Jika membaca dan mendengar gunjingan dari para pembaca media cetak maupun
internet di sekitar saya sendiri kayaknya masih perlu membahas seberapa besar
“nilai” dari sebuah ijazah daripada keahlian atau pengalaman seseorang (skill).
Tentu keduanya tidak bisa dibandingkan dengan apriori, karena masing-masing
memiliki posisi yang berbeda.
Bagi kalangan akademisi, ijazah menjadi bobot tersendiri tatkala menduduki
jabatan fungsional atau struktural di pemerintahan dengan embel-embel yang
panjang, baik di depan maupun di belakang namanya. Meskipun acapkali
embel-embel yang panjangnya semeter tersebut bukan murni diperoleh dengan ngoyo
tapi dikenal UTID (Uang Tebal Ijazah pun Datang). Begutah kira-kira yang
pernah booming di era 2000 an. Di mana saya sering menemukan ada oknum yang
mengaku pejabat memakai seragam kedinasan menawarkan ijazah palsu. Untung ulah
pemalsuan ini segera dapat dibasmi lantaran di antara mereka sudah masuk bui.
Begitupula terkait keahlian dan pengalaman, bagaimana mungkin ibu Susi
Pujiastuti sang Mentri Perikanan dan Kelautan bisa menduduki jabatan di
pemerintahan Jokowi-JK, meski hanya bermodal ijazah SMP. Bagi saya dan
kebanyakan penghuni negeri ini akan mengatakan Impossible pada
mulanya, lantaran tak lazim seseorang yang pendidikannya rendah bisa menduduki
jabatan tinggi tersebut.
Tapi itulah dunia kerja, seperti kata Presiden Jokowi ketika memberikan
sambutan selepas beliau di sumpah sebagai Presiden terpilih, tentu sikapnya
memiliki ibu Susi Pudjiastuti bukan karena sebab “cinta buta” tapi benar-benar
berdasarkan penglihatan, pemikiran dan olah rasa yang tajam atas prestasi yang
diraih ibu mentri yang kebetulan memiliki tato di kaki serta merokok tersebut.
Tapi sekali lagi, Jokowi tak mungkin salah dalam hal ini, karena beliau memilih
tentu atas prestasinya, sedangkan kekurangan dalam segi kepentingan pribadi
lambat laun dapat diubah jika pihak yang bersangkutan mau merubahnya. Semoga.
……………….
Berbicara mengenai status pendidikan tinggi, maksud saya sarjana yang
biasanya ditempuh dengan waktu minimal 3,5 tahun, bahkan ada yang kurang dari
itu, meskipun adapula para mahasiswa yang berjuluk mahasiswa abadi lantaran
menempuh kuliah hingga semester 14 di era 2001 an ketika saya berhasil menempuh
pendidikan sarjana di salah satu perguruan tinggi di kota di mana saya
berdomisili dan menetap, tentu memberikan banyak tanda tanya, betapa lemahnya
seorang mahasiswa jika butuh bertahun-tahun lamanya dalam menempuh pendidikan
tinggi tersebut. Apakah karena kesibukan dalam berorganisasi? Problem ekonomi?
Atau urusan organisasi yang juga menjadi bagian pengembangan diri dalam ilmu
politik dan sosial kemasyarakat.
Namun yang pasti, masih banyak mahasiswa yang
aktif dalam kegiatan ekstra dan intra kampus yang mampu menyelesaikan
pendidikan sesuai dengan target yang dibutuhkan. Tak perlu terlalu ngoyo, meski
aktif dalam kegiatan kemahasiswaan ternyata mampu menyelesaikan pendidikan
tepat waktu.
Jika bertolak pada kondisi para sarjana yang saat ini bersaing mencari
kebutuhan hidup di lembaga pemerintahan, tentu amat bertolak belakang dengan
seorang pria yang hanya berijazah SR namun kemampuan, skill keahliannya
melebihi para sarjana.
Kalau boleh saya contohkan orang tua saya sendiri. Ayah
hanya lulusan SR sedangkan ibu SD tak tamat. Lantaran di masa itu pendidikan
tak begitu diwajibkan lantaran ekonomi sudah mapan lantaran luasnya lahan
pertanian dan usaha niaga yang juga sudah baik. Jadi muncul pemikiran kalau
sekolah tinggi itu tak penting. Walaupun pendapat ini tak dapat dibenarkan,
lantaran hanya menempuh pendidikanlah masa depan bisa diraih. Paling tidak
untuk saat ini dan di negeri ini, rata-rata yang dilihat adalah ijazahnya
dengan Indek Prestasi minimal 3,00. Kalau dibawah nilai ini akan sulit masuk
tes pegawai negeri, meskipun untuk juran eksak boleh di bawah nilai tersebut.
Kondisi ini fakta, bahwa saat ini yang dipandang adalah ijazah dan nilai
IP yang tertera di dalamnya. Meskipun tatkala melihat kinerja pegawai pemerintahan
banyak yang menilai kinerja mereka amat rendah. Apakah karena ijazah mereka
tinggi jadi malas-malasan jika harus bekerja keras? Mudah-mudahan tidak
terjadi.
