Gambar: mjeducation.com |
Beberapa bulan yang lalu, ibunya anak-anak tiba-tiba curhat dengan
saya, "pak anak kita gak mau sekolah lagi". Saya tanya "lah kenapa gak
mau sekolah? Kata sang istri "Ia bilang takut sekolah". Waduh. Saya
semakin penasaran dengan apa yang terjadi dengan anak saya. Saya pun
bertanya sama anak saya "kog bisa gak mau sekolah? Kata anak saya "bu
guru ngomong goblok". Dengan polosnya anak saya menjawab pertanyaan
saya. Selain dibilang goblok, ia mengatakan kalau gurunya bilang
"emangnya sekolah punya sendiri? Kog sekolah semaunya?
Mendengar penuturan sang anak, saya ngadem dulu, berusaha
mendengarkan tapi mencerna apa yang terjadi. Tak langsung memvonis
lantaran boleh jadi sang anak mengarang cerita agar ia tidak diminta
sekolah. Saya pun merayunya agar ia kembali bersekolah dan saya antar ke
sekolahnya. Padahal biasanya ibunya yang mengantarkannya. Karena
sekolah anak saya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal.
Tapi, dua hari ia masuk sekolah, ternyata esoknya menangis dan tidak mau
lagi sekolah. Saya pun meminta ibunya bertanya kepada gurunya yang
kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh.
Dan saya pun terperanjat, ketika guru tersebut mengiyakan apa yang
diceritakan anak saya. Dalam benak saya, kog bisa guru PAUD cara
mendidiknya amat kasar dan terkesan memojokkan siswanya. Ditambah lagi
menghina dengan mengatakan "Goblok (Bodoh)"? Saya pun tak menerima
cara-cara guru yang demikian. Dan akhirnya saya meminta istri
mengkonfirmasi ke sekolah, apa benar guru mengatakan anak saya bodoh dan
membentak-bentak?
Awalnya sang guru menolak, tapi setelah dipertemukan dengan guru lain
yang kebetulan menyaksikan perilaku guru tersebut, akhirnya iapun
mengakui dan meminta maaf dengan apa yang telah dilakukan.
Melihat prilaku dan cara guru PAUD mendidik ini, dua hari anakku tidak
mau sekolah. Ia takut dan acapkali menangis jika diminta mandi dan
bersiap-siap berangkat. Dua hari pula ketika kutanya kog nggak sekolah,
anakku menjawab "emoh sekolah, bu guru galak".
Waduuh, gimana ini? Dalam hati saya bertanya-tanya, siapa yang salah.
Anak saya atau gurunya? Apa anak saya yang berbohong dan membuat alasan
macam-macam agar ia tidak diperintahkan masuk sekolah? Entah lah,
pikiran saya jadi menggelayut-gelayut. Awalnya saya sempat bingung kog
tiba-tiba ia mengalami ketakutan bersekolah. Padahal sebelum bersekolah
saja ia selalu mengatakan ingin sekolah padahal usianya masih terlalu
dini.
Melihat gelagat tak baik dan ekspresi ketakutan anak saya, kami pun
sepakat memindahkan anak saya ke sekolah lain yang mungkin cara mendidik
muridnya lebih baik. Alhamdulillah setelah pindah, anak saya saat ini
bersemangat lagi untuk sekolah. Meskipun kejiwaan anak-anak memang masih
labil, tapi ketika perlakuan guru dan pengasuh di sekolah ternyata
kurang baik, tentu bisa berdampak buruk.
Seperti apa yang dialami anak saya, di sekolah yang lama perlakuan
gurunya kurang baik menurut kacamata pendidikan, dan ternyata apa yang
tadinya sempat saya duga telah terbukti, ternyata sang guru terlalu
keras dalam mendidik muridnya. Seperti pengakuan guru yang bersangkutan.
