Film I Not Stupid Too, Fenomena Pendidikan Anak Saat Ini


Anak adalah segala-galanya, mereka lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Jika benar dalam mendidik mereka maka dunia dan isinya akan diraih bersama-sama, tapi jika salah dalam mendidik mereka maka alamat dunia akan tenggelam bersama sirnanya cahaya dari kehidupan mereka.

Itulah sekelumit pesan yang dapat saya tangkap dari film I Not Stupid Too, film yang mengisahkan pergulatan dua sisi yang berbeda antara anak sebagai pribadi maupun sosok yang berada dalam dimensi sosial. Yang sedikit banyak mengingatkan saya sendiri bahwa tak patut membiarkan anak-anak hidup dalam kekosongan dan kesendirian. Hendaknya para orang tua tidak mengabaikan anak-anak mereka demi sebuah pekerjaan.

Sebuah fenomena yang masih banyak terjadi dalam kehidupan keluarga, ketika orang tua meniti karir yang cukup menjanjikan dengan gaji yang fantastis, ternyata mempengaruhi pola hubungan timbal balik antara orang tua dan anak-anaknya. Orang tua merasa paling tahu akan kebutuhan anak-anak mereka, sedangkan anak hanyalah makhluk hidup yang tak memiliki hak untuk mengutarakan harapannya. Anak cenderung skeptis, pendiam, merenung dan menutup diri ketika semestinya orang tua menjadi tempat terbaik bagi mereka tatkala mereka hendak berbagi suka dan duka. Orang tua menjadi tempat yang nyaman bagi anak, tatkala mereka meluapkan isi hatinya. Bukan sebaliknya, anak seperti robot yang tak memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Bahkan untuk bisa berbagi kasih pun sepertinya amat tidak mungkin dilakukan.

Orang tua menduga dan menganggap, bahwa dengan fasilitas yang mewah dan uang jajan yang cukup sudah mewakili kebutuhan anak. Tidak.... mereka bukanlah benda yang begitu mudahnya disia-siakan.

Belum lagi betapa naifnya orang tua, tatkala anak mulai melakukan tingkah yang negatif, orang tua justru menyalahkan dengan membabi buta, ada sikap apriori tatkala menanggapi keluhan sang anak. Tatkala anak hendak mengatakan "Pah, Mah, aku butuh kalian. Aku kesepian di rumah". Pun orang tua selalu mengatakan "Papah dan Mamah sudah sibuk bekerja, membanting tulang mencarikan uang dan kebutuhanmu, kan? Kenapa kamu tidak mengerti juga?. Seperti itulah bentuk otoritarianisme dalam keluarga. Anak sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan isi hatinya.

Seperti dalam sampul film tersebut, tiga anak yang dilakban mulutnya, sekan-akan pertanda bahwa anak benar-benar tak memiliki hak untuk berbicara.

Kondisi semacam ini, sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita, orang tua yang sukses dalam pekerjaannya, ternyata tak berbanding lurus dengan kesuksesannya di rumah. Justru dapat dibilang gagal. Anak terlihat kocar-kacir tak tentu arah. Mereka seperti tak memiliki pegangan hidup lantaran orang tua mereka sama sekali tidak memperdulikannya. Waktu kebersamaan mereka setengahnya sudah digantikan dengan uang-uang dan uang.

Tak hanya orangtua yang semestinya para guru mendidiknya para siswanya dengan benar karena para gurupun hakekatnya adalah orangtua pengganti saat mereka berada di sekolah.

Mendidik mereka selayaknya seperti anak sendiri. Mencintai mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang.
Bahkan dalam ajaran agama Islam menjelaskan bahwa anak-anak adalah perhiasan sekaligus fitnah yang menguji orang tua serta orang-orang di sekitarnya agar mengerti bahwa mereka adalah amanah yang tak pantas untuk diabaikan. Film yang sepatutnya hanyalah tontonan pun hakekatnya bisa memberikan pelajaran berharga.

Ada beberapa nilai edukasi yang sepatutnya dipahami terhadap anak, antara lain:

Anak adalah pribadi yang unik dan menarik. Namun dari sisi uniknya ini anak-anak seperti kertas putih yang berkembang pengetahuannya sebatas apa yang dia pahami sesuai usia mereka. Sehingga mereka mengenal segala sesuatu berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Tatkala anak adalah seperti kertas putih maka selayaknya diisi dengan coretan dan lukisan yang indah saja.

Ketika coretan kotor sudah merusak pribadi sang anak, maka dapat dipastikan atau dimungkinkan perkembangan anak dipengaruhi oleh apa yang ia pahami. Mereka akan bertumbuh sesuai dengan materi yang telah disusupkan dalam jiwa sang anak bahkan bisa berakibat fatal bagi masa depan mereka.

Orang tua bukanlah sosok teroris yang selalu meneror jiwa anak dengan kekerasan. Mereka butuh dipahami, dicintai dan didukung sepenuhnya pertumbuhan mereka dengam segenap jiwa dan raga. Biarkan anak berkembang sesuai dengan bakat mereka bukan atas keinginan orang tuanya sekalipun. Tak pantas pula intimidasi dan diskriminasi dialami anak dalam proses pendidikan mereka.

Disamping orang tuanya para guru sejatinya sosok yang juga memberikan pengarih terhadap perkembang anak didiknya.

Selama ini ada guru seringkali menganggap para siswanya seperti sebuah robot yang bisa dipaksa mengikuti kehendak dan cara guru dala mendidik mereka. Padahal anak memiliki potensi, bakat dan juga kelebihan yang sepantasnya dikembangkan secara optimal, mendengar aspirasi mereka agar proses pendidikan sejalan sesuai dengan kebutuhan siswa.

Memahami anak tak cukup hanya dengan fasilitas yang mewah sedangkan orangtuanya terlalu asyik dengam dunia mereka sendiri. Anak melihat orang tuanya kadang ketika sarapan pagi sedangkan mereka kembali tatkala anak telah tertidur pulas.

Sekali lagi, anak adalah pribadi yang istimewa. Karena keistewaan inilah Tuhan menitipkan mereka kepada orang tua, guru, dan orang-orang disekitarnya agar anak dapat tumbuh dengan wajar dan mencapai cita-citanya demi masa depan dirinya pun terhadap bangsanya.

Salam

Metro, Lampung 

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Kompasiana.com dengan sedikit editing dan penambahan.

divine-music.info

Komentar