Gambar : gopixpic.com |
Apakah anda hendak menikah? Mungkin tahun ini atau dalam waktu dekat lagi anda ingin melakukan pernikahan. Atau beberapa tahun kemudian ketika anda sudah merasa matang, siap dan cukup bekal dalam menjalin pernikahan. Jika "ya" mudah-mudahan niat suci itu benar-benar akan terlaksana dan anda termasuk calon pengantin yang suatu saat nanti menjadi keluarga SAMARA atau sakinah, mawwadah dan rahmah.
Pernikahan yang benar-benar menjadi idaman semua orang. pernikahan yang dirajut atas niatan suci ingin mengabdi kepada Al Kholiq, dan pernikahan yang benar-benar ingin mengukuti sunnah Rasulullah SAW.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci-Nya sebagai berikut:
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
(Qs. Ar. Ruum (30) : 21)
(Qs. Ar. Ruum (30) : 21)
Ayat di atas sudah sangat jelas bahwa di antara tanda kekuasaan Allah adalah dengan diciptakan para wanita untuk menjadi pasangan kehidupan agar di dalamnya terwujudlah rasa kasih dan sayang, kehidupan yang tenteram. Dan hakekatnya bersatunya dua insan tersebut supaya bisa meneruskan garis keturunan yang banyak. Semua itu hanya bisa diterima bagi orang-orang yang berpikir atau memiliki akal fikiran.
Tetapi, apakah dengan kewajiban menikah itu semata-mata untuk memperoleh kesenangan semata? Seperti halnya yang kita pahami bahwa ada di antara kita yang menikah karena ingin memperoleh kesenangan pemenuhan kebutuhan biologis semata, padahal lebih dari itu adalah adanya rasa tanggung jawab untuk bisa memenuhi hak dan kewajibannya baik secara jasmani maupun rohani. Kebutuhan sebagai individu pun hubungannya sebagai hamba Allah SWT.
Ada kecenderungan di abad ini, seorang pria dan wanita yang hendak melangsungkan pernikahan seringkali tidak memahami batas-batas hak dan kewajibannya. Maka tak jarang di antara mereka justru saling melepaskan diri dari tanggung jawabnya. Lebih mementingkan hak yang ingin dipenuhi tapi kewajibannya justru diabaikan.
Kekerasan demi kekerasan acapkali terjadi, baik dari kekerasan jasmani berupa pemukulan dan penyiksaan pada kedua belah pihak. Meskipun kekerasan ini tidak hanya dilakukan oleh kaum pria, karena di abad inipun kekerasan banyak dilakukan oleh kaum wanita.
Meskipun prosentasenya masih jauh di bawah kekerasan yang dilakukan pria, tentu menjadi gambaran yang tidak layak terjadi jika melihat kembali tujuan pernikahan itu. Terjalinnya rasa kasih dan sayang di antara keduanya.
Selain kekerasan jasmani atau fisik, pun kekerasan rohani atau psikis masih saja terjadi. Seperti contoh secara sengaja mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan keduanya. Misalkan "kamu sudah bertahun-tahun menikah dengan aku gak juga bisa memberikan aku anak!" Atau dilakukan oleh wanita "kamu jadi pria lemah, gak bisa memuaskan kebutuhanku (impoten). penghasilan kecil dan tidak mencukupi. untuk apa kita menikah kalau hanya dibuat sengsara."
Betapa kata-kata yang sungguh menyakitkan itu adalah gambaran kekerasan psikis yang kerap terjadi, baik sang pria selaku pelakunya atau justru menjadi korbannya.
Semua itu adalah gambaran bahwa kekerasan demi kekerasan masih saja menjadi bumbu dalam rumah tangga. Bumbu memang perlu demi keharmonisan rumah tangga, tapi jika berujung pada sikap menyakiti pasangannya justru menjadi tidak sejalan dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
Kebutuhan pernikahan mencakup semuanya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kebutuhan biologis maupun materi yang tidak bisa dianggap sepele. Meskipun ada saatnya untuk mampu menahan diri dari hasrat yang berlebihan atas perkara-perkara tersebut di atas. Yang pasti semuanya meski berjalan secara realistis dan harmonis agar tercipta keluarga yang dicita-citakan.
Menghindari kata-kata keji dan kekerasan fisik demi kehidupan yang lebih tenang dan damai
Boleh jadi ada yang menganggap tak semudah diucapkan ketika berumah tangga. Apalagi bagi pasangan yang semuanya menjalin cinta bukan karena ibadah. Mereka melakukan pernikahan semata-mata pelampiasan hasrat seksual semata atau status sosial semata.
