Ketika Orang tua tak Mengenal Anak Sendiri

Ketika Orangtua Tak Kenal Anak Sendiri
Ada yang mengatakan "gampang ya jadi orang tua, anak-anak pada patuh dan ikut aturan keluarga. Menurut dan membantu yang dibutuhkan ayah dan ibu mereka". Tapi ada juga yang mengatakan "sulitnya jadi orang tua, harus memenuhi kebutuhan, pendidikan, belum lagi karakter anak yang berbeda-beda. Ditambah lagi kalau anak memiliki keinginan yang berbeda pula, tentu kerumitan hidup dalam keluarga semakin terasa". Ada juga yang begitu permisif mengatakan bahwa "biarkan saja anak-anak mengikuti kehendak atau keinginan mereka, orang tua tak perlu turut campur apa yang ingin mereka lakukan. Mau apa aja terserah mereka yang penting orang tinggal mengawasi."
Apakah pernyataan-pernyataan tersebut salah atau benar? Tentu dikembalikan pada pribadi masing-masing dalam memandang konsep pendidikan bagi anak-anaknya. Apalagi semua itu dipengaruhi tingkat pendidikan, lingkungan di mana mereka tinggal, pola hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, atau faktor kejiwaan yang dimiliki yang bersangkutan.
Bagi yang menganggap remeh persoalan anak, tentu mereka memandang bahwa persoalan anak hanyalah persoalan sepele, tak usah dibikin pusing apalagi membuat riweuh kata orang Sunda, atau sak karepe kata orang Jawa. Padahal kesuksesan anak adalah kesuksesan orang tua, dan kegagalan anak pun menjadi awal kegagalan orang tua.
Bagaimana dengan yang menganggap persoalan anak adalah persoalan yang rumit? Tentu didasarkan pada pengaruh kepedulian terhadap masa depan anak. Bukan bermaksud menafikan faktor kesuksesan keluarga lain yang menganggap "gampang" mengelola anak-anaknya, lantaran ekonomi yang cukup mapan, tapi mengelola anak juga tak hanya faktor ekonomi yang menentukan. Ada beragam faktor yang turut memicu bagaimana anak-anaknya sukses di kemudian hari.
Kita seringkali terjebak pada pola asuh yang diwariskan orang tua kita yang sangat "kaku" meskipun kaku di sini bukan berarti salah lantaran seringkali melihat anak-anak yang dididik dengan cara "kaku" leterlek tersebut ternyata banyak yang mendapatkan kesuksesan. Misalnya keluarga A, dia mendidik anak-anaknya berpedoman pada pengetahuan turun temurun yang diwariskan hingga anak cucu, ternyata kehidupan mereka lebih baik dibandingkan kehidupan keluarga B yang mendidik anak-anaknya menurut selera sang anak. Dunia modern menjadi kiblat bagaimana mereka mendidik anak-anaknya. Keluarga sangat menjunjung warisan leluhur dan kebudayaan yang dianggap "ndeso, kolot maupun kampungan" ternyata kehidupan lebih baik. Berbeda dengan keluarga B, yang notabene sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern kekinian.
Meskipun tak sedikit keluarga sukses yang berkiblat dengan pola asuh era kekinian yang lebih modern. Anak-anak dibiarkan memilih apa yang diinginkan tanpa mendapatkan pertentangan dari orang tua mereka. Disebutlah keluarga ini sebagai keluarga masa kini. Tapi sayang sekali, kesuksesan keluarga B hanya dipandang dari segi ekonomi yang berkecukupan bahkan mewah. Mereka tak melihat bagaimana anak-anak mereka bekerja, halal atau haram. Bagaimana anak-anak mereka bergaul, bercengkrama dengan lawan jenis dan bagaimana mereka menilai pergaulan anak-anaknya dengan lingkungan sekitar, apakah menggunakan tata krama dan sopan santun? Sepertinya hal ini tidak dilakukan. Bahkan keluarga B cenderung kurang peduli dengan orang lain lantaran mereka banyak disibukan pada persoalan keluarga sendiri yang dibentuk ala kehidupan modern. Meskipun ala modern ini tak juga bisa disalahkan lantaran ada pula yang menggunakan teori modern ternyata masih memegang kendali adat dan tradisi. Meskipun saat ini jumlahnya dapat dihitung jari.
Resiko keluarga yang menggunakan tradisi "kolot" tersebut, tentu sering mendapatkan cibiran dari generasi muda saat ini. Orang tua dianggap tak berpendidikan dan kurang pengalaman. Padahal sejatinya pengalaman hidup tak melulu faktor pendidikan yang tinggi, tapi perjalanan hidup mereka bersama keluarga dan lingkungan inilah yang sejatinya pengalaman yang berharga.
