Suatu ketika tiba-tiba mataku terbelalak dan tak
percaya, tatkala seorang anak yang sama sekali tak mematuhi orang tuanya. Tak
hanya kepada orang tuanya, terhadap saya sendiri yang sama-sama seorang
pendidik, ia malah acuh dan seolah-olah tak mengenal, meskipun tempat tinggal
kami berdekatan.
Sang anak seolah-olah merasa sudah mengetahui
segalanya. Ketika kutanya teman dekatnya, bahwa anak ini sebenarnya pintar di
kelas, tapi karena terlalu sibuk belajar ia menjadi over protektif tak peduli
dengan lingkungan. Ditambah lagi orang tuanya yang juga kurang begitu peduli
dng masyarakat di sekitarnya. Cukup sudah orang tua menjadi media pembelajar
yang justru menyesatkan anak.
Anak yang anti sosial cenderung mengasingkan diri dari orang lain, merasa hidup dalam dunia yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya |
Adalagi seorang anak dari salah satu PNS di tempat
saya, ia sama sekali tak pernah keluar rumah, kepergiannya hanya ke sekolah,
bimbel dan kursus. Jadi amat jarang bahkan tak pernah bertegur sapa dengan
lingkungan di sekitarnya. Sayang sekali, anak ini sukses dlm pendidikan, tapi
tak mengenal lingkungan di sekitarnya.
Menurut bentuk kepribadiannya boleh jadi prilaku ini
disebut dengan kepribadian antisosial, atau disebut antisocial
personality disorder. Yaitu kondisi mental kronis dimana cara
berpikir seseorang, cara mengamati situasi dan cara berhubungan dengan orang
lain tidak berfungsi normal dan bahkan destruktif. Sebagaimana yang dirilis
oleh www.amazine.co.
Dampak dari kondisi ini seseorang yang mengalami
kepribadian antisosial biasanya tidak peduli dengan nilai benar dan salah,
serta mengabaikan hak-hak, keinginan dan perasaan orang lain. Maka muncullah
seseorang yang terlihat acuh tak acuh dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Mereka kurang respek terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan di
sekitarnya. Bahkan tak segan-segan melakukan pengerusakan jika apa yang
diinginkan tidak tercapai.
Amat mengerikan jika anak-anak kita, generasi muda
adalah orang-orang yang memiliki kepribadian antisosial.
Mungkin kejadian ini tak hanya saya yang mengalami,
boleh jadi para pembaca yang budiman juga merasakan fenomena anak-anak sekolah
yang tak lagi familier. Mereka merasa seperti superior di sekolahnya.
Menjadikan sosok yang super sibuk dalam belajar tapi minim sekali pergaulannya
dengan lingkungan.
Tak hanya dianggap sebagai anak sombong, karena ogah
bertegur sapa, karena meskipun di hari lebaran pun anak ini tak mau bersalaman
dengan para tamu. Ia bersembunyi dan asyik dengan dunianya sendiri.
Selaku orang yang kehidupannya sangat ketat dan super
sibuk, mungkin mendapati fenomena anak yang demikian tidak menjadi persoalan.
Mereka terbiasa hidup secara individual. Ala kota tepatnya. Kecenderungan
anak-anak kota memang tak lagi peduli dengan lingkungan sekitar.
Mereka asyik dengan dunia pendidikannya tapi kering
dari kehidupan sosial. Jangankan mau berbicara sekedarnya dan bertegur sapa,
menampakkan diri dan tersenyum ketika tamu datang pun amat sulit dilakukan.
Inilah salah satu bentuk kemunduran tradisi yang
mengajarkan nilai-nilai etika dan kesopanan serta kesantunan. Tradisi yang
diajarkan oleh para sesepuh agar menjaga jalinan persaudaraan dan silaturrahmi.
Yang tua kenal dengan yang muda, dan sebaliknya yang muda juga mau bergaul
dengan yang tua. Ada unsur hubungan banyak arah yang menjadikan generasi muda
ini belajar hidup dalam lingkungan yang berbeda usia.
Ada pengalaman yang boleh jadi dapat dimanfaatkan oleh
kaum muda ini. Karena belum tentu kemampuan diri dalam mengenyam pendidikan
searah dengan kemampuan diri dalam membangun hubungan sosial. Padahal hubungan
sosial ini turut menjadi penyebab keberhasilan seseorang dalam membina
karirnya.
Dan anehnya lagi, meskipun sebenarnya adalah satu
keluarga, mereka merasa sudah tidak ada hubungan lagi lantaran kehidupan yang
cenderung menyita waktu dan perhatian. Masih beruntung masih menghormati dan
patuh pada orang tua, karena saat ini anak-anak muda seperti ingin melepaskan
ikatan emosional dengan orang tuanya, terlebih-lebih dengan masyarakat di
sekitarnya.
Entah, apakah ini benar-benar pengaruh dekadensi moral
yang semakin akut? Atau gejala kejiwaan yang memang masih labil jadi butuh
perhatian dan peringatan dari orang tua dan orang-orang di sekitarnya agar si
anak bisa menjadi bagian kehidupan sosial di lingkungannya.
Benarkah perubahan prilaku kaum muda saat ini sekedar
karena kondisi kejiwaan bawaan anak atau pengaruh salah asuh orang tuanya?
Menurut Nur Faizah Rahmah dalam bukunya Mendesain
Prilaku Anak Sejak Dini menyebutkan bahwa ada 9 kekeliruan orang tua tatkala
mendidik dan mengasuh anak-anaknya.
