Pagi tadi (12/08) tepatnya tatkala saya kembali ingin menyampaikan
tentang seni lukis, sebenarnya saya sedikit kesulitan lantaran memang
basic saya bukan ahli lukis, bukan pelukis atau pekerja seni yang
sehari-harinya mengerjakan karya corat-coret tinta pada media kertas
atau kanvas tersebut. Saya juga bukan lulusan dari seni lukis pada
perguruan tinggi yang fokus untuk mahasiswa jurusan seni. Tapi
benar-benar nol pengalaman, tapi meskipun demikian saya tetap berusaha
semampu dan sebisanya mengajarkan beramacam-macam materi pada anak-anak
penyandang disabilitas.
Saya memang bukan ahli melukis, tapi
sangat bangga jika bisa mengajarkan anak-anak disabilitas melukis dengan
melihat benda-benda secara nyata. Dan alhamdulillah meskipun hasilnya
tidak seperti anak-anak pada umumnya, paling tidak cara menggambar dan
kombinasi warna sudah sangat baik.
Mungkin jika dikaitkan dengan status
pendidikan, tentu saja jauh dari kesan pantas. Akan tetapi karena
dorongan kebutuhan dan tuntutan di mana guru-guru bagi anak-anak
berkebutuhan khusus memang harus serba bisa dan berusaha mendidik
anak-anak tersebut dengan cara kreatif dan melihat model-model
pembelajaran yang sudah diajarkan oleh para akademisi dan ahli
pendidikan sebelum-sebelumnya.
Ada banyak model pembelajaran yang
sejatinya banyak ditulis dan diajarkan oleh para ahli pendidikan, dan
tentu saja beberapa model tersebut memang sudah diteliti tingkat
ketercapaiannya tatkala teori pembelajaran tersebut lahir dan
diterapkan. Sehingga amat pantas jika kerja keras pada ahli dan peneliti
pendidikan dapat kita jadikan acuan dalam kita melakukan pembelajaran
bagi anak didik kita. Terlepas seberapa besar tingkat kesuksesan yang
penting proses pembelajaran adalah suatu hal yang paling pokok sebelum
membicarakan hasilnya.
Dan juga terlepas dari beberapa model
pembelajaran, saya ingin menyampaikan tentang penggunaan model
pembelajaran kontekstual tatkala saya mengajarkan tentang seni lukis.
Seni lukis a la anak-anak penyandang disabilitas. Anak-anak yang
memiliki keterbelakangan intelegensi dan tentu saja keterbatasan dan
pergerakan fisik karena di antara mereka juga menyandang kecacatan
fisik.
Meskipun banyak pula penyandang disabilitas yang memiliki
prestasi yang luar biasa, khususnya dalam bidang lukis melukis dan
mendapatkan penghargaan atas kemampuannya yang luar biasa pula.
Sebagaimana menurut Depdiknas, 2012
bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian model
pendekatan atau sistem pembelajaran ini benar-benar mendorong siswa agar
benar-benar mengaitkan dunia nyata dengan konsep yang tengah
dipelajarinya.
Sebuah materi tidak sekedar teori-teori
yang sulit diterima, akan tetapi anak akan benar-benar mengenal dan
memahami secara langsung dengan apa yang ada dalam kehidupannya atau
dalam alam sekitar. Bahkan sejalan dengan model pembelaran tematik
integralistik, sepatutnya semua materi pembelajaran akan sangat
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga secara tidak
langsung anak-anak akan mendapatkan pengalaman yang nyata dan
mengesankan. Dampaknya justru pengetahuan benar-benar terpatri dalam
pikiran, dalam sanubari dan tentu saja dapat diaplikasikan dalam dunia
nyata mereka.
Konsep pembelajaran kontekstual akan
memiliki banyak kelebihan apabila dibandingkan dengan sistem
pembelajaran klasik, di mana guru sebagai sentral dalam proses
pendidikan (teacher center) dan saat ini diarahkan dan berpusat pada peserta didik (student center).
Dengan demikian guru tinggal mengarahkan dan selebihnya siswa-siswa
yang berusaha memperoleh pengetahuan dengan obyek yang lebih nyata.
Pembelajaran secara kontekstual
hakekatnya merupakan substansi, bahwa ada baiknya anak-anak memperoleh
pengalaman yang langsung dia rasakan dan bukan hanya cerita-cerita yang
sulit dipahami dan dipraktikkan. Misalnya tatkala saya ingin mengajarkan
tentang seni lukis, saya berusaha mengaitkan pada materi lain sesuai
dengan tema, dalam hal ini temanya adalah tentang alam sekitar. Karena
obyek yang ingin anak-anak pelajari adalah melukis daun, maka anak-anak
terlebih dahulu saya perkenalkan tentang karakter dan warna daun,
jenis-jenis daun berdasarkan jenis atau golongannya, dan juga bagaimana
melakukan kombinasi warna agar diperoleh warna yang serasi dan sesuai
dengan benda yang ingin digambarkan.
Pada tahap permulaan, anak sudah kita
memasuki wilayah pembelajaran IPA terkait bermacam-macam tanaman
berdasarkan karakteristik daunnya, sehingga secara tidak langsuung pula
anak sudah berusaha mengaitkan materi tersebut dengan pembelajaran seni
lukis yang tentu saja jenis lukisan alami (bukan abstrak) anak akan
mendapatkan pengalaman langsung, melihat, menyentuhnya dan tentu saja
menggambarkannya dalam sebuah media kertas dengan kemampuan
masing-masing.
