Pembelajaran Kontekstual Materi Seni Lukis pada Anak Tuna Grahita

1407863226957165571

Pagi tadi (12/08) tepatnya tatkala saya kembali ingin menyampaikan tentang seni lukis, sebenarnya saya sedikit kesulitan lantaran memang basic saya bukan ahli lukis, bukan pelukis atau pekerja seni yang sehari-harinya mengerjakan karya corat-coret tinta pada media kertas atau kanvas tersebut. Saya juga bukan lulusan dari seni lukis pada perguruan tinggi yang fokus untuk mahasiswa jurusan seni. Tapi benar-benar nol pengalaman, tapi meskipun demikian saya tetap berusaha semampu dan sebisanya mengajarkan beramacam-macam materi pada anak-anak penyandang disabilitas.

Saya memang bukan ahli melukis, tapi sangat bangga jika bisa mengajarkan anak-anak disabilitas melukis dengan melihat benda-benda secara nyata. Dan alhamdulillah meskipun hasilnya tidak seperti anak-anak pada umumnya, paling tidak cara menggambar dan kombinasi warna sudah sangat baik.

Mungkin jika dikaitkan dengan status pendidikan, tentu saja jauh dari kesan pantas. Akan tetapi karena dorongan kebutuhan dan tuntutan di mana guru-guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus memang harus serba bisa dan berusaha mendidik anak-anak tersebut dengan cara kreatif dan melihat model-model pembelajaran yang sudah diajarkan oleh para akademisi dan ahli pendidikan sebelum-sebelumnya.

Ada banyak model pembelajaran yang sejatinya banyak ditulis dan diajarkan oleh para ahli pendidikan, dan tentu saja beberapa model tersebut memang sudah diteliti tingkat ketercapaiannya tatkala teori pembelajaran tersebut lahir dan diterapkan. Sehingga amat pantas jika kerja keras pada ahli dan peneliti pendidikan dapat kita jadikan acuan dalam kita melakukan pembelajaran bagi anak didik kita. Terlepas seberapa besar tingkat kesuksesan yang penting proses pembelajaran adalah suatu hal yang paling pokok sebelum membicarakan hasilnya.

Dan juga terlepas dari beberapa model pembelajaran, saya ingin menyampaikan tentang penggunaan model pembelajaran kontekstual tatkala saya mengajarkan tentang seni lukis. Seni lukis a la anak-anak penyandang disabilitas. Anak-anak yang memiliki keterbelakangan intelegensi dan tentu saja keterbatasan dan pergerakan fisik karena di antara mereka juga menyandang kecacatan fisik. 

Meskipun banyak pula penyandang disabilitas yang memiliki prestasi yang luar biasa, khususnya dalam bidang lukis melukis dan mendapatkan penghargaan atas kemampuannya yang luar biasa pula.

Sebagaimana menurut Depdiknas, 2012 bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian model pendekatan atau sistem pembelajaran ini benar-benar mendorong siswa agar benar-benar mengaitkan dunia nyata dengan konsep yang tengah dipelajarinya.

14078635901055704575
Anak-anak disabilitas tengah menggambar motif daun (doc. pribadi)

Sebuah materi tidak sekedar teori-teori yang sulit diterima, akan tetapi anak akan benar-benar mengenal dan memahami secara langsung dengan apa yang ada dalam kehidupannya atau dalam alam sekitar. Bahkan sejalan dengan model pembelaran tematik integralistik, sepatutnya semua materi pembelajaran akan sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga secara tidak langsung anak-anak akan mendapatkan pengalaman yang nyata dan mengesankan. Dampaknya justru pengetahuan benar-benar terpatri dalam pikiran, dalam sanubari dan tentu saja dapat diaplikasikan dalam dunia nyata mereka.

Konsep pembelajaran kontekstual akan memiliki banyak kelebihan apabila dibandingkan dengan sistem pembelajaran klasik, di mana guru sebagai sentral dalam proses pendidikan (teacher center) dan saat ini diarahkan dan berpusat pada peserta didik (student center). Dengan demikian guru tinggal mengarahkan dan selebihnya siswa-siswa yang berusaha memperoleh pengetahuan dengan obyek yang lebih nyata.

Pembelajaran secara kontekstual hakekatnya merupakan substansi, bahwa ada baiknya anak-anak memperoleh pengalaman yang langsung dia rasakan dan bukan hanya cerita-cerita yang sulit dipahami dan dipraktikkan. Misalnya tatkala saya ingin mengajarkan tentang seni lukis, saya berusaha mengaitkan pada materi lain sesuai dengan tema, dalam hal ini temanya adalah tentang alam sekitar. Karena obyek yang ingin anak-anak pelajari adalah melukis daun, maka anak-anak terlebih dahulu saya perkenalkan tentang karakter dan warna daun, jenis-jenis daun berdasarkan jenis atau golongannya, dan juga bagaimana melakukan kombinasi warna agar diperoleh warna yang serasi dan sesuai dengan benda yang ingin digambarkan.

Pada tahap permulaan, anak sudah kita memasuki wilayah pembelajaran IPA terkait bermacam-macam tanaman berdasarkan karakteristik daunnya, sehingga secara tidak langsuung pula anak sudah berusaha mengaitkan materi tersebut dengan pembelajaran seni lukis yang tentu saja jenis lukisan alami (bukan abstrak) anak akan mendapatkan pengalaman langsung, melihat, menyentuhnya dan tentu saja menggambarkannya dalam sebuah media kertas dengan kemampuan masing-masing.

