Ahok (republika.co.id) |
Masih hangat fenomena pelecehan Ahok terhadap ayat Al Qur'an yaitu surat Al Ma'idah ayat 51, yang intinya agar umat Islam memilih yang seiman atau jangan memilih pemimpi kafir. Yaitu pemimpin yang ingkar pada Firman Allah SWT. Pemimpin yang berani melanggar Titah-titahNya. Sedangkan umat Islam memaknai tidak memilih yang kafir berarti otomatis "harus" memilih pemimpin yang muslim. Meskipun dalam tataran politik ada hal-hal yang membuat perbedaan pemaknaan tentang "kafir" itu sendiri.
Ahok mengatakan bahwa umat Islam jangan mau dibodohi dengan surat Al Ma'idah ayat 51 agar tidak memilihnya. Pernyataan itu disampaikan ketika melakukan pertemuan dengan warga di Kepulauan Seribu.
Akibat pernyataan yang "kelewatan dan asbun (asal bunyi)" ini, terang saja memancing emosi umat Islam. Tak hanya umat Islam di Jakarta saja yang marah karena di daerah lain pun merasakan hal yang sama. Amarah lantaran kitab suci yang diagung-agungkan dan dipedomani umat Islam ini telah dilecehkan. Dampaknya, sampai saat ini posisi Ahok semakin tersudut dan sulit. Karena kata-kata sedikit, namun menyakitkan, maka rusaklah kepercayaan masyarakat muslim terhadap gubernur DKI. Jakarta yang juga saat ini tengah mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di provinsi tersebut.
Terlepas dari itu semua, penulis melihat ada kepanikan yang muncul dari wajah Ahok, dimana sebagai calon dari petahana ternyata sepak terjangnya sudah terbaca bahwa ia ingin memanfaatkan fasilitas negara dengan enggan menurut aturan PKPU bahwa pejabat daerah yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakilnya semestinya mengambil cuti atau mengundurkan diri.
Alasan inilah boleh jadi membuat Ahok panik dan pusing tujuh keliling. Belum lagi dengan desakan dan penolakan dari kalangan bawah (grass root) akibat penggusuran yang dilakukan Gubernur yang tekenal keras dan frontal ini. Tentu saja karena arus bawah sudah melakukan perlawanan maka Ahok menduga suara arus bawah yang hakekatnya bisa menjadi kantung suara justru bisa berantakan entah kemana dan mereka bisa saja memilih dua calon yang lain yaitu Anies - Uno atau Agus - Silviana.
Selain karena panik dengan aneka desakan dari aturan tentang pilkada dan penolakan dari arus bawah, ternyata kepanikan Ahok disebabkan dua calon lawannya adalah bukan orang sembarangan.
Keduanya merupakan tokoh politik yang sudah kenyang dengan pengalaman. Selain ganteng dan cantik, usia mereka masih tergolong muda sehingga mau tidak mau Ahok menjadi kurang percaya diri. Anies Baswedan sudah pernah menduduki Mendikbud di era Jokowi dan Sandiaga Uno adalah seorang pengusaha sukses. Sedangkan calon lain yang masih muda adalah Agus Harimurti dan Silviana adalah dua sosok yang juga kenyang pengalaman.
Agus adalah sosok muda yang masih segar untuk menjadi pemimpin daerah sedangkan wakilnya juga memiliki pendidikan yang juga tinggi. Dengan bekal pendidikan kemiliteran yang disiplin, maka bisa menjadi ruang untuk mengejawantahkan ide-ide konstruktif demi kemajuan ibukota.
Kedua calon pesaing ini memakai cara-cara yang santun dan ramah demi mendapatkan suara rakyat. Berbeda 180 derajat dengan cara-cara Ahok yang cukup kasar dan frontal.
Beberapa faktor inilah yang justru memancing kepanikan Ahok. Dampaknya Ahok ingin menggunakan jurus mabuk tapi justru terlalu banyak meminum Arak. Akibatnya cara berpikirnya tidak lagi terukur dan lepas kendali.
Hebatnya jurus mabuk hanya di dalam film
Benarkah jurus mabuk masih layak ditiru dalam perpolitikan di abad ini? Seolah memancing energi lawannya agar lawannya bertekuk lutut karena kecapean atau kelelahan. Si pendekar mabuk memanfaatkan kemabukannya untuk menipu lawannya. Lawan beranggapan gerakan si pendekar sudah benar tapi ternyata salah duga. Karena salah duga maka aneka pukulan dan tendangan justru mengenai lawannya hingga lawannya jatuh.
Jika melihat jurus mabuk di film-film China saya selaku penggemar film ini hanya bisa melihat sebagai hiburan karena memang unik. Tapi jika jurus mabuk ini dijadikan contoh calon kandidat yang hendak bersaing, tentu merupakan preseden buruk. Mereka ingin menjatuhkan lawannya tanpa didasari kesadaran. Dan sudah pasti mereka merencanakan program kerjanya didasarkan pada aksi mabuk. Sedangkan mabuk itu hilang kewarasannya.
Ahok mungkin berpendapat dengan jurus mabuk ia bisa memenangkan laga, tapi sayang sekali justru menyakiti calon pemilihnya. Belum lagi kitab suci umat Islam yang dijadikan mainan, maka alamat buruk bisa terjadi padanya.
Kalau Ahok ingin mendapatkan kembali simpati warga Jakarta, entah akan memilih atau tidak semestinya ia meminta maaf karena telah salah berucap. Karena tidak ada manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf. Salam
Komentar