Mereka mencintai pasangannya bukan karena berharap Ridho Allah SWT, tapi sebaliknya hanya sebagai simbol prestice, atau juga sebagai sarana agar bisa mendapatkan pasangan yang kaya, keturunan bangsawan atau karena ingin segera melepaskan masa lajangnya. Tapi mereka lupa bahwa pernikahan itu bukan hanya untuk kehidupan duniawi saja, karena kehidupan akhirat adalah tujuan yang paling utama.
Karena dasar-dasar pernikahan yang bersifat keduniawian (kedonyan) acapkali pasangan pernikahan mudah retak di tengah jalan. Hanya karena bentuk tubuh yang tak lagi indah, cantik atau tampan, dengan seketika itu muncullah kata-kata yang sungguh tidak nyaman untuk didengarkan. Sumpah serapah dan umpatan-umpatan keji begitu mudah terlontar dari kedua pasangan. Padahal sebelum-sebelumnya yang muncul adalah untaian kata-kata pujian yang menggelorakan semangat cinta dan sayang. Tapi ketika semua yang diimpikan telah diperoleh, atau hilang seiring dengan bertambahnya usia, maka muncullah kata-kata yang tak layak untuk diucapkan. Sungguh tidak menyenangkan bukan?
Mereka mencintai pasangannya bukan karena berharap Ridho Allah SWT, tapi sebaliknya hanya sebagai simbol prestice, atau juga sebagai sarana agar bisa mendapatkan pasangan yang kaya, keturunan bangsawan atau karena ingin segera melepaskan masa lajangnya. Tapi mereka lupa bahwa pernikahan itu bukan hanya untuk kehidupan duniawi saja, karena kehidupan akhirat adalah tujuan yang paling utama.
Karena dasar-dasar pernikahan yang bersifat keduniawian (kedonyan) acapkali pasangan pernikahan mudah retak di tengah jalan. Hanya karena bentuk tubuh yang tak lagi indah, cantik atau tampan, dengan seketika itu muncullah kata-kata yang sungguh tidak nyaman untuk didengarkan. Sumpah serapah dan umpatan-umpatan keji begitu mudah terlontar dari kedua pasangan. Padahal sebelum-sebelumnya yang muncul adalah untaian kata-kata pujian yang menggelorakan semangat cinta dan sayang. Tapi ketika semua yang diimpikan telah diperoleh, atau hilang seiring dengan bertambahnya usia, maka muncullah kata-kata yang tak layak untuk diucapkan. Sungguh tidak menyenangkan bukan?
Persepsi yang salah dalam memandang kebahagiaan
Para ahli kejiwaan berpendapat bahwa kebahagiaan berasal dari batin atau hati seseorang. Khususnya bagi pemegang teguh agama, mereka mendapatkan kebahagiaan tidak semata-mata karena memiliki harta. Bahkan harta boleh jadi menjadi elemen kedua setelah penghambaan kepada Tuhan. Betapa kebahagiaan diperoleh karena kedekatan kepada Sang Pencipta, meskipun kadang kehidupannya sederhana ternyata kehidupan mereka sangat sejahtera. Berbeda dengan kaum hedonis yang menilai kebahagiaan semata-mata jika kepentingan duniawiyah terpenuhi, meskipun kepentingan ukhrawi ditinggalkan. Hedonisme menganggap bahwa kebahagiaan kebanyakan diukur oleh banyaknya harta dan kesenangan akan sex.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. (sumber)
Pendapat di atas sangat jelas menyebutkan bahwa hedonisme adalah pandangan hidup yang semata-mata mementingkan urusan dunia dan menjadikannya tujuan utama. Hal ini disebabkan karena bagi penganut paham hedonisme kehidupan hanya sekali, maka bersenang-senanglah dan menganggap kehidupan di alam akhirat tidak ada.
Pertanyaannya bolehkan kita mencitai dunia? Jawabannya tentu boleh asalkan kecintaan kepada dunia dan kesenangan di dalamnya selalu lebih besar kecintaannya pada ladang akhirat. Karena kehidupan dunia hanyalah sementara sedangkan akhirat amatlah kekal.
Ironisnya paham hedonisme ini pun sudah mulai mewabah pada masyarakat yang menganut agama. Padahal bagi seorang yang beragama mencintai dunia hakekatnya demi ingin mengecap kenikmatan akhirat atau alam baka. Mereka selalu mempertimbangkan konsekuensi akibat dari prilaku selama di dunia yang akan diperolehnya nanti di alam keabadian.