Padahal, semakin keluarga itu dianggap "kolot" semakin menjaga nilai-nilai kebaikan yang tentu saja diwariskan oleh keluarga mereka semenjak dahulu. Pola asuh pun tak bergeser karena arus modernisasi saat ini. Meskipun tak sedikit pula yang menggunakan konsep "lawas" dalam pendidikan anak-anaknya ada juga yang tak meraih kesuksesan lantaran ada faktor kemajuan di abad ini yang tidak mereka ikuti. Dulu gudel harus nurut kebo, saat ini kebo harus nurut gudel. Artinya dulu sang anak harus mutlak ikut apa kata orang tua, tanpa bisa memilih yang disukai, sedangkan saat ini orang tua harus nurut apa kata anak meskipun orang tua kurang setuju. Itulah konsep kehidupan keluarga di era kekinian. Apakah kehidupan orang dulu semuanya baik, dan kehidupan sekarang semuanya kurang baik? Tentu tidak bisa menilai secara sekilas lantaran semua memiliki kelebihan dan kekurangan.
Bagaimana jadinya jika orangtua tak kenal anak sendiri?
Mengenal anak di sini dimaksudkan ketika orang tua tidak mengenal karakter, kondisi dan keinginan sang anak. Mereka menganggap anak adalah milik mereka yang bisa dibentuk dan buat apapun yang mereka inginkan. Seolah-olah anak tidak memiliki jiwa, akal dan keinginan. Mereka dipandang sebagai makhluk hidup yang tak memiliki keinginan.
Orang tua acapkali bersikap destruktif, kurang melakukan pendekatan persuasif, apalagi pedagogik. Destruktif di sini kecenderungannya jika sang anak memiliki keinginan A, maka orang tua justru menghalang-halangi keinginan anak ini dengan cara frontal. Jika tak nurut ayah sama ibu, maka lebih baik keluar dari rumah ini. Seperti itulah gambaran otoritarianisme di dalam keluarga yang cenderung menafikan hak-hak anak. Anak tidak memiliki pilihan sedikitpun lantaran orang tua yang "kaku" dan menganggap bahwa anak adalah sosok yang "bodoh" dan tak layak membantah apa yang dikatakan orang tua mereka. Padahal seperti yang saya tulis di awal tulisan ini, tidak semua yang kolot itu baik dan tidak semua yang modern itu buruk. Tergantung situasi dan kondisi yang mengiringi keluarga tersebut.
Kalau kekolotan itu bisa diterima semua pihak tentu akan berbeda penilaiannya dibandingkan dengan modern yang sama sekali keluar dari ranah kehidupan yang baik, atau sebaliknya.
Saya gambarkan di sini sebagai contoh keluarga Joni (bukan nama sebenarnya) orang tua dengan satu anak ini termasuk kategori sukses secara materi. Paling tidak di kampung sudah dianggap kaya. Tapi anehnya orang tua justru membiarkan pergaulan modern dalam tanda kutip kurang baik dilakukan dan menjadi kebiasaan anaknya. 
Konsumsi minum-minuman keras sudah dianggap biasa, bahkan orang tuanya pun tak kalah hobinya dengan minuman keras yang notabene dilarang agamanya sendiri. Sayang sekali kebiasaan kurang baik kurang mendapatkan respon lingkungan yang cenderung permisif dengan gaya hidup modern yang keliru ini. Dampaknya justru kehidupan modern ini menjerat pada pola hidup yang menentang agama dan adat ketimuran ini. Tentu faktornya adalah karena tidak mau dianggap terlalu mencampuri urusan rumah tangga orang. Satu kesalahan yang sejatinya sangat berbahaya.
Di sisi lain, ada yang terlalu protektif, bahkan terkait urusan jodohpun tidak ada kata menolak jika orang tua sudah memiliki pilihan sendiri terkait urusan rumah tangga ini. Dampaknya ada di antara mereka yang sukses menjalin kehidupan rumah tangganya, namun ada juga yang gagal.
Sang anak memiliki cita-cita pun akhirnya kandas lantaran egoisme orang tua yang tak melihat potensi sang anak. Namun ada juga yang harus menyesal lantaran orang tua yang kurang peduli terhadap anak-anaknya. Orang tua permisif sedangkan anak kurang bisa menempatkan mana yang baik dan mana yang buruk bagi kehidupan mereka.
Di era kekinian, kolot maupun modern hakekatnya pola asuh yang hampir sama, hanya zamannya yang berbeda. Kadang orang-orang yang dianggap kolot justru berhasil menata kehidupan anak-anaknya, dan yang modern justru gagal. Atau sebaliknya yang kolot justru menjerat dan mengungkung anak-anaknya dalam kehidupan yang menurut orang tua baik, tapi hakekatnya buruk bagi anak-anaknya. Anak tak punya pilihan dan cenderung terpaksa menjalani hidup ala kehidupan orang tua. 
Yang pasti, kolot atau modern hakekatnya adalah pilihan hidup yang hendak dijalani, tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta agama yang melingkupi masing-masing personal. Baik atau buruk adalah urusan kita. Kita yang memilih, menentukan dan kita pulalah yang akan meraih dampak dari pilihan kita, bukan? Kalau merasa memiliki adat, budaya dan agama, tentu akan berusaha tidak keluar dari ketiga aturan ini. Salam

Komentar