Sertifikasi Antara Profesionalisme dan Upah yang Layak
Oleh M. Ali Amiruddin, S.Ag.
Sejak setahun yang lalu yakni akhir tahun 2011, tatkala saya
mengikuti PLPG khusus guru-guru SLB di LPMP Provinsi Lampung.
Masih
terngiang dalam ingatan saya bahwa pada hari itu kami seperti terlahir
kembali, dikumpulkan dalam satu situasi di mana kami harus kembali
membuka logika, akal fikiran dan hati bahwa kami benar-benar harus
mengikuti prosedur pendidikan dan latihan khusus guru dan kami merasa
seperti berada diatas sebuah titian yang panjang selayaknya jembatan
sirotol mustaqim yang membentang di atas neraka.
Pada saat itu pula
ada perasaan bangga di mana kami merupakan sebagian dari guru-guru
bahkan mungkin >10% dari guru di Provinsi Lampung yang mendapat
kesempatan yang luar biasa karena tidak semua guru dapat mengikuti
mekanisme tersebut, namun ada rasa was-was yang menghantui apakah kami
termasuk bagian dari keseluruhan guru yang layak mendapatkan sertifikat
pendidik profesional.
Hari demi hari kami lewati dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi
mengharapkan kami termasuk golongan orang-orang yang layak mendapatkan
sertifikat, dan ternyata berbekal ketekunan dan sikap disiplin dalam
proses kami dapat menyelesaikan bagian demi bagian kegiatan tersebut
dengan baik. Dan Alhamdulillah buah dari kerja keras selama kurang lebih
10 hari kami memperoleh sertifikat pendidik profesional.
Akan tetapi, tidak sampai di situ perjuangan kami demi sebuah Upah yang
layak, kami juga harus mengurus kembali administrasi agar uang tunjangan
tersebut dapat segera cair. Dan beruntung, keseluruhan peserta satu
angkatan dapat menikmati uang tersebut tanpa kendala, akan tetapi ada
juga sebagian dari mereka yang ternyata hak-hak mereka yang terkendala
sehingga hampir tiap tahun ada saja guru-guru yang terlambat memperoleh
gaji tambahan tersebut.
Ada pertanyaan dari benak kami, apakah memang keahlian, profesionalisme
dapat ditempuh hanya kurang lebih 10 hari? Sedangkan guru-guru yang nota
bene usianya mulai senja, mereka gagap dalam mengoperasikan komputer,
apalagi harus mengikuti test UKG yang nota bene mereka sama sekali tidak
mengenal komputer, dan wajar saja tahun 2012 banyak guru-guru yang
mengikuti UKG dinyatakan tidak lulus.
Bahkan disebutkan oleh Mendikbud
rata-rata nilai UKG hanya 44,55, tertinggi 91,22 dan yang mengejutkan
ada di antara mereka yang nilainya 0, sebagaimana
yang diunggah pada laman website http://wartapedia.com. Padahal
berdasarkan tingkat prestasi di sekolah mereka cukup mumpuni dalam
mendidik siswa-siswinya di sekolah karena rata-rata kelulusannya 100%.
Fakta ini sangat mencengangkan, meskipun tidak dapat
menjadi acuan bahwa guru-guru yang dianggap tidak lulus sertifikasi
tidak profesional dalam mendidik murid-muridnya. Begitu juga sebaliknya
guru-guru yang lulus sudah menunjukkan bahwa mereka benar-benar
profesional.
Terlepas dari Profesional, dan tidak sebenarnya setiap guru berhak
mendapatkan upah yang layak meski menurut catatan hasil uji kompetensi
mereka dinyatakan tidak lulus. Sehingga munculah anggapan bahwa hampir
rata-rata guru tidak layak mengajar.
Padahal kita tahu bahwa guru-guru
PNS di lingkungan Kementrian Pendidikan diangkat berdasarkan hasil Tes
CPNS yang notabene mereka mendapat seabrek soal-soal tes yang dianggap
sudah valid dan reliabel untuk mengetahui dan mengukur serta menilai
tingkat kemampuan calon pegawai tersebut.
Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah selama ini guru-guru yang
dicetak oleh lembaga pendidikan formal (PTN/PTS) sudah diakreditasi oleh
BAN-PT memang sudah dianggap profesional? Pertanyaan selanjutnya apakah
proses rekrutmen pegawai sudah dianggap mumpuni untuk menjaring
calong-calon pegawai khususnya pendidik? Jika jawabannya Ya semestinya
Perguruan Tinggi dengan Jurusan Kependidikan semestinya sudah harus di
upgrade agar lulusannya sesuai dengan tuntutan profesionalisme dan
lulusannya langsung mendapatkan sertifikat “Layak Mendidik” serta
mendapatkan tunjangan yang sesuai dengan kriteria pendidik profesional
di atas.
Jika proses rekruitmen ternyata dianggap sudah valid dan
reliabel semestinya sudah benar-benar dapat mengukur tingkat kemampuan
calon-calon guru yang dijaring oleh negara, namun jika ternyata proses
rekruitment tersebut ternyata juga berbanding lurus dengan kinerja PNS
semestinya proses penjaringan pegawai melalui Test CPNS juga mesti
melakukan perubahan sistem, entah dari faktor jenis tesnya maupun
bentuk penyaringannya yang semestinya disesuaikan dengan kebutuhan di
lapangan.
Jika memang seluruh skenario yang sudah dijalankan
benar-benar layak melahirkan guru-guru yang profesional semestinya juga
tidak ada alasan lain bahwa guru memang berhak mendapatkan sertifikat
kelayakan dan upah tambahan dari kerja keras mereka sebagai guru.
Selebihnya jika memang dibutuhkan pendidikan dan lanjutan semestinya
juga akan benar-benar menggembleng guru agar lebih profesional.
Akan tetapi, alangkah sulitnya guru-guru di Indonesia menikmati arti
sebuah kelayakan sebagai pendidik generasi muda di negeri ini, di mana
di antara mereka yang di didik adalah anak-anak yang akan mewarisi
tanggung jawab negara sebagai pengganti orang tua dan pemimpin di negeri
ini.
Sertifikasi, jika tidak dibilang mensejahterakan setengah hati,
dirasakan memang kadangkala sebagai bonus dari sebuah kerja keras yang
semestinya selalu mengedepankan nilai “penghargaan” ketimbang
“perhitungan” dengan mengesampingkan unsur seberapa besar waktu yang
telah dikeluarkan guru dalam tugasnya akan tetapi seberapa bermutunya
waktu yang dipergunakan guru dan seberapa bermanfaatnya “upah” tersebut
dapat dinikmati semua guru di Indonesia tanpa terkecuali.
Dengan harapan
semakin tinggi tingkat perhatian terhadap guru akan berbanding lurus
dengan pengabdian dan keteguhan dalam menjaga eksistensi guru yang benar
profesional, layak saji dan layak jual bagi proses regenerasi kader
pemimpin di negeri ini.
Salam
Komentar