Kembali pada status pendidikan yang terkait dengan ijazah, ketika masih
gencarnya tawaran pekerjaan konstruksi gedung perkantoran dan institusi suasta,
ayah sering kedatangan kontraktor dengan pakaian necis, mobil mahal dan tentu
kantungnya sangat tebal. Kenapa mereka mau ke rumah meski rumah kami gubuk
reyot? Apakah tidak gengsi? Ternyata jawabannya tidak sesederhana itu, lantaran
para kontraktor ini tidak melihat status pendidikan atau ijazah yang dimiliki,
tapi pengalaman dan skill yang dianggap mumpuni dalam pembangunan
gedung-gedung.
Meskipun saat ini tantangan proyek tak semudah di masa itu, jadi
membutuhkan pendidikan tinggi sekaligus skill yang juga diperoleh dari
gemblengan perguruan tinggi yang juga layak diperhitungkan. Meskipun demikian,
tatkala ayah tengah mengawasi pekerjaan proyek, karena beliau ditunjuk sebagai
mandor, para mahasiswa teknik yang tengah magangpun tak sedikit yang bertanya
ini itu terkait proyek tersebut. Bahkan karena melihat pengalaman dan jam
terbangnya sudah banyak, seakan-akan para konsultan yang nota bene para lulusan
pendidikan tinggi inipun menyerahkan sepenuhnya proses pekerjaan tersebut.
Jadi persoalannya bukan karena ijazahnya yang dicari, tapi skill,
pengalaman dan kemampuan dalam sebuah pekerjaan yang dibutuhkan dari seseorang.
Sebuah persoalan negara tak butuh orang-orang dengan ijazah tinggi, berpakaian
jaz import yang mahal, dan bukan pula kemampuan dalam aksi suap menyuap tatkala
seleksi mentri berlangsung. Tapi yang dibutuhkan adalah orang-orang yang
benar-benar gesit, lincah dan mampu bekerja dan menyesaikan setiap
persoalan di hadapannya dengan kecepatan tingkat tinggi. Tegas dan tak perlu
ragu-ragu.
Ketika Ijazah tak diimbangi profesionalisme kerja sesuai
pendidikannya
Berapa juta lulusan perguruan tinggi di Indonesia? Tentu ada jutaan yang
saat ini masih menganggur dan masih mondar-mandir menenteng map berisi ijazah
demi mendapatkan pekerjaan di tempat yang empuk dan basah. Mereka berkeliling
dari satu kantor ke kantor lainnya demi sebuah mimpi mendapatkan pekerjaan yang
tak perlu berpanas-panasan akibat sengatan panasnya matahari.
Bahkan yang ironis lagi, tatkala mereka adalah seorang sarjana yang masih
hangat-hangatnya lulus dari perguran tinggi (fresh graduated) ternyata mereka
masih kebingungan dalam menentukan jalan hidupnya. Mereka seperti anak ayam
yang kehilangan induknya. Bingung mau bekerja apa karena di sana-sini tidak mau
menerima lamaran mereka. Bahkan lebih dari itu ada yang hendak mengakhiri
hidupnya lantaran frustasi dan depresi karena tak juga mendapatkan pekerjaan.
Meskipun ia seorang magister. Sungguh aneh, konyol namun ini adalah ironi
lulusan pendidikan di negeri ini.
Apakah pendidikannya yang boleh disalahkan? atau perguruan tingginya yang
tak layak menjadi rujukan karena dianggap tak mampu menelurkan mahasiswa yang
siap pakai dalam situasi apapun? Tentu jawabnya akan sangat beragam lantaran
dalam situasi tertentu sebuah institusi pendidikan selayaknya kawah candra
dimuka tempat menggembleng mahasiswanya dengan aneka pengetahuan agar
mereka mampu menjadi generasi yang mandiri dan siap pakai. Tapi faktanya justru
semakin lama mereka menuntut pendidikan ternyata tak juga mendapatkan predikat
mandiri dan layak pakai. Justru bertolak belakang dan menunjukkan tingkah polah
seorang sarjana yang sama sekali jauh dari sosok yang berpendidikan tinggi.
Dengan demikian, bahwa sepatutnya penghargaan pada status seseorang jangan
semata-mata karena ijazah semata, akan tetapi skill, pengalaman dan prestasi
yang telah diraihnya dalam bidang tertentu.
Bekali kemandirian dan skill (keahlian) dan pengalaman hidup sejah
dini.
Pendidikan adalah proses, dan prosesnya akan berhasil guna jika dilalui
secara bertahap, step by step. Diawali dari persoalan yang simpel hingga yang
rumit. Mengajarkan kemandirian, skil dan pengalaman hidup dimulai dari usia
mereka muda.
Membekali pendidikan umum sangat diperlukan, tapi pendidikan yang
berorientasi kemandirian, keