Membedah Mitos Film, Kalau Tak "Hot" Maka Tak Laku

Film Habibie dan Ainun menjadi film yang sangat menginspirasi bagaimana merajut kehidupan dgn kesetiaan (Gambar : bimbingan.org)



Dunia per-film-an di Indonesia saat ini semakin terlihat geregetnya. Aneka film bermunculan bak cendawan di musim hujan. Film dengan format yang sungguh apik dikemas sedemikian rupa agar penikmatnya semakin kesengsem dan terpesona hingga menjadikan film yang diproduksi tersebut laris manis di pasaran.

Produser, sutradara dan pemerannya sekaligus terlihat antusias menciptakan jenis film yang benar-benar "layak jual". Maka dibuatlah jenis film yang menggoda. Seperti apa gerangan film yang dibutuhkan masyarakat abad ini? Dan ternyata dunia perfilman ingin kembali menonjolkan diri pada kultur sensitifitas. Sesuatu yang sensitif sengaja di blow-up agar masyarakat menjadi terhibur dan tentu saja film menjadi laku. Sayang sekali aspek yang sensitif itu bukannya hal-hal yang baik, ternyata justru yang dilarang oleh keyakinan agama dan tata aturan di masyarakat kita.

Apa yang dibilang sensitif itu? Pornografi dan pornoaksi dan kekerasan menjadi sebuah trend. Amat sering kita melihat film-film yang dibuat ternyata mengundang kontroversi, seperti banyaknya memamerkan adegan mesum atau mengumbar aurat? Seperti yang sampai saat ini laris manis seperti film Warkop DKI? Di mana beberapa tahun silam ketika dua tokoh yang saat ini sudah tiada, masih eksis di belantika film Indonesia, Dono, Kasino dan Indro. Sebelum Dono dan Kasino wafat, Film Warkop sempat merajai film di Indonesia. Tak tanggung-tanggung penontonnya bisa berjuta-juta orang. Bahkan karena begitu antusiasnya penonton ingin melihat film mereka, membuat orang berlomba-lomba membuat bajakannya, film yang laris manis itu banyak di jual bebas di lapak-lapak pasar meskipun yang dijual adalah melanggar hak orang lain alias ilegal.

Kita boleh bangga dengan Film Warkop DKI yang booming pada masanya, dan 2016 ini film tersebut diciptakan kembali demi memuaskan hasrat penonton untuk melihat film nasional yang menarik para fansnya itu. Film Warkop DKI Reborn pun dibuat dan ternyata antusiasme masyarakat begitu tinggi hingga dalam beberapa kali tayang, jumlah penonton tercatat 6 juta orang. (hot.detik.com)

Inilah magnet yang cukup kuat menarik ambisi produser film untuk membuat film dengan genre komedi. Film komedi yang tidak lagi murni karena justru dibumbui oleh adegan erotis. Kita bangga dengan prestasi gemilang generasi muda Indonesia dalam memproduksi film, tapi trenyuh lantaran film-film tersebut justru meracuni generasi muda dengan erotisme.

Film genre komedi yang semestinya cukuplah memerankan adegan yang lucu-lucu ternyata turut menitipkan pesan perlawanan terhadap ide-ide moralitas. Dan anehnya pemerintah kala itu juga membiarkan film-film erotis itu tetap berproduksi tanpa mendapatkan teguran. Seandainya mendapatkan teguran hanyalah omong kosong. Karena meskipun banyak pihak menentang dan memprotes ternyata film-film porno tersebut masih saja diproduksi. Boleh jadi karena kala itu aksi suap di jajaran pemerintahan cukup memprihatinkan. Ironi dan sungguh aneh ternyata.

Tapi itulah fenomena film Indonesia yang selalu saja dibumbui oleh erotisme. Adegan mesra, cabul, porno dan mengundang syahwat menjadi salah satu ikon penting pembuatan film di masanya. Entah, apakah karena faktor meniru film-film barat a la Holywood yang ternyata laris manis di pasaran karena mempertontonkan adegan tidak senonoh itu? Dan ternyata benar anggapan produser selama ini, bahwa pangsa pasar konsumen film ini acapkali terpancing untuk melihat hal-hal yang sensitif tersebut dibandingkan melihat film yang cenderung mengajak kepada kebaikan.  Dan gayung pun bersambut, karena melihat antusiasme penonton begitu tinggi dan berdampak pada perolehan pundi-pundi uang maka mereka menganggap bahwa "hanyalah dengan menampilkan adegan "hot" maka film itu laris di pasaran".