Di antara masyarakat menengah ke atas, yang notabene kehidupan mereka mulai sejahtera ternyata begitu sulitnya menjaga kebahagiaan rumah tangganya. Sang pria merasa sudah memberikan segalanya, atau semampunya ternyata di pihak lain sang wanita merasa tidak pernah cukup dengan apa yang diberikan. Akhirnya keretakan rumah tangga pun terjadi. Dengan alasan yang amat absurd begitu mudahnya mereka saling meninggalkan karena kebutuhan akan kenikmatan duniawi yang berkaitan dengan harta dan sex tidak terpenuhi. Mereka melupakan bahwa hakekat kebahagiaan adalah ketika keduanya saling menjaga, melindungi dan memenuhi setiap kebutuhan jasmani dan rohani dalam bingkai keikhlasan dan penerimaan. Bersyukur dengan apa yang diberikan dengan tanpa menuntut sesuatu yang mustahil didapatkan.
Menghendaki kebahagiaan hakekatnya sesuai dengan Firman Allah, barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka akan diberikan jalan keluar dari segala persoalan hidupnya, dan diberikanlah rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.
Janji Allah sangat jelas dan pasti, bahwa barang siapa yang mau bertakwa kepadaNya, berpasrah diri dan memohon kebahagiaan yang hakiki, maka kebahagiaan yang dirindukan akan benar-benar diberikan.
Menyerahkan kehidupan ini secara utuh kepada sang Khalik akan berdampak pada kebahagiaan sejati yang hakekatnya diidam-idamkan oleh semua pasangan pernikahan.
Para ahli kejiwaan berpendapat bahwa kebahagiaan berasal dari batin atau hati seseorang. Khususnya bagi pemegang teguh agama, mereka mendapatkan kebahagiaan tidak semata-mata karena memiliki harta. Bahkan harta boleh jadi menjadi elemen kedua setelah penghambaan kepada Tuhan. Betapa kebahagiaan diperoleh karena kedekatan kepada Sang Pencipta, meskipun kadang kehidupannya sederhana ternyata kehidupan mereka sangat sejahtera. Berbeda dengan kaum hedonis yang menilai kebahagiaan semata-mata jika kepentingan duniawiyah terpenuhi, meskipun kepentingan ukhrawi ditinggalkan. Hedonisme menganggap bahwa kebahagiaan kebanyakan diukur oleh banyaknya harta dan kesenangan akan sex.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. (sumber)
Pendapat di atas sangat jelas menyebutkan bahwa hedonisme adalah pandangan hidup yang semata-mata mementingkan urusan dunia dan menjadikannya tujuan utama. Hal ini disebabkan karena bagi penganut paham hedonisme kehidupan hanya sekali, maka bersenang-senanglah dan menganggap kehidupan di alam akhirat tidak ada.
Pertanyaannya bolehkan kita mencitai dunia? Jawabannya tentu boleh asalkan kecintaan kepada dunia dan kesenangan di dalamnya selalu lebih besar kecintaannya pada ladang akhirat. Karena kehidupan dunia hanyalah sementara sedangkan akhirat amatlah kekal.
Ironisnya paham hedonisme ini pun sudah mulai mewabah pada masyarakat yang menganut agama. Padahal bagi seorang yang beragama mencintai dunia hakekatnya demi ingin mengecap kenikmatan akhirat atau alam baka. Mereka selalu mempertimbangkan konsekuensi akibat dari prilaku selama di dunia yang akan diperolehnya nanti di alam keabadian.
Di antara masyarakat menengah ke atas, yang notabene kehidupan mereka mulai sejahtera ternyata begitu sulitnya menjaga kebahagiaan rumah tangganya. Sang pria merasa sudah memberikan segalanya, atau semampunya ternyata di pihak lain sang wanita merasa tidak pernah cukup dengan apa yang diberikan. Akhirnya keretakan rumah tangga pun terjadi. Dengan alasan yang amat absurd begitu mudahnya mereka saling meninggalkan karena kebutuhan akan kenikmatan duniawi yang berkaitan dengan harta dan sex tidak terpenuhi. Mereka melupakan bahwa hakekat kebahagiaan adalah ketika keduanya saling menjaga, melindungi dan memenuhi setiap kebutuhan jasmani dan rohani dalam bingkai keikhlasan dan penerimaan. Bersyukur dengan apa yang diberikan dengan tanpa menuntut sesuatu yang mustahil didapatkan.
Menghendaki kebahagiaan hakekatnya sesuai dengan Firman Allah, barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka akan diberikan jalan keluar dari segala persoalan hidupnya, dan diberikanlah rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.
Janji Allah sangat jelas dan pasti, bahwa barang siapa yang mau bertakwa kepadaNya, berpasrah diri dan memohon kebahagiaan yang hakiki, maka kebahagiaan yang dirindukan akan benar-benar diberikan.
Menyerahkan kehidupan ini secara utuh kepada sang Khalik akan berdampak pada kebahagiaan sejati yang hakekatnya diidam-idamkan oleh semua pasangan pernikahan.
Wallahu a'lam
Komentar