Prihatin, Ketika Anak Didikku Membawa Alat Kontrasepsi


Prihatin, Ketika Anak Didikku Membawa Alat Kontrasepsi

Betapa pagi itu serasa heran  dan mengejutkanku. Tepatnya di awal aku melaksanakan tugas lagi setelah beberapa pekan menikmati hidangan liburan bersama keluarga ketika akhir puasa dan idul fitri yang kebetulan akhir masa tahun pelajaran. Tentu kejadian yang saya anggap amat mengherankan lantaran salah satu anak didik yang kebetulan siswa baru di kelasku lantaran baru saja berganti kelas. Seorang anak yang dikategorikan difable, anak berkebutuhan khusus tersebut membawa alat kontrasepsi di dalam kantung tas sekolahnya.
Meskipun tubuhnya cukup tambun alias terlihat besar, tapi kemampuan kognisinya amat rendah. Apalagi kejiwaannya, tentu amat labil dan sepatutnya mendapatkan kontrol dari orang-orang di sekitarnya. Maklum, anak-anak difable khususnya tuna grahita, memiliki kecenderungan kecerdasan di bawah rata-rata anak normal. Jadi keberadaan orang-orang di sekitarnya dalam melakukan pengawasan amat dibutuhkan.
Tak perlu ditulis di sini apa jenisnya, yang pasti alat kontrasepsi itu tak layak dibawa oleh anak sekolah khususnya anak di bawah umur. Apalagi anak yang terus terang masih dini jika harus mengenal salah satu benda terlarang bagi anak-anak sekolah tersebut lantaran bisa disalahgunakan.
Awalnya, saya seperti biasa melaksanakan tugas di pagi cerah itu dengan canda tawa, senda gurau dan bertanya terkait liburan sekolah. Dan tak lama saya meminta anak-anak menggambarkan salah satu benda yang ia temukan ketika berlebaran, semisal kue atau benda-benda lainnya.
Ternyata, dengan sangat polos, sang anak justru menjawab bahwa ia tak membawa perlengkapan belajarnya. Saya kurang percaya dengan pernyataan si anak, maka saya berusaha mengecek ke dalam tas sekolah. 
Tak disangka dan diduga, tas yang semula biasanya berisi peralatan sekolah, hanya beberapa buku sedangkan alat belajar seperti pena, pensil, penghapus serta krayon sama sekali tidak tersedia. Dan  yang lebih terkejutnya lagi, ternyata di dalamnya justru tersimpan alat kontrasepsi.
Dalam keterkejutan tersebut, saya pun berusaha menghubungi anggota keluarganya dan mengkonfirmasikan apa yang sudah saya temui. Tak perlu menunggu lama, sang pengantar (yang kebetulan kakaknya) mengatakan bahwa alat kontrasepsi itu mungkin milik kakaknya yang kebetulan lupa tidak diamankan. Terlihat dari raut wajahnya perasaan malu dan bersalah lantaran menemukan sesuatu yang hakekatnya tak pantas dilihat anak-anak.
Seketika itu, saya pun menyampaikan nasehat agar orang tua atau keluarganya memeriksa kembali bawaan anak ketika hendak berangkat sekolah. Jadi jangan sampai sang anak yang tujuan awalnya untuk menuntut ilmu, ternyata justru mendapatkan pengetahuan yang belum sepantasnya ia dapatkan.
Ketika Anak Hendak Bersekolah, Kemana Orang Tua Mereka?
Kejadian itu membuat hati saya kecewa sekaligus mengelus dada. Mengapa sang anak yang memang memiliki kondisi kejiwaan yang labil dan kemampuan intelegensinya amat rendah justru kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Apakah anak-anak model ini memang layak mendapatkan stempel kelas dua? Jadi dari segi perhatian selalu di nomorduakan? Nggak kan?

Kalau faktanya demikian, tentu kondisi ini sungguh memilukan. Lantaran seorang anak dengan berbagai karakter dan pembawaan dirinya tentu merupakan sama-sama amanah Tuhan yang harus diperhatikan secara concern atau serius.
Jangan beralasan bahwa anak-anak difable (ABK) maka semua orang menganggapnya berbeda. Mereka seringkali dianggap sebagai sosok yang tak pantas dilayani dan diperhatikan seperti anak-anak pada umumnya. Tentu kondisi ini bentuk dari lemahnya kesadaran orang tua (khususnya) terhadap keberadaan anak-anak mereka. Maka tak ayal, ketika anak yang hendak bersekolah senantiasa diperiksa barang bawaannya di malam hari dan paginya ternyata apa yang dibawa luput dari perhatian.
Apa jadinya, jika anak-anak yang hakekatnya memerlukan perhatian lebih ini justru menggunakan benda terlarang pada hal-hal yang berbahaya. Sungguh kejadian yang mengerikan yang bisa saja terjadi.
Selain alat kontrasepsi yang semestinya dijauhkan dari anak-anak, karena selama ini banyak terjadi anak yang membawa handphone justru berisi konten dewasa yang tak patut dikonsumsi anak-anak. Ada lagi anak seolah yang justru tidak membawa buku di dalam tasnya, melainkan beberapa senjata yang hendak digunakan untuk tawuran. Seperti kejadian beberapa waktu yang telah lalu di Jakarta, seorang anak tanpa sepengetahuan orang tuanya terlibat perkelahian dan tawuran hingga merenggut nyawa siswa lainnya.
Sebuah kejadian tragis semestinya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tak perlulah dituntut terlalu disiplin karena kedisiplinan yang terlalu juga bisa memancing reaksi emosional anak yang justru tak baik bagi kehidupan mereka. Namun demikian, ketika orang tua membiarkan anak-anaknya bersekolah tanpa pengawasan yang intensif terkait barang bawaannya, tentu hal ini dapat berdampak buruk bagi kelangsungan pendidikan mereka.
Beruntung, saya selaku guru kelasnya berusaha memberikan perhatian terkait perlengkapan siswa, karena harapannya anak dengan kelemahan intelegensi dan kejiwaan ini tidak lepas kontrol dari semua pihak.
Bagaimana jadinya, jika sang anak tiba-tiba mencoba-coba menggunakan alat kontrasepsi itu bersama teman-temannya? Atau justru membawa senjata tajam yang tanpa sepengetahuan gurunya melukai teman-temannya? Saya tidak bisa membayangkannya.

Atau yang lebih mengerikan lagi jika tidak disangka-sangka justru anak-anak kita menjadi bagian pengedar narkoba, lantaran kepolosannya yang tidak mengetahui bahwa benda-benda itu amat berbahaya. Sungguh hal yang tak pernah kita harapkan.
Semoga saja, semua orang tua, termasuk gurunya selalu melakukan pengawasan yang ekstra terhadap anak-anaknya. Sehingga harapannya dengan pengawasan yang ekstra ini, dampak negatif dari benda-benda berbahaya tak terjadi pada anak-anak sekolah. Salam

Komentar