan tak kan ada pula yang tak ingin dirindukan. Terutama oleh anak-anak kita sendiri tentunya dan anak-anak didik kita di sekolah. Sepertinya anggapan saya akan sama. Baik Anda seorang single parent maupun double parent. Baik Anda seorang guru sekolah formal maupun guru di tempat kursus sekalipun. 

Dan saya pun dapat menduga, pastilah kita semua yang merasa mereka sebagai guru, guru bagi keluarganya dan guru bagi siswa-siswinya, akan begitu bergairah jika anak-anak didik kita selalu menanti kedatangan kita. Sosok yang selalu mengerti apa yang menjadi curahan hati para anak didik kita dan tentunya anak-anak yang benar-benar merasakan kedekatan dengan kita yang dianggap sebagai wakil atau orang tua kedua setelah mereka meninggalkan orang tua kandung demi mengenyam pendidikan.

Mungkin sepertinya tidak mudah menjadi sosok yang dirindukan ya? Kalau keluarga kita yang pasti akan merindukan kehadiran kita tatkala keberadaan kita bisa menjadi pelindung dan pemberi dukungan atas apa yang mereka lakukan. Kita hidup di antara anggota keluarga yang dinamis. Tawa yang selalu menghinggapi meskipun ada kalanya tangis menjadi bumbu tatkala kita berada di tengah-tengah mereka.

Begitu pula kita sebagai orang tua kedua, tatkala anak-anak didik kita membutuhkan perhatian yang tulus dari gurunya, tentulah karena mereka menghendaki wakil dari orang tuanya tersebut dapat mencintai dan memperhatikan dirinya tatkala tengah haus akan ilmu pengetahuan. Haus akan pendidikan budi pekerti dan perhatian, dan haus akan kasih sayang yang akan mengakar dalam hati nurani mereka anak-anak yang polos dan butuh bimbingan.

Memang sepertinya mudah, meskipun di antara satu guru yang berhasil membina para siswanya hingga sukses menempuh pendidikan selanjutnya, ternyata ada ribuan guru yang telah gagal membekali anak didiknya untuk mencintai dirinya sendiri dan mencintai orang-orang di sekitarnya. 

Mereka gagal bukan karena semua siswanya tidak lulus ujian. Atau ada di antara anak didiknya yang harus tertinggal kelas. Tapi kegagalan para guru ini tatkala para siswanya justru bosan dengan kehadiran pendidiknya. Guru dianggap sebagai sosok malaikat pembunuh (killer) menakut-nakuti anak didiknya dengan ancaman tak dinaikkan kelas. Dan sosok guru yang selalu mengabaikan perhatiannya untuk mendidik mereka. Sekali lagi mereka tak hanya butuh transfer ilmu pengetahuan (kognitif) saja dengan sederet nilai tinggi. Akan tetapi lebih dari itu mereka merindukan sosok pendidik sekaligus sebagai pemimpin yang mengayomi. Bahkan lebih dari itu gurunya diharapkan menjadi sosok yang akan mengobati kerinduan akan kasih sayang dan perhatian tatkala para orang tua mereka harus sibuk meniti karir dan mencari rezeki.

Masih Adakah Guru Yang Dirindukan Siswanya?

Pertanyaan ini pun sejatinya akan dapat kita jawab. Melihat fenomena kejahatan anak-anak didik kita yang benar-benar jauh dari kata wajar. Semua orang pun harus dibuat gamang, apa gerangan yang harus dilakukan melihat fenomena yang menyesakkan ini? Bahkan adapula yang harus mencari-cari kembali metode apakah sepatutnya yang harus digunakan para gurunya agar pada anak didiknya kembali menjadi anak-anak yang menyejukkan. Anak-anak yang benar-benar kembali seperti seusia mereka. Bukan anak-anak keji yang selalu menyakiti dan bertindak anarki.

Mengingat begitu besar peran guru saat ini- bahkan saya anggap peran guru melebihi peran orang tuanya – di mana keberadaan mereka benar-benar harus menjadi orang tua tatkala para orang tua kandung mereka harus mencari penghasilan. Meniti karir dan tentu saja mengejar kesuksesan. Maka keberadaan guru menjadi mesti dan harus bisa mewakili para orang tuanya tatkala mereka berada di sekolah. Meskipun hakekatnya akan sia-sia saja jika di sekolah diperlakukan sebagai manusia tapi di rumah selayaknya benda hiasan rumah. Sehari-harinya  mereka bermain tanpa pengawasan orang tua. Seakan orang tua begitu abainya mengingat segala  macam permainan diberikan tapi sentuhan ruhani (kejiwaan) berbentuk perhatian dan kasih sayang teramat minim mereka dapatkan.

Anak-anak mereka di rumah seperti hewan-hewan peliharaan yang sepatutnya hanya diberi makan dan uang jajan. Tapi hati mereka gersang dari perhatian dan kasih sayang.

Dari sinilah, keberadaan guru semakin tertuntut. Tak hanya menjadi team pengajar, tapi juga seorang pendidik dan pembelajar. Mendidik para siswanya agar berbudipekerti yang luhur, mendidik mereka agar mampu hidup mandiri tatkala dunia ini penuh sesak dengan kompetisi mencari rezeki. Dan ketika mereka harus siap hidup dalam gegap gempitanya kehidupan glamour. Tak hanya mendidik, tapi menjadikan mereka belajar menjadi diri sendiri, makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Agar mereka pantas hidup dan sukses menjalani kehidupan yang serba sulit dengan kesiapan mental dan pengalaman yang memadai. Sesuai dengan jenjang yang kini di hadapi anak-anak didiknya. Tatkala di usia dini, maka guru sepatutnya mampu menyuguhkan ilmu dan pengalaman yang akan tertanam dalam sanubari dan ketika merekadewasa para siswanya pun siap menjadi anak-anak yang terlatih.