Saya jelaskan secara simpel bermacam-macam daun dan karakteristik (ciri-ciri) daun berdasarkan golongongannya atua jenisnya. Setelah itu saya mempersilahkan kepada anak-anak agar mencari sendiri jenis daun yang mereka inginkan untuk kemudian dilakukan proses melukis dengan media yang sudah ada. Beruntung sekolah kami memiliki kebun yang luas dengan beraneka ragam tanaman sehingga anak-anak pun tak merasa kesulitan.

Tak seberapa lama, masih-masing anak sudah mendapatkan daun yang mereka inginkan untuk kemudian menjadi pola yang akan mereka jadikan obyek gambar.

Seiring anak-anak melakukan proses menggambar, anak-anak diarahkan agar dapat melakukan penggabungan warna sesuai dengan kebutuhan. Karena kebetulan media pewarna bukan cat air, jadi caranya dengan melakukan pewarnaan dengan beberapa kali dengan warna yang berbeda dan dapat dipadu padankan sehingga diperoleh warna yang sesuai.

Dengan pembelajaran ini, anak-anak terlihat lebih bersemangat dan tentu saja karena ada pergerakan fisik yang menjadikan tubuh anak dapat bergerak dengan leluasa. Selain itu anak tidak dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang belum sama sekali mereka kenali sebelumnya. Boleh saja bagi anak-anak normal karena kemampuan imajinasi yang tinggi, tapi bagi anak-anak penyandang disabilitas ada beberapakelemahan termasuk dalam hal imajinasi sehingga yang dibutuhkan adalah pengalaman nyata.

Sehingga jika kita ingin menggunakan pembelajaran kontekstual, kita akan mendapatkan beberapa manfaat nyata sebagai berikut:

1. Anak akan belajar tentang benda-benda secara langsung sehingga tidak sebatas gambar atau teori semata.

Pembelajaran dengan cara kontekstual, anak akan mempelari dan melakukan aktivitas belajar dengan media yang benar-benar nyata dan ada di sekitar mereka. Manfaatnya tentu saja anak akan memperoleh pengalaman langsung dan tidak sekedar sebuah teori-teori yang sulit dikenali.
Dengan kata lain, jika kita berusaha mendidik anak tentang seni lukis yang bermotif tanaman, tentu saja secara tidak langsung guru sudah memperkenalkan siswa-siswanya terhadap obyek yang lebih nyata, meskipun terkadang memang bagi sekolah yang tidak memiliki kebun yang luas mereka akan mengalami kesulitan dan hanya menggunakan gambar atau media lain yang bersifat abstrak.

2. Anak akan dapat mengaitkan beberapa materi pelajaran yang berbeda disesuaikan dengan tema yang tepat.

Dalam hal ini, dengan amat mudah guru secara langsung mengarahkan anak tidak berlajar pada satu obyek saja, akan tetapi mempelajari banyak obyek. Sehingga akan diperoleh hubungan yang saling berkaitan dan memperoleh banyak pengetahuan baru yang belum sama sekali mereka dapatkan.
Bahkan dalam pembelajaran tematik, satu tema akan berkaitan dengan banyak materi yang dikombinasikan menjadi satu kesatuan yang utuh. Anak tidak hanya belajar secara parsial tapi lebih dari itu anak diarahkan mempelajari sesuatu secara utuh atau komprehensif.

3. Anak tidak mudah jenuh (bosan) karena aktifitas belajarnya tidak terfokus pada satu obyek saja.

Pada dasarnya sifat anak-anak akan mudah jenuh dan bosan dalam belajar. Sehingga banyak anak yang mengeluh tatkala guru asyik-asyik menjelaskan pelajaran. Dan lebih dari itu ada di antara anak-anak ini yang biasanya bermain sendiri atau sibuk mengobrol dengan kawannya karena enggan memperhatikan. Tentu saja karena model pembelajaran yang membosankan dan bersifat satu arah. Guru menceramahi dan siswa mendengarkan.

14078639501251566460Anak tuna ganda (daksa dan grahita) yg tengah asik membuat gambar daun dengan motif daun singkong (doc.pribadi)

Tapi dalam pembelajaran kontekstual, anak justru lebih aktif dan kreatif menemukan hal-hal yang baru dan mempelajari suatu obyek secara lebih nyata dan mendalam dan dengan cara yang menyenangkan.

Karena mudahnya pembelajaran ini, ada di antara mereka yang justru tertarik dan ingin melakukan hal yang sama berulang kali karena merasa model pembelajarannya lebih baik dari biasanya.

4. Pembelajaran kontekstual memberikan pengetahuan lebih

Kelemahan pada pembelajaran yang terpusat pada guru biasanya anak-anak akan mudah sekali merasa bosan dan pengetahuannya tidak berkembang. Apalagi saat ini pada kurikulum 2013 sepertinya para siswa diarahkan belajar mandiri dengan media yang beraneka ragam. Tidak hanya dari segi pengetahuan saja, tapi pendidikan karakter yang baik pun sejatinya menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan.

Sekelumit penggunaan model pembelaran kontekstual ini bisa jadi berbeda dengan cara yang satu dengan yang lainnya tergantung materi apa yang ingin dipelajari. Akan tetapi, meskipun ada banyak perbedaan yang pasti penggunaan model pembelajaran ini akan sangat membantu mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan juga psikomotorik anak karena anak secara langsung mempraktekkan apa yang tengah dipelajarinya secara nyata.

Selain itu, seberapa besar kemampuan anak menyerap dan mengamalkan ilmunya tentu saja dikembalikan pada kondisi anak secara utuh, boleh jadi anak-anak disabilitas akan berbeda jauh hasilnya dari anak-anak pada umumnya karena terkait kelemahan intelegensi mereka.

Salam

Komentar