Pertama, gaya komunikasi yang menyimpang. Menurut
beliau, ada 12 gaya komunikasi antara orang tua dan anak yang justru akan
merusak kepribadian anak. Namun dalam hal ini saya mengambil satu contoh
kesalahan orang tua (termasuk penulis sendiri) yang kadang kurang kita sadari.
Misalnya mengatakan “Tuh, kan tadi mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!”.
Kalimat tersebut acapkali dianggap sudah benar oleh
orang tuanya, tapi sebenarnya kalimat ini hanyalah menyalahkan tanpa
menunjukkan letak kesalahan dan bagaimana mencegahnya. Seperti ketika anak tengah
asik-asiknya bergaul dengan sesama teman, tak disengaja pakaiannya kotor akibat
kesalahan dalam bermain.
Orang tua langsung menyalahkan anak dengan
menghubungan kotornya pakaian dengan proses pergaulan mereka. Tak ayal, akibat
proses menyalahkan ini anak menjadi serba salah, takut melakukan dan dampaknya
mereka secara perlahan enggan bergaul dan menganggap bahwa ketika mereka
bersosialisasi justru akan merugikan dirinya sendiri. Tanpa disadari orang tua
sudah merusak jiwa anak secara perlahan. Ada beberapa gaya komunikasi lain yang
benar-benar merusak prilaku anak meskipun dianggap sederhana.
Kedua, label negatif. Salah satu kesalahan orang tua yang melabeli anak
dengan sifat-sifat negatif. Misalnya malas, ceroboh, boros, pelupa dan
lain-lain. Penulis juga memberikan contoh kalimat yang keliru dari orang
tuanya, seperti “Kalau mandi lama sekali. Dasar Pemalas!“
Kata-kata pemalas hakekatnya sudah menjatuhkan harga
diri anak. Ketika kata-kata ini selalu diucapkan, maka secara otomatis anak
memiliki kepribadian yang takut salah, minder dan tak berani melakukan sesuatu.
Pantas saja yang muncul adalah anak-anak yang selalu saja meminta belaskasihan
dan dorongan dari orang lain. Padahal secara usia semestinya mereka benar-benar
mandiri. Muncullah pribadi-pribadi yang menutup diri dari orang-orang di
sekitarnya lantaran merasa rendah diri meskipun dalam lingkungan yang ramah
sekalipun.
Ketiga, berlaku kasar pada pembantu rumah tangga
Mungkin saat ini kita merasa memiliki kuasa dan uang
lantaran bisa membayar pembantu, tapi seorang pembantu pun tak layak untuk
diperlakukan dengan kasar, terkait hak-haknya sebagai manusia pada umumnya.
Nah, kecenderungan keluarga yang kasar terhadap asisten rumah tangga ini pun
menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap prilaku anak.
Anak akan menganggap apa yang dilakukan orang tuanya
sudah benar. Dampaknya tak hanya pembantunya yang diremehkan, karena orang lain
di lingkungannya pun acapkali dianggap tak selevel. Kondisi inipun menjadi
penyebab sang anak menjadi antisosial.
Keempat, acuh tak acuh pada tetangga. Kecenderungan masyarakat perkotaan
pada umumnya kurang begitu respek dengan masyarakat di sekitarnya. Khususnya
tetangga terdekat, lantaran kesibukan dan kurang begitu mengenal satu sama
lain. Tentu saja hal ini disebabkan karena latar belakang penghuni blok
tersebut berasal dari beberapa wilayah yg berbeda.
Bahkan latar belakang suku, agama dan kebangsaan
seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Dampak yang muncul adalah kebiasaan
untuk tak saling bertegur sapa ini menjadi pemicu tumbuhnya anak-anak yang
antisosial. Mereka sama sekali tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Seandainya mendapati orang yang terjatuh dari
kendaraannya pun barangkali akan membiarkannya tanpa mau membantunya
sedikitpun. Sebuah gejala masyarakat modern yang sama sekali jauh dari
nilai-nilai etika bermasyarakat.
Ada beberapa faktor lain yang tidak dapat saya
sampaikan di sini, namun hakekatnya kecenderungan anak-anak saat ini menjadi
antisosial selain dikarenakan faktor genetis, tapi pengaruh sosial khususnya
keluarga menjadi penyebab pembentukan prilaku ini menjadi semakin mudah
terjadi.
Konklusi
Tak mudah memang membentuk prilaku anak agar mau
bersosialisasi. Bukan anak-anak antisosial. Apalagi keluarga tersebut tinggal
di wilayah padat penduduk yang jauh dari kesan akrab. Mereka hidup berdampingan
tapi sama sekali tak mengenal satu sama lainnya. Sifat lu lu gua gua menjadi
sebuah gaya hidup yang melekat dalam masyarakatnya.
Tapi sebenarnya semuanya diawali dari didikan dalam
rumah tangga. Orang tua selalu akan menjadi contoh bagi anak-anaknya bagaimana
mereka bergaul. Bagaimana mereka membangun hubungan kemasyarakatan dan menjalin
persaudaraan dalam silaturrahim akan dicontoh sang anak.
Ketika orang tua mampu memberikan contoh yang baik,
maka akan dimungkinkan anak pun meniru prilaku orang tua. Tapi sebaliknya jika
orang tua justru bersikap acuh tak acuh, maka jangan berharap anak-anaknya
menjadi sosok yang peduli dengan sesama.
Salam.
Note:
Note:
Tulisan ini juga dipublish di Kompasiana.com/maliamiruddin/http://edukasi.kompasiana.com/2015/01/17/fenomena-kekinian-anak-berprestasi-tapi-anti-sosial-717418.html
Komentar