Pernahkah kita menganggap bahwa jika film-film itu tidak cabul maka film itu tidak laku? Sepertinya sebagian produser dan penikmat film beranggapan demikian. Padahal banyak film dengan genre history atau sejarah dan petualangan yang jumlah penontonnya tak kalah membludaknya. Misalnya film Habibie dan Ainun. Film yang menceritakan sejarah kehidupan mantan Presiden RI tersebut ternyata tidak kalah dengan film-film "hot" lainnya. Menurut beberapa media jumlah penonton sepekan tayang mencapai 4,2 juta orang. Film Habibie dan Ainun cukup membuat sejarah bahwa masih banyak penonton yang respek dengan film-film "sopan" dan menginspirasi. Dan diproduksi skuel film Rudy Habibie, turut menarik perhatian penonton yang juga banyak. Ketika tayang saat lebaran 2016 bisa tembus 1,8 juta penonton. Dan boleh jadi hingga tahun 2016 ini penontonnya lebih banyak lagi.

Belum lagi film Laskar Pelangi yang juga mengundang anutisias penonton. Tak hanya dari Indonesia karena dari luar negeri pun peminatnya cukup banyak sampai tembus 4,8 juta orang, membuat kesan baru dari film yang dibuat di Indonesia ini.

Meskipun rekor film Habibie dan Ainun, Rudy Habibie dan Laskar Pelangi  masih kalah dengan film Warkop DKI Reborn, ternyata fakta membuktikan bahwa bangsa kita masih mencintai film-film yang lebih menginspirasi dan bukan sekedar hiburan semata apalagi film yang justru mengundang syahwat.

Mengembalikan kiblat film Indonesia yang lebih bermartabat

Film adalah hasil karya yang cukup digemari. Namun demikian film juga adalah sebuah kerja yang penuh dengan kemungkinan antara laku dan tidak laku dijual ke pasaran. Para produser film bermain spekulasi bahwa dengan film yang menarik mereka akan meraup penonon yang berjibun. Kalau penontonnya berjibun maka otomatis bisa mendulang pundi-pundi uang yang juga banyak.

Uang adalah semata-mata keinginan yang diperoleh. Meskipun tidak menutup kemungkinan para pembuat film tersebut memiliki niat atau rencana yang penontonnya tidak tahu apa di balik pembuatan film tersebut.

Jika melihat aneka film yang bergenre erotis tentu menjadi perhatian tersendiri, bahwa selama ini masyarakat terpedaya oleh ungkapan bahwa kalau tidak hot maka film itu tidak bagus. Padahal faktanya film juga bukan semata-semata berorientasi seksualitas karena banyak pula film-film bagus dan sopan yang juga tak kalah penontonnya.

Memproduksi film yang hanya berorientasi materi memang acapkali tidak mengindahkan nilai-nilai immateri (moral). Mereka hanya melihat film dari sisi seberapa banyak penonton yang tertarik tapi tidak menimbang seberapa besar dampak yang ditimbulkan jika film itu benar-benar sudah diedarkan. Dan ini sering terjadi dan boleh jadi hampir semua jenis film di abad ini kalau tidak porno atau erotis tidak akan diproduksi. Seandainya ada yang memproduksi itu hanya kalangan tertentu saja yang mau. Selebihnya adalah pembuat film yang hanya mementingkan materi semata.

Tak hanya film komedi yang justru di bumbui adegan erotis, karena dalam film-film horor abad ini tak kalah mengerikannya. Hampir semuanya adalah film erotis. Penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu karena jika mau melihat, ternyata adegan erotis menjadi tayangan wajib bagi mereka.

Aneh dan menggelitik. Bahwasanya kehadiran media penghibur itu justru dibumbui oleh kejahatan yang luar biasa yang akan menimpa generasi muda. Tayangan yang justru meninggalkan noktah kerusakan moral ini dibiarkan begitu saja bertumbuh di tengah-tengah negeri ini yang bergelut dengan persoalan moral. Pelecehan seksual, pemerkosaan dan aneka kejahatan yang semakin membuat miris. Kejahatan di abad ini semakin meningkat sedikit banyak berimbas oleh adanya tayangan yang tidak mendidik tersebut.

Padahal, seberapa besar perhatian pemerintah, MUI dan lembaga sensor film akan berdampak pada jenis dan bentuk film yang beredar. Semakin sedikit peran pemerintah menanggulangi film-film tak layak itu maka akan semakin memperparah rusaknya generasi muda. Dan yang paling penting adalah sikap para produser agar tidak semata-mata ingin meraup keuntungan semata tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Salam

Komentar