Gambar : wallpaperlepi.com |
Siang itu suasana begitu menyengat. Panas tungku penggorengan sepertinya tak lebih panas dari terik matahari siang itu. Keluargaku nampak serius dengan aktivitas masing-masing. Semua berusaha mengisi kegiatannya dengan sesuatu yang bermanfaat, minimal untuk melepaskan rasa rindu akan gorengan dan kopi hitam manis hingga menjelang maghrib. Asik dengan aktivitasnya sendiri tak peduli walaupun debu-debu jalanan membuncah setelah kendaraan menerobosnya hingga napas-napas manusia di jalanan itu menjadi lebih sesak. Di dalam rumah semua seperti terhisap oleh aura ketenangan yang dimunculkan oleh puasa Ramadhan itu. Rumput dan dedaunan pun seperti nampak kelelahan karena seharian menghasilkan oksigen untuk kami hirup kemudian, dan sepertinya pohon kepala pun tersenyum, lantaran siap-siap untuk dijadikan minuman diacara buka puasa nanti.
Di antara kemeruyuknya
anak-anakku, satu anak yang dari tadi bertanya, "kapan sih pak
bukaknya?" Masih lama, Nak!" Kataku. Ia menanyakan kepadaku sambil
memegangi perutnya yang terlihatan rata lantaran tak satupun makanan yang
mengganjal perutnya. Begitupun wajahnya terlihat pucat sekali ternampak
kelemahan yang sangat. Maklum saja ia masih berumur enam tahun, baru setengah
hari puasa ia sudah ngos-ngosan seperti melewati lembah yang curam untuk
mencapai puncak gunung tertinggi. Sesekali ia melirik ke dalam kulkas, yang
isinya potongan es batu dan beberapa gelas es krim yang kami siapkan untuk
berbuka. Ada lagi beberapa potong sisa buah untuk berbuka pun tak luput dari
lirikannya.
Tak hanya kulkas yang
menjadi pusat perhatiannya, karena meja makan pun menjadi sasaran perhatiannya.
Terkadang ia memandangi tudung saji (penutup nasi) demi melihat sisa makanan
saur yang juga masih teronggok di dalamnya. Dan juga sisa kue-kue yang juga menjadi
camilan kami ketika asik menonton televisi setelah selesai shalat tarawih.
Semua terbayang-bayang diingatan seakan-akan menggoda untuk menjamahnya. Jika
ia seorang bidadari, maka anakku seperti calon penghuni surga yang digoda agar
mengikuti langkah-langkahnya. Entahlah apa yang ada dalam hatinya. Apakah ia
jengkel karena disuruh berpuasa, atau karena temannya Linda juga tidak
berpuasa, jadi ia merasakan ketidak adilan sebagai seorang anak kecil.
Menurutnya mengapa ibu dan ayahku menyuruhku berpuasa, toh aku kan masih kecil.
Si Linda itu, nyatanya gak disuruh puasa. Ia begitu enaknya membawa es cream di
depanku sedangkan aku hanya bisa mengemut ibu jari tanda keinginan yang terlalu
menggebu-gebu. Sedangkan ibuku selalu menahanku untuk mengambil es cream
yang sama.
"Mah, minta es
creamnya ya, Mah?" Pinta anakku.
Anakku memohon pada
Mamahnya agar sepotong es cream itu ia serahkan padanya. Ia merasa ingin
memakan es cream itu untuk mengurangi rasa hausnya. Maklum pada saat itu hampir
pukul dua belas siang. Sudah begitu panas sangat terik.
"Eh, jangan Dek! Hari
ini kan puasa, Dedek nggak boleh makan, tahan dulu sampek waktu dhuhur."
Kata istriku.
"Kenapa nggak boleh,
Mah?"
"Khan hari ini
puasa!" Kata istriku menjelaskan.
"Kog aku harus
puasa?
"Itu Linda nggak
puasa, ia enak makan es cream."
"Aku khan masih kecil,
kenapa aku disuruh lapar"
Masih saja anakku menolak
dan membandingkan dengan teman sekolahnya. Memang anak-anak seperti dia belum
wajib berpuasa. Berpuasa hanyalah untuk berlatih saja. Semakin dijawab semakin
banyak pertanyaan ia lontarkan. Tak terima jika rasa lapar dan hausnya tidak
segera terobati. Ia bandingkan dengan hari-hari biasanya, mau makan apa saja
sudah tersedia. Sedangkan di bulan puasa, semua dilarang dan tidak boleh
dinikmati. Rasa gemuruh kecewa semakin membuncah dalam hatinya. Sejenak ia
seperti ingin menangis, tapi ia tahan karena takut mendapatkan amarah.
Bagaimana tidak dimarah, kalau minta sesuatu pastilah menangis. Selain itu
mengamuk sejadi-jadinya.
Masih saja ia memegang perutnya
yang semakin lama semakin melilit. Melihat air sumur saja seperti tetesan madu
yang menggoda. Melihat tempe goreng saja seperti melihat ayam bakar di rumah
makan mahal. Itulah fenomena kelaparan anak-anak seperti anakku. Semua nampak
menyiksa dan rasa kecewa karena keinginnanya tidak terpenuhi.
"Mah, aku masih belum
boleh makan?"
"Belum!"
"Lah, kapan boleh
makannya?"
"Nanti!"
"Emang jam
berapa?"
"Jam dua belas lebih
kalau sudah adzan dzuhur."
"Ya udah."
Tanda menyerah anakku
meninggalkan meja makan dan menuju ke ruang tamu. Ia tersentak kaget tapi
kegirangan.
"Mah, itu jam berapa
sekarang?"
"Jam dua belas."
"Katanya jam dua belas
boleh makan?"
"Ia. Tapi mana suara
adzannya?"
"Muadzinnya lagi di
sawah kali'"
"Eh, ngawur Adek,
muadzinnya mungkin lagi ambil wudhu. Jadi baru saja mau adzan."
"Tapi kog lama,
sih?"
Tiba-tiba terdengar
sayup-sayup suara adzan dari masjid di desa kami. Betapa giranangnya anakku
itu. Dengan segera ia mengambil es cream yang sedari tadi diperhatikannya.
Tanpa basa-basi ia berlari keluar menuju temannya Linda.
"Eh, jangan di luar
makannya!"
"Kenapa nggak
boleh?"
"Sekarang lagi puasa,
nanti gak enak sama yang berpuasa."
"Nggak boleh lagi.
Gimana sih, Mah?"
Bukan nggak boleh, tapi
makannya di dalam saja, jangan di luar. Kita hormati yang berpuasa. Kita
hormati bulan yang suci ini. Dan tentu saja kita tunduk kepada Allah bahwa kita
ingin puasa ini terasa nyaman karena tidak satupun yang berpikir ingin
mengunyah es creammu itu.
Biarkan puasa kita menjadi
puasa yang nyaman, tampa ada suara-suara berisik orang yang berjualan makanan.
Dan biarkan kami semua menikmati ketenangan ini, bersama ketiadaan makanan
karena itulah tugas kita menahan diri untuk tidak tergoda untuk memakannya.
Tidak tergoda untuk membayangkan betapa segar dan nikmatnya es craam itu.
Anakku pun menurut, ia
bersembunyi di dapur, sambil menghisap segarnya es cream, menikmati nasi
bersama lauknya. Tapi setelah ia makan, ia berpuasa lagi hingga beduk maghrib
tiba.
End.
Komentar