Saya pun belum menjadi guru yang mereka harapkan, tapi betapa indahnya tatkala dihari-hari kita mendidik mereka, kita selalu dinati dan dirindukan. Guru yang selalu dirindukan ibarat awan yang bersiap-siap menyiramkan air hujan yang menghidupkan segalanya. Dan bagaikan matahari yang menyirani di saat gelap gulita.

Guru Tak Hanya Cerdas, Tapi Benar-benar Berjiwa Pendidik

Amat salah jika kita beranggapan guru saat ini kurang berpendidikan. Dan tidak tepat jika pendidikan para guru saat ini di bawah rata-rata bukan? Tentu. Karena saat ini standar pendidikan minimal sarjana strata satu, dan lebih dari itu jika para guru ini kembali menuntut ilmu hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Dan tentu saja kita pun menolak jika kita dianggap guruyang tak layak mendidik karena dianggap pengalaman kita yang kurang baik. Karena rata-rata guru di Indonesia sudah mengikuti seabrek pendidikan dan pelatihan yang cukup demi membekali para pendidik ini agar sukses dalam mendidik para siswanya. Bukan sukses para guru karena mendapatkan tiket perjalan umroh atau naik haji dan uang saku yang tinggi karena berhasil memenangkan lomba. Dan bukan pula kesuksesan guru karena bisa hidup bermewah-mewah dengan bergonta-ganti kendaraan pribadi. Meski tak dilarang tapi bukan itu sejatinya kesuksesan seorang guru.

Kesuksesan guru tidak hanya dilihat dari guru yang mentereng karena dipanggil profesor atau karena kekayaannya yang berlimpah. Tapi bagaimana mereka menyukseskan anak-anakdidiknya. Mereka mampu mementuk setiap diri dan jiwa anak didik berdasarkan keteladanan danpengetahuan yang dicontohkan para gurunya. Bukan sekedar deretan nilai tinggi dikelas. Memang tidak mudah, tapi kita yakin semua guru Indonesia akan bisa melakukannya.

Tak ada alasan lagi guru harus mangkir dari jabatannya saat mendidik siswanya, dan tak ada alasan lagi persoalan ekonomi menghambat kinerja guru. Karena memang saat ini pemerintah sudah memperhatikan kita para guru Indonesia. Meskipun belum sepenuhnya hidup sejahtera. Tapi inilah prestasi yang telah diberikan kepada para guru, tinggal guru yang harus membalas kebaikan ini dengan menjadi pengajar, pendidik, pelatih dan pembina anak didiknya menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negaranya.

Kasus Emon Adalah Kesalahan Guru dan Orang tua Serta Masyarakat di Lingkungannya

Emon, seorang pria yang telah mencabuli beberapa anak hingga 80an anak, sepatutnya menjadi tempat untuk berkaca diri. Dan sepertinya tidak hanya Emon yang telah melakukan tindakan keliru ini. Karena diluar sana ada banyak lagi orang tua yang harus berduka karena kehilangan anak-anak yang dicintainya. Anak-anak yang semestinya mewarisi kehidupan orang tuanya. Apakah semata-mata kesalahan Emon? Tentu tidak bukan?.

Ada banyak sisi yang menjadikan si Emon melakukan tindakan biadab. Boleh jadi peran guru-gurunya yang kurang mengerti akan masa lalu yang juga pernah dialami si Emon. Bahkan para psikolog beranggapan bahwa apa yang dialami si Emon karena selama ini dia seperti kehilangan keluarganya.Penderitaan karena pernah diperlakukan secara tidak manusiawi tetap tersimpan di dalam lubuk hatinya, tanpa perhatian sedikitpun dari orang-orang disekitarnya termasuk para gurunya.

Maka akan sangat wajar, jika pengalaman mengerikan tersebut justru menjadi jeratan kejiwaan yang menyimpang terhadap diri Emon. Apalagi guru dan orang tua justru lebih memilih tak peduli bahkan menutupi karena dianggap sebagai aib.

Itulah Emon, dan ada pula seorang anak karena pisang goreng rela membunuh adik kelasnya. Tanpa rasa bersalah, mereka seperti melampiaskan ekspresi kekejian yang diperoleh dari media dan lingkungannya. Dan sederet kasus yang di alami anak-anak Indonesia. Mudah-mudahan saja hal ini tidak terulang lagi.

Betapa para anak didik tersebut benar-benar membutuhkan dukungan batin agar mereka siap menghadapi tekanan hidup dan kehidupan. Tak hanya bekal ilmu teoritis yang sama sekali tak mengena dan tak membekali budi pekerti bagi  mereka.

Kami para orang tua, dan sekaligus para guru bagi anak-anak kami dan keluarga serta anak-anak didik kami. Memohon pada Tuhan semoga kami bisa menjalankan titah ini dan mengabdikan sepenuh pengabdian mempersiapkan anak-anak didik menjadi anak-anak yang siap menghadapi kehidupan yang serba keras dengan budi pekerti yang luhur dan jiwa yang mantap.

Komentar