Membegal, Ketika Nyawa Tak Lagi Berharga

Aksi begal akhir-akhir ini semakin marak, buntutnya polisi mengerahkan aksi sigap untuk menangkap para pelaku kejahatan ini. Gambar sebuah spanduk peringatan tentang bahaya begal (depoklik.com)


Miris dan trenyuh melihat berita akhir-akhir ini. Tak hanya di televisi, di radio, internet dan sepertinya semua media termasuk koran kelas kampung memberitakan tentang maraknya aksi pencurian, penodongan, perampokan dengan kekerasan. Kejahatan yang biasanya disandangkan terhadap ulah pelaku yang memaksa merampas kendaraan korbannya disertai ancaman menyakiti hingga berujung mengambil nyawa korbannya jika melawan.

Itulah trending berita akhir-akhir ini. Seakan-akan semua media sengaja memberitakan betapa ulah para pembegal ini sudah melampaui batas. Benar, ulah mereka sangat melampaui batas. Karena tak sedikit dari para korban, khususnya pengendara sepeda motor, yang harus kehilangan hartanya. Bahkan tak hanya harta, jika nasib sial tengah menghampiri, maka nyawa pun ikut raib ditangan para pelaku.

Meskipun beberapa netizen menganggap isu kejahatan pembegalan ini hanya pengalihan issue sesaat tatkala Polri dan KPK dihadapkan pada kasus korupsi yang tengah melilit. Paling tidak, kejahatan di jalan raya ini sudah sangat memprihatinkan.

Dan yang lebih ironis serta miris lagi ternyata setiap pelaku kejahatan di jalan raya ini diidentikkan dengan orang Lampung, padahal tak hanya dari kota ini saja para pelaku kejahatan ini tumbuh dan berkembang, tapi juga dari daerah-daerah lain yang tak sedikit melancarkan aksinya.

Meskipun penulis sendiri mengakui mendapatkan laporan, cerita bahkan informasi berita lokal, baik cerita dari keluarga sendiri yang hampir menjadi korban kejahatan ini, tapi alangkan naifnya jika semua pelaku kejahatan adalah orang Lampung. Tentu karena penulis sendiri adalah warga kota ini. Kami sekeluarga menetap di daerah ini, beranak pinak, mencari rezeki dan membangun keluarga di daerah yang super rawan karena kejahatan. Sehingga tak patut pula jika nama Lampung seakan-akan diplat merah oleh instansi manapun. Tak hanya oleh kepolisian, di perusahaan-perusahaan swasta pun jika pendaftar berasal dari kota ini, maka acapkali tertolak. Selalu saja warga Lampung menjadi target penilaian sebagai warga yang "kurang baik", tak bermoral dan kejam. Paling tidak itulah penilaian media dan perusahaan-perusahaan yang terlihat pilih-pilih pekerjanya.

Hal tersebut terbukti dari tetangga penulis sendiri, yang sengaja berusaha mendaftar menjadi karyawan sebuah perusahaan di Jabodetabek, apalah daya, namanya tak pernah muncul sebagai salah satu karyawan yang diterima. Kadang terlihat tak adil atau diskriminatif. Apa salah kami warga Lampung yang "baik" jika stempel penjahat sudah mendarah daging?

Dampak terbesarnya ketika para pembegal tertangkap tangan secara serempak masyarakat secara membabuta mengadili pelaku tanpa ampun, mereka dibakar massa yang menaruh amarah lantaran pelaku yang kerap kali menghabisi korbannya.

Sekali lagi, cap Lampung menjadi platform yang saat ini kami terima lantaran segelintir orang dari daerah ini yang melakukan kejahatan. Padahal belum tentu juga si pembegal tersebut dari daerah ini, bukan?

Selain sulitnya mencari pekerjaan di negeri orang, ternyata di kampung sendiri pun sulit mendapatkan penghasilan yang memadai sesuai dengan upah yang wajar. Lagi-lagi terkait penetapan UMP, UMK yang tak sebanding dengan daerah lain yang lebih maju. Tentu hal inilah yang boleh jadi pemicu kenapa kejahatan di daerah ini semakin lama semakin merajalela.

Apakah sebagai warga Lampung kami senang dianggap daerah "penjahat". Apakah kami ridho jika kepolisian sudah memberikan stempel merah bahwa pelaku kejahatan di jalan raya tersebut identik dengan Lampung? Tidak. Kami tak sepakat dengan stempel itu. Kami menyadari bahwa stempel merah tersebut justru membunuh karakter Lampung yang sebenarnya adalah baik. Masyarakat Lampung tidak hanya diisi oleh para pembegal dan penjahat, karena di daerah ini banyak pula anak-anak yang berprestasi dan diakui dunia.

