Ketika Kita Harus Bangkit. Bangkit!!

 Ketika Kita Harus Bangkit. Bangkit!!



Tidak ada kehidupan yang berjalan mulus semulus jalan tol. Tidak ada cuaca yang selalu cerah dengan cahaya matahari yang hangat. Karena pada saat yang lain, di saat yang berbeda kita akan mendapati cuaca yang sungguh bikin tak enak hati. Tiba-tiba awan gelap menggulung angkasa. Ada sambaran petir, angin berhembus semakin kencang dan hujan pun jatuh, meskipun diiringi oleh teriakan orang yang kesakitan karena sambaran petir yang maha ganas.


Kejadian yang sungguh aneka rupa itu selalu saja mengundang kesedihan bagi korbannya. Sedangkan bagi yang melihat turut berempati dengan apa yang terjadi, meskipun tak sedikit yang justru mengulum senyum dan tertawa sadis atas musibah tersebut.

Curhatan petani atas kelangkaan pupuk


Itulah senoktah noda dalam kehidupan kita? Yap, tentu saja itulah materi yang selalu saja ada dalam perjalanan kehidupan dunia yang kita pijaki kini.


Persis dengan beragam curhatan-curhatan kecil para petani, pedagang, nelayan, pemulung, dan bahkan pejabat sekalipun. Mereka memiliki curhatan kecil yang boleh jadi hanya tersembunyi dalam renung sanubari. Ketika curhatan itu lahir, maka ada beragam reaksi, seperti apa yang terjadi kebanyakan. Tapi ketika curhatan itu disembunyikan dan cukup dirinya sendiri dan Tuhan yang tahu, maka sedikit sekali reaksi yang muncul. Hanyalah dirinya sendiri yang merasakan semuanya, dan hanya Tuhanlah yang dianggap bisa menyelesaikan setiap beban masalah kehidupan. Bahkan ada sebuah adagium, "jangan pernah berharap pada makhluk, karena kamu akan kecewa."


Apa yang sebenarnya ingin saya sajikan dari tulisan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa setiap manusia memiliki beban kehidupan. Dan solusi dari persoalan tersebut tidak semua bisa memberikan konstribusi. 


Dengan kata lain, selebar-lebarnya senyum seseorang, pasti ada celah amarah dan kepedihan dari sudut hatinya, dan sesedih-sedihnya hati, akan ada ruang untuk menebarkan cahaya kebahagiaan.


Senada dengan aneka keluhan saat ini, di saat pandemi covid-19 masih saja menghantui dan sampai kini belum benar-benar pergi, ternyata masih menyisakan kegalauan tersendiri atas apa yang kini terjadi.  Para pelaku usaha banyak yang meluapkan rasa terdalam mereka mengapa kondisinya tidak juga membaik, seperti harga singkong yang masih rendah dan terpuruk, harga sayuran yang juga jatuh meskipun berat dalam membudidayakannya, dan lebih mirisnya pupuk juga masih langka. Seperti apa yang disampaikan para petani dalam sebuah group pertanian.

 

TIdak hanya yang berkaitan dengan persoalan tanam menanam, karena persoalan niaga juga terkena imbasnya. Ketika para petani mengeluh dengan kondisi saat ini, dan mereka terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi belanja di luar, ketika bahan makanan pokok masih bisa ditanam sendiri. Serta kebutuhan primer lainnya yang ternyata belum begitu butuh diganti. Semua itu adalah kondisi yang menyertai atas musibah covid-19 saat ini.


Di tempat lain dengan suasana yang berbeda, para orang tua yang mengeluhkan bagaimana keadaan anak-anaknya yang terlihat (maaf) bodoh karena terlalu lama bermain gadget. Meskipun nilai raport mereka bagus, nyatanya ketika ditanya pun mereka  tidak paham. Ekonomi orang tua yang terseok-seok, harus ditambah dengan beban pulsa dan listrik yang membengkak. Kebutuhan lain meningkat tapi penghasilan menurun drastis.


