Tiwul, Penganan "Ndeso" yang Naik Pangkat

Gambar : Tiwul Urap, Salah satu cara menghidangkan tiwul

 
Nusantara selalu saja menarik untuk tempat bermanja dan bernostalgia. Bagaimana tidak, karena di negeri ini segalanya ada. Baik yang berhubungan dengan budaya, khususnya bahan pangan yang berserak di seluruh penjuru negeri. Juga aneka cara masyarkatnya meraciknya menjadi menarik dan menggoda.

Berbicara mengenai bahan pangan yang sampai sejauh ini masih sering penulis temukan adalah tiwul. Yap, tiwul adalah olahan makanan dari singkong atau ubi kayu yang dibuat dengan cara tradisional. Olahan makanan ini berasal dari ubikayu yang dikupas dulu, kemudian di jemur hingga kering menjadi gaplek. Setelah ditumbuk dan di ayak agar mendapatkan butiran-butiran kecil, dimasak (dikukus) hingga matang dan siap dikonsumsi.

Cara pembuatan makanan yang tidak terlalu sulit tapi ribet. Istilah Jawanya "ruwet" alias rumit karena membutuhkan ketelatenan. Jadi membuat tiwul ini sejatinya tidaklah sulit seperti yang dibayangkan, tinggal melihat, mencoba sebentar insyaAllah akan bisa melakukannya.

Tiwul merupakan kreasi bahan olahan makanan dari singkong yang awalnya sebagai bahan makanan pokok selain beras (nasi). Karena menanam singkong lebih mudah dibanding padi, maka masyarakat perdesaan lebih membudidayakan singkong. Saat ini singkong termasuk bahan makanan yang cukup diminati berbagai kalangan. Selain karena murah, rasanya yang enak, karena kandungan gula yang sedikit menjadi alternatif bahan konsumsi bagi orang-orang yang menderita diabetes.

Penulis mengingat betapa menikmati tiwul itu butuh kesabaran, pada waktu masih belasan tahun, dimana penulis tinggal di perkampungan yang rata-rata adalah petani singkong. Jadi konsumsi sehari-hari adalah tiwul.  Meski demikian ternyata proses pembuatan tiwul cukup menyita waktu.

Sebab untuk menikmati tiwul mesti melalui proses yang panjang. Berbeda jika singkong hanya direbus atau dibuat getuk lindri, pembuatan tiwul lebih lama lantaran membutuhkan berhari-hari hingga bisa dinikmati. Misalnya untuk mendapatkan tiwul satu kilogram saja harus menyiapkan setidaknya dua kilogram singkong basah bahkan lebih, karena singkong basah mengandung banyak air, dan melalui proses pengeringan itu berat singkong menyusut banyak.

Setelah dikupas singkong tadi dijemur. Jika panasnya cukup terik, singkong tadi bisa kering dalam waktu satu hari. Setelah itu direndam hingga semalam agar bisa empuk untuk kemudian ditumbuk. Nah, jika sudah ditumbuk sampai hancur, kemudian diayak atau dibuat menjadi butiran-butiran kecil seperti manik-manik, dan setelah semuanya jadi kemudian di jemur lagi.

Jika hendak memasak, butiran tiwul tadi dipususi (dicuci dengan air) untuk menghilangkan kotoran yang melekat seperti serat singkong yang turut terolah.

Beberapa saat kemudian setelah di masak (di dang) tiwul sudah siap dihidangkan. Cara menghidangkan caranya ditaruh di tempat yang lebar agar cepat menguap dan mendingin dan agar tidak lengket. Dengan lauk sambal ikan asing dan daun singkong atau sayuran lain di rebus maka tiwul bisa dinikmati.

Itulah bagaimana masyarakat tempo dulu menikmati singkong dengan cara dibuat tiwul.

Saat ini tiwul mulai naik pangkat

Era tempo dulu, tiwul memang termasuk makanan kelas rendahan atau makanan orang desa. Padahal sejarahnya makanan ini dibawa oleh masyarakat Jawa yang transmigrasi ke pulau-pulau di seluruh nusantaran. Termasuk di Sumatera masyarakat Jawa masih melestarikan tiwul ini. Meskipun sebagian masyarakat yang sudah maju lebih memilih nasi atau roti daripada makanan tradisional ini. Jika mereka kangen, maka cukup mencarinya di kedai-kedai yang masih bertebaran di pasar-pasar tradisional.

Menariknya, meskipun tiwul dianggal murahan dan ndeso, ternyata saat ini keberadaannya sudah semakin diminati. Saya temukan di sebuah restoran juga disiapkan tiwul ini. Entah apa karena pesanan dari pelanggan atau apa. Yang pasti ternyata tiwul masih cukup digemari.

Selain di restoran, rumah makan, atau kedai, tiwul saat ini harganya juga mulai mahal. Dulu untuk menikmati sepiring tiwul cukup dengan uang dua ribu rupiah. Sekarang untuk satu porsi bisa mencapai dua belas ribu rupiah. Harga yang cukup mahal untuk ukuran masyarakat kampung seperti saya.

Boleh jadi mahalnya harga tiwul karena singkong juga relatif mahal yang mencapai harga 1.500 per kilogram. Meskipun saat ini harga singkong sudah turun hanya 500 per kilogram, ternyata harga tiwul masih bertahan. Selain karena harga bahan baku yang mahal, boleh jadi karena proses pembuatannya yang rumit dan perlu kesabaran.

Meskipun saat ini teknologi sudah modern, sepertinya masyarakat lebih memilih cara-cara tradisional karena dianggap lebih enak dinikmati.

Bangganya lagi, karena tiwul sebagai bahan makanan pengganti yang sedianya digagas oleh pemerintah sebagai alternatif kelangkaan beras dimana beras saat ini sudah mulai jarang dan kebanyakan import.

Untuk para pengusaha makanan, ada baiknya Anda mencoba kuliner tradisional ini sebagai alternatif santapan yang unik. Selain unik bagi pengidap diabetes disarankan menggunakan tiwul sebagai bahan makanan pengganti nasi karena kadar gulanya lebih rendah.

Salam



Komentar

Fidia mengatakan…
seingatnya waktu SD saya makan tiwul. kangen untuk menikmatinya kembali.
nyari ah....dimana? hehehhe
Extraordinary News mengatakan…
wah mbak Fidiawati kalau disini masik banyak yg bikin, maklum rata2 pendatang dari Jawa jadi kebiasaan ini gak bisa dihilangkan.... mksh sdh mampir ke lapak