Masyarakat Lampung dihuni oleh banyak etnis, yang hakekatnya kami sudah saling berbaur. Hidup berdampingan secara damai. Namun, akhir-akhir ini terkait lemahnya tanggung jawab kepolisian yang seharusnya menciptakan rasa aman, justru membiarkan pelaku kajahatan dibiarkan berkeliaran tanpa dibina dan diberikan solusi terkait penyebab kenapa mereka melakukan kejahatan.

Pemerintah seperti abai, tak memikirkan penyebab kenapa kejahatan selalu saja tumbuh. Selalu saja rakyat yang sebenarnya amat heterogen ini menjadi korban dari ketidak tanggapan pemeritan dalam menerima keluhan akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan. Selalu saja jika tindakan nekat sudah dilakukan, maka sudah dapat dimungkinkan satu persatu pelaku kejahatan bertambah dan terus tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Apa yang dilakukan pemerintah? baik daerah maupun pusat? Sepertinya sebatas janji-janji semu yang ingin menyejahterakan rakyatnya. Rakyat sudah sekian lama menanti kepastian hidup dan jaminan kesejahteraan, tapi sekali lagi, mereka selalu kecewa dan menelan pil pahit akibat para wakilnya justru berpesta pora menikmati kemewahan dan fasilitas yang serba komplit.

Para pembegal dan korbannya hakekatnya seperti tak lagi dianggap. Para penjahat ini yang sejatinya karena faktor ekonomi yang menghimpit harus melakukan aksi brutalnya terhadap saudaranya sendir, padahal korbannya pun boleh jadi menjadi calon-calon penjahat baru yang bisa saja tumbuh tatkala kondisi ekonomi tak pula menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Ketika mereka berbuat lantaran tekanan ekonomi dan sulitnya mencari penghasilan, ternyata masyarakat pun mengadilinya dengan hukum massa. Mereka dibakar hidup-hidup dan anehnya kadang korban pembakaran ini bukan pelaku yang sebenarnya. Sebuah kesalahan fatal tatkala melihat fenomena kajahatan di negeri ini. Kejahatan yang seperti gundukan gunung api yang siap-siap saja membakar apapun jika kondisi ekonomi tak berubah.

Mereka para pelaku tak takut lagi meskipun nyawa mereka korbankan demi hasil rampasan, dan korbannya pun berinisiatif sama, mereka tak segan-segan menghabisi pelaku jika telah tertangkap.

Tak ada lagi hukum yang benar-benar absolut melindungi warganya. Semua serba remang-remang dan abu-abu. Siapa yang dibela dan dilindungi pun tak jelas. Ketika rakyat kecil yang membutuhkan penghasilan pun acapkali menjadi korban dan mudah untuk diekskusi, tapi coba lihat, ketika aparat penegak hukum ini berhadapan dengan penjahat kelas KAKAP, Gembong Narkoba, Korupsi, seakan-akan mengalami dilema. Untuk mengadili seorang gembong narkoba yang memiliki kekayaan milyaran pun begitu berlama-lama. koruptor yang jelas-jelas membunuh banyak rakyat, bisa mudahnya melenggang bebas tanpa hukuman.

Apalagi akhir-akhir ini, KPK yang sejatinya pengadil kejahatan korupsi pun seperti dikebiri. Buru-buru para tersangka mengajukan pra peradilan. Buntut dari suksesnya Budi Gunawan lepas dari jeratan KPK. Mereka para koruptor bisa tertawa sumringah dengan kekayaan hasil korupsi. Tapi para penjahat di jalanan yang hakekatnya karena ekonomi, harus meregang nyawa. Para korban kejahatan pun mendapat getahnya, akibat tak meratanya kesejahteraan, para korban kejahatan inipun menjadi bulan-bulanan para pelaku.

Rakyat seperti diteror, tak hanya ulah teroris, tapi ulah pelaku kejahatan, baik di jalan raya maupun di kantoran. Ekonomi yang tak juga menunjukkan peningkatan ternyata menjadi penyebab tinggi kejahatan di jalan raya.

Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diperbuat, selain mencari keselamatan sendiri-sendiri. Jika pemerintah tak juga mengabulkan harapan rakyatnya, aparat penegak hukum seakan-akan buta dan tuli, maka jalan yang paling baik adalah jaga diri sendiri dan berusaha untuk tidak berharap lebih pada aparat penegak hukum.

Dan jangan dianggap sepele, jika kejahatan bukannya berkurang, karena kondisi ekonomi  yang tak juga menunjukkan kebaikannya bagi rakyat bawah.

Namun demikian, semoga dengan semakin banyaknya pengungkapan aksi pembegalan, akan membuka cakrawala berpikir semua orang bahwa sebaik-baiknya membuat strategi kejahatan, kebenaran tetaplah akan terungkap. Sehingga semakin sedikit bahkan hilang sama sekali keinginnan memperoleh kekayaan dengan cara menyakiti saudaranya sendiri. Masih banyak cara yang lebih baik dalam mencari rezeki yang halal dan barokah.

Salam


Komentar