Di luar itu, para pengelola negara pun mengeluhkan keadaannya tentang timing kegiatan yang seharusnya terlaksana dengan baik, harus mengalami penyesuaian kondisi tanpa diduga-duga. Bahkan proyeksi program yang menguras isi uang negara, ternyata harus terhambat pelaksanaannya karena hantaman bencana pandemi yang sudah membunuh banyak korban ini. Padahal, secara realnya, ketika program sudah digulirkan dengan menyedot uang negara, tentu seharusnya berjalan normal, agar pengelolaan negara tidak menjadi timpang.


Contoh kecil saja, ketika negara sudah membangun bandara dengan nilai modal yang fantastis, karena bencana ini, semua menjadi terhambat. Bahkan banyak sisi yang bisa dikatakan bangkrut atau merugi. Lalu siapa yang mau disalahkan? Tentu tidak ada, kan? Karena semua ini diluar kemampuan manusia untuk mencegahnya. 


Kalaupun seandainya pandemi ini adalah serangan perang biologis, nyatanya semua negara mendapatkan imbasnya. Siapa yang tidak mengalami kerugian? Nggak ada. Bolehlah beranggapan ada beberapa negara yang bersih dari terkontaminasi pandemi ini, tapi faktanya seluruh dunia terhubung satu sama lain. Semua kebutuhan negara saling membutuhkan asupan dari negara lain.


Itulah fakta-fakta yang tidak bisa dianggap sebelah mata, bahwa bencana virus ini adalah bencana bagi seluruh dunia. Tak pantas lagi saling menyalahkan.


Ketika semua orang mesti bangkit dari keterpurukan.


Ketika bencana begitu saja menghantam, dan ketika kerugian dialami oleh banyak orang, langkah yang paling tepat adalah bangkit lagi dari keterpurukan itu. Sama seperti ketika seseorang sudah memiliki perencanaan yang matang dari poin a, maka mereka akan memiliki alternatif untuk bangkit dengan poin b dengan planing yang lain.


Ketika petani mengeluhkan harga singkong yang murah, selain mengharapkan pemerintah membuat kebijakan kenaikan harga, ternyata karena kebijakan ekonomi saat ini karena sistem ekonomi pasar, maka peran pemerintah pun sangatlah sulit untuk mengendalikan harga-harga. Pelaku pasar, seperti sudah menempati posisi yang paling kuat untuk mengendalikan harga. Imbasnya para petani pun kesulitan mengantisipasi harga-harga yang fluktuatif itu.


Padahal, jika petani sendiri punya perencanaan produksi dan memiliki persatuan kuat untuk mengendalikan harga di pasaran, sepertinya para spekulan dan pemilik pasar yang memiliki modal besarpun akan mengalami masalah serius. Selain berpindah komoditi dengan variasi harga yang jauh lebih tinggi, ketergantungan petani pada satu komoditis saja bisa dihindari.


Seharusnya petani adalah raja dari komoditas mereka sendiri, dan bukan sebaliknya, hanya sebagai buruh yang dipaksa berproduksi, sedangkan harga-harga ditentukan orang lain. Dan memanfaatkan jaringan bisnis yang kuat itu, mereka akan membuat para spekulan ambruk dan berpikir dua kali untuk mempermainkan harga.


Para petani, nelayan dan semua pelaku produksi, adalah aset penting dalam ekonomi kita. Jika mereka bangkit dari keterpurukan ini, maka ekonomi pun akan bangkit. Namun jika sebaliknya, maka ekonomi pun akan runtuh dan siap-siap tetap berada dalam ketiak para pemilik modal, yang sebenarnya jumlah mereka amatlah sedikit dibandingkan jutaan orang petani lainnya yang semestinya memiliki nilai tawar yang juga tinggi. 


Namun, kebangkitan produsen-produsen tersebut akan tetap tidak berhasil, jika pemilik birokrasi dan perundang-undangan belum benar-benar berpihak pada hasil karya anak sendiri. Salam

Komentar