Berkompasiana,
istilah yang aku sebut aktifitas tanpa batas waktu dalam berkecimpung
dalam dunia tulis menulis di kompasiana. Sebuah dimensi holistik
hubungan timbal balik yang saling menguntungkan secara immateril. Keuntungan yang bukan semata-mata karena uang, tapi keuntungan di
dalamnya adalah bertambahnya pengetahuan diri dalam dunia tulis menulis.
Detik
demi detik aku selami perjalanan hidup ini dalam bait-bait kata yang
tersusun rapi menjadi tulisan yang mungkin nilainya tak sebaik penulis
lainnya. Aku mencoba meluruskan setiap bait itu menjadi susunan kata
yang indah, layak dibaca dan selalu mencoba belajar dan merenungi diri,
dimanakah letak sempurnanya tulisan itu.
Meskipun kadang lelah, kenapa saya tak bisa menulis indah yang bisa membangkitkan gairah pembacanya. Tak hanya itu, kadang terlihat membosankan dan basi, itu lagi-itu lagi yang tertulis.
Ahhhh mungkin memang inilah perjalanku dalam mencari jati diri. Sejauhmanakah aku bisa bertahan dan selalu ingin mempersembahkan yang terbaik bagi diri sendiri, meskipun seringkali berharap setiap orang yang membaca menjadi puas, dan ingin lagi membaca tulisanku. Tapi entahlah, mungkinkah hanya ini batas kemampuanku dalam melahirkan tulisan.
Meskipun kadang lelah, kenapa saya tak bisa menulis indah yang bisa membangkitkan gairah pembacanya. Tak hanya itu, kadang terlihat membosankan dan basi, itu lagi-itu lagi yang tertulis.
Ahhhh mungkin memang inilah perjalanku dalam mencari jati diri. Sejauhmanakah aku bisa bertahan dan selalu ingin mempersembahkan yang terbaik bagi diri sendiri, meskipun seringkali berharap setiap orang yang membaca menjadi puas, dan ingin lagi membaca tulisanku. Tapi entahlah, mungkinkah hanya ini batas kemampuanku dalam melahirkan tulisan.
Benarkah
aku dungu? Atau aku memang bukan penulis yang dicari-cari? Ada
kesenjangan antara harapanku melahirkan tulisan yang bernas dengan
kemampuan dan kecerdasan fikirku dalam merangkai kata-kata. Bahkan
jari-jemariku seakan-akan kaku, tak bisa bergerak lagi tatkala dadaku
bernafsu untuk menyentuh lagi tombol demi tombol keyboard. Benarkah ini
pertanda aku kurang bisa menulis? Atau memang menulis benar-benar karena
bakat?
Entahlah. Sejauh ini aku menyadari bahwa inilah aku, si dungu yang sampai kini tak mampu menjadi penulis yang diharapkan selalu hadir. Kadang aku berfikir, aku hanyalah bagian kecil dari jutaan manusia yang berbakat dan mampu melahirkan karya-karya indah yang menggugah selera pembaca. Berharap semua bisa melahapnya sampai habis dan merasa ketagihan. Tapi nyatanya detik demi detik kulalui ternyata tetap begini dan masih saja begini.
Entahlah. Sejauh ini aku menyadari bahwa inilah aku, si dungu yang sampai kini tak mampu menjadi penulis yang diharapkan selalu hadir. Kadang aku berfikir, aku hanyalah bagian kecil dari jutaan manusia yang berbakat dan mampu melahirkan karya-karya indah yang menggugah selera pembaca. Berharap semua bisa melahapnya sampai habis dan merasa ketagihan. Tapi nyatanya detik demi detik kulalui ternyata tetap begini dan masih saja begini.
Aku
merasa tulisanku selalu saja tak bisa memuaskanku. Hati ini merasa
berdosa, kenapa kemampuanku tak juga bertambah? Adakah yang salah dengan
kecerdasan berpikirku? Atau memang Tuhan hanya sebatas ini anugerah
yang diberikanNya kepadaku. Entahlah. Namun yang pasti, aku merasa
hidup, tatkala jari-jemariku mampu melahirkan lagi huruf demi huruf,
bait demi bait, dan paragraf demi paragraf tulisan yang terlahir dari
gairah ini.
Aku ingin
selalu berbagi dengan semua orang, meskipun mereka mengejekku dengan
senyumannya yang sinis. Sambil bergumam "si bodoh itu masih saja menulis
ya?" terkaku dalam hati. Biarlah, seandainya ungkapan-ungkapan yang
lahir setelah membaca tulisanku, aku berharap semuanya menjadi
penyemangat dan doa bahwa orang bodoh ini ternyata keras kepala, meski
tak memiliki kemampuan apa-apa ternyata tetap saja menulis dengan hasil
yang sungguh-sungguh mengecewakan.
Menjiikkan sekali dirimu? Dimana letak harga dirimu meski engkau dungu nyatanya engkau adalah sosok yang keras kepala.
Menjiikkan sekali dirimu? Dimana letak harga dirimu meski engkau dungu nyatanya engkau adalah sosok yang keras kepala.
Berharap
usiaku akan panjang, melebihi usia nabi yang hanya 63 tahun. Tak ingin
akhir hayatku dipenuhi noktah-noktah kebodohan, kenapa tidak sedari dulu
menyemangati diri sendiri. Kenapa tak sedari dulu membagi yang
dimiliki?
Bodoh sungguh bodohnya aku. Tapi, apa sih yang dibanggakan dari tulisan tak berisi itu? Sampah yang hanya memenuhi kantung-kantung simpanan server. Ia seperti lilitan sampah yang tercecer dan menyumbat sirkulasi udara ruangan server. Mau dibuang sayang, tapi disimpan menjadi bangkai.
Bodoh sungguh bodohnya aku. Tapi, apa sih yang dibanggakan dari tulisan tak berisi itu? Sampah yang hanya memenuhi kantung-kantung simpanan server. Ia seperti lilitan sampah yang tercecer dan menyumbat sirkulasi udara ruangan server. Mau dibuang sayang, tapi disimpan menjadi bangkai.
Tapi,
meskipun sekelebat perjalanan hidupku, ada kebanggan yang tak dapat aku
simpan selama ini, ternyata diriku pun masih bisa memberikan manfaat.
Laksana rumput yang selalu saja dianggap gulma pengganggu tanaman, tapi
ternyata ada makhluk lain yang membutuhkanku. Tak masalah, jika semuanya
serba tak sempurna, seandainya ketidak sempurnaan itu cukup memberikan
ruang agar sedikit terbuka sehingga menjadikan cahaya masuk ke dalam
ruangannya.
Aku tak
ingin menyalahkan rendahnya kemampuanku, tapi aku akan membangunkannya
menjadi gairah yang takkan padam, meskipun raga ini semakin tua.
Bersama-sama menjadi bagian dunia yang tak terpisahkan jarak oleh ruang
dan waktu.
MAA
Komentar