Saya jelaskan secara simpel
bermacam-macam daun dan karakteristik (ciri-ciri) daun berdasarkan
golongongannya atua jenisnya. Setelah itu saya mempersilahkan kepada
anak-anak agar mencari sendiri jenis daun yang mereka inginkan untuk
kemudian dilakukan proses melukis dengan media yang sudah ada. Beruntung
sekolah kami memiliki kebun yang luas dengan beraneka ragam tanaman
sehingga anak-anak pun tak merasa kesulitan.
Tak seberapa lama, masih-masing anak
sudah mendapatkan daun yang mereka inginkan untuk kemudian menjadi pola
yang akan mereka jadikan obyek gambar.
Seiring anak-anak melakukan proses
menggambar, anak-anak diarahkan agar dapat melakukan penggabungan warna
sesuai dengan kebutuhan. Karena kebetulan media pewarna bukan cat air,
jadi caranya dengan melakukan pewarnaan dengan beberapa kali dengan
warna yang berbeda dan dapat dipadu padankan sehingga diperoleh warna
yang sesuai.
Dengan pembelajaran ini, anak-anak
terlihat lebih bersemangat dan tentu saja karena ada pergerakan fisik
yang menjadikan tubuh anak dapat bergerak dengan leluasa. Selain itu
anak tidak dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang belum sama sekali
mereka kenali sebelumnya. Boleh saja bagi anak-anak normal karena
kemampuan imajinasi yang tinggi, tapi bagi anak-anak penyandang
disabilitas ada beberapakelemahan termasuk dalam hal imajinasi sehingga
yang dibutuhkan adalah pengalaman nyata.
Sehingga jika kita ingin menggunakan pembelajaran kontekstual, kita akan mendapatkan beberapa manfaat nyata sebagai berikut:
1. Anak akan belajar tentang benda-benda secara langsung sehingga tidak sebatas gambar atau teori semata.
Pembelajaran dengan cara kontekstual,
anak akan mempelari dan melakukan aktivitas belajar dengan media yang
benar-benar nyata dan ada di sekitar mereka. Manfaatnya tentu saja anak
akan memperoleh pengalaman langsung dan tidak sekedar sebuah teori-teori
yang sulit dikenali.
Dengan kata lain, jika kita berusaha
mendidik anak tentang seni lukis yang bermotif tanaman, tentu saja
secara tidak langsung guru sudah memperkenalkan siswa-siswanya terhadap
obyek yang lebih nyata, meskipun terkadang memang bagi sekolah yang
tidak memiliki kebun yang luas mereka akan mengalami kesulitan dan hanya
menggunakan gambar atau media lain yang bersifat abstrak.
2. Anak akan dapat mengaitkan beberapa materi pelajaran yang berbeda disesuaikan dengan tema yang tepat.
Dalam hal ini, dengan amat mudah guru
secara langsung mengarahkan anak tidak berlajar pada satu obyek saja,
akan tetapi mempelajari banyak obyek. Sehingga akan diperoleh hubungan
yang saling berkaitan dan memperoleh banyak pengetahuan baru yang belum
sama sekali mereka dapatkan.
Bahkan dalam pembelajaran tematik, satu
tema akan berkaitan dengan banyak materi yang dikombinasikan menjadi
satu kesatuan yang utuh. Anak tidak hanya belajar secara parsial tapi
lebih dari itu anak diarahkan mempelajari sesuatu secara utuh atau
komprehensif.
3. Anak tidak mudah jenuh (bosan) karena aktifitas belajarnya tidak terfokus pada satu obyek saja.
Pada dasarnya sifat anak-anak akan mudah
jenuh dan bosan dalam belajar. Sehingga banyak anak yang mengeluh
tatkala guru asyik-asyik menjelaskan pelajaran. Dan lebih dari itu ada
di antara anak-anak ini yang biasanya bermain sendiri atau sibuk
mengobrol dengan kawannya karena enggan memperhatikan. Tentu saja karena
model pembelajaran yang membosankan dan bersifat satu arah. Guru
menceramahi dan siswa mendengarkan.
Anak tuna ganda (daksa dan grahita) yg tengah asik membuat gambar daun dengan motif daun singkong (doc.pribadi)
Tapi dalam pembelajaran kontekstual,
anak justru lebih aktif dan kreatif menemukan hal-hal yang baru dan
mempelajari suatu obyek secara lebih nyata dan mendalam dan dengan cara
yang menyenangkan.
Karena mudahnya pembelajaran ini, ada di
antara mereka yang justru tertarik dan ingin melakukan hal yang sama
berulang kali karena merasa model pembelajarannya lebih baik dari
biasanya.
4. Pembelajaran kontekstual memberikan pengetahuan lebih
Kelemahan pada pembelajaran yang
terpusat pada guru biasanya anak-anak akan mudah sekali merasa bosan dan
pengetahuannya tidak berkembang. Apalagi saat ini pada kurikulum 2013
sepertinya para siswa diarahkan belajar mandiri dengan media yang
beraneka ragam. Tidak hanya dari segi pengetahuan saja, tapi pendidikan
karakter yang baik pun sejatinya menjadi tujuan utama dalam proses
pendidikan.
Sekelumit penggunaan model pembelaran
kontekstual ini bisa jadi berbeda dengan cara yang satu dengan yang
lainnya tergantung materi apa yang ingin dipelajari. Akan tetapi,
meskipun ada banyak perbedaan yang pasti penggunaan model pembelajaran
ini akan sangat membantu mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan
juga psikomotorik anak karena anak secara langsung mempraktekkan apa
yang tengah dipelajarinya secara nyata.
Selain itu, seberapa besar kemampuan
anak menyerap dan mengamalkan ilmunya tentu saja dikembalikan pada
kondisi anak secara utuh, boleh jadi anak-anak disabilitas akan berbeda
jauh hasilnya dari anak-anak pada umumnya karena terkait kelemahan
intelegensi mereka.
Salam
Komentar