Meskipun saya sempat gak percaya dan guru tersebut membantah pernyataan
tersebut, setelah dikonfirmasi pada sesama guru PAUD tersebut, sang guru
pun mengakui bahwa ia pernah berkata kasar dan membentak anak saya. Ia
meminta maaf karena telah salah. Mendengar jawaban guru tersebut,
akhirnya pun istri berharap gurunya tidak berbicara kasar pada anak
muridnya. Terutama anak saya. Bagaimanapun juga istri juga seornag guru
PAUD yang kebetulan letaknya cukup jauh dari tempat tinggal kami, jadi
mau tidak mau anak saya disekolahkan di sekolah terdekat dengan tempat
tinggal.
________________
Melihat kondisi psikologis yang dialami anak saya selama dua hari, boleh
jadi memang karena kondisi sekolah yang kurang menyenangkan. Perlakuan
dan perkataan sang guru yang lumayan keras dan kasar pun memicu
ketertakutan anak secara berlebih-lebihian. Apalagi sampai terucap
perkataan "bodoh" kepada siswanya. Tentu sikap ini tidak dibenarkan.
Karena tidak ada anak yang bodoh, karena setiap anak mengalami
perkembangan kognisi yang berbeda-beda, dan itu bersifat fluktuatif
tergantung bagaimana situasi lingkungan mempengaruhi perkembangan
kognisinya. Selain pengaruh lingkungan, faktor nutrisi pun menjadi
alasan kuat anak-anak mengalami situasi perkembangan yang kadang kala
labil.
Jadi teringat kembali dengan istilah dosen killer, meskipun tak patut
pula guru disebut sebagai killer (pembunuh). Akan tetapi, jika melihat
fenomena guru yang memperlakukan siswanya dengan kasar dan mengumpat
dengan kata-kata "bodoh" tentu secara perlahan guru tersebut sudah
membunuuh karakter siswanya. Anak didik yang semestinya mau bersekolah
karena pendidikan yang dialaminya cukup menyenangkan, ternyata berbalik
seratus delapan puluh derajat. Guru dan lingkungan sekolah bukan lagi
menjadi tempat yang menarik dan menyenangkan.
Mana mana mungkin seorang guru apalagi bagi anak-anak usia dini memiliki
sikap bengis dan keras? Bahkan kata-katanya seperti tidak mencerminkan
kepribadian dan perkataan seorang pendidik yang semestinya bersikap
kasih sayang, perhatian dan tulus mendidik siswanya meskipun acapkali
anak-anak berprilaku kurang baik.
Ketika seorang guru justru berprilaku dan berkarakter kasar, dampaknya
tentu amat berbahaya, tak hanya anak saya yang dua hari tak mau sekolah
dan akhirnya kami pindahkan ke sekolah lain. Karena di luar saya masih
banyak anak-anak yang mengalami ketakutan yang amat berlebih-lebihan.
Mereka enggan sekolah lantaran gurunya acapkali marah-marah tanpa sebab.
Mereka diperlakukan selayaknya pekerja yang bisa dibentak-bentak
apabila keinginannya tak dipenuhi. Dan yang lebih parah lagi, mengatakan
"bodoh" jika siswanya lambat dalam menangkap pelajaran. Dampaknya sudah
dapat diduga, akibat pola asuh guru yang kurang tepat inilah menjadi
pemicu munculnya ketakutan bersekolah.
Anak-anak mulai enggan masuk
sekolah karena dunia belajar mereka tidak lagi menyenangkan. Istilah
ketakutan sekolah secara berlebih-lebihan disebut phobia sekolah.
Menurut As'adi Muhammad, phobia merupakan bentuk ketakutan seperti
takut pada ketinggian, keramaian, ruang yang bersekat-sekat, atau
terhadap binatang-binatang tertentu. Beberapa anak ada yang menderita
phobia sekolah, yaitu sekolah membuat dirinya takut. Phobia sekolah
seperti halnya sparation anxiety...
Sebuah kondisi kejiwaan yang tidak boleh diabaikan.
Kekhawatiran saya ketika itu melihat karakteristik prilaku selama dua
hari tersebut, pun saya menduga ini adalah tanda-tanda adanya phobia
sekolah. Anak tak ingin sekolah lantaran perlakuan kasar dari gurunya.
Sang guru anak bagi usia dini semestinya mengerti karakteristik anak,
kog justru memperlakukan anak didiknya tidak manusia dan seperti tak
mengenal psikologi anak. Mungkinkah karena ia belum layak mendidik? Atau
ada persoalan lain dalam rumah tangganya hingga dirinya terpengaruh
dengan persoalan tersebut?
Akibat dari perlakuan kasar gurunya tersebut, anak saya ketika diminta
sekolah justru menolak, takut, memberontak dengan alasan bermacam-mcam.
Selain menolak dengan alasan macam-macam, ia pun seringkali menangis,
lantaran emoh lagi sekolah. Bosan pun menjadi salah satu kenapa anak saya tidak mau sekolah.
Karena gejala tidak lagi mau bersekolah di PAUD tersebut, lantaran sang
anak justru sudah enggan di sekolah yang sama. Dan ia memilih pindah
sekolah. Dan kami pun bersepakat menyekolahkan di TK lantaran permintaan
sang anak. Ditambah lagi kebetulan teman-temannya banyak yang
bersekolah di TK, meskipun usia anak saya pada waktu itu memang masih
layak di PAUD (Kober). Dan alhamdulillah di sekolah yang baru, anak saya
mulia semangat lagi sekolah dan mendapatkan apresiasi dari guru di
sekolah tersebut.
Melihat fenomena tersebut, ketika guru tak lagi menjadi tempat mendidik
siswanya dengan cara yang baik, ternyata dunia pendidikan kita ternyata
masih belum meninggalkan jejak-jejak kelam sistem pendidikan kolonial.
Ketika anak semestinya dididik dengan kasih sayang dan perlakuan yang
istimewa, ternyata diperlakukan dengan cara tidak manusiawi dan tak
mengindahkan kaidah paedagogis.Melihat anak-anak yang tidak fokus,
ternyata si guru justru menjudge dengan kata-kata "bodoh" atau "tolol"
padahal boleh jadi cara mendidik gurunya yang kurang baik. Dan anehnya
anak seusia dini tersebut justru diperlakukan selayaknya bukan anak usia
dini. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.
Contoh perilaku guru yang seperti ini hakekatnya jauh dari kepatutan
sosok yang setiap harinya bergelut dengan pendidikan. Meskipun ketika
diselusuri ternyata si guru memang bukanlah sosok yang memiliki
pendidikan keguruan, apalagi bagi anak usia dini.
Saya pun memaklumi saja ia belum memahami hakekat psikologi anak dan
metodologi pendidikan bagi anak usia dini. Meskipun ada juga guru yang
berpendidikan keguruan ternyata prilaku dalam mendidik pun jauh dari
nilai keguruan. Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang guru yang
tiba-tiba memukuli siswanya lantaran ia tidak mengerjakan PR. Menendang
siswanya lantaran terlambat masuk sekolah.
Kondisi institusi semestinya mendukung dan membantu tumbuh kembang anak
dari segi fisik maupun mental anak. Tak boleh setengah-setengah yang
hanya mengejar kecerdasan kognisi tapi justru psikis dan fisik anak tak
dikembangkan secara optimal.
Akan buruk dampaknya jika dalam institusi pendidikan, seorang guru
justru menjatuhkan potensi psikologis (mental) anak apabila metode dalam
pelayanan maupun pembelajarannya hanya mampu mengembangkan kecerdasan
kognitif saja sedangkan psikologis mereka terabaikan.
_______________
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, lantaran berawal dari pengalaman yang mudah-mudahan bisa diambil manfaatnya
Salam
Literatur : As'adi Muhammad, Deteksi Bakat & Minat Anak Sejak Dini, Gara Ilmu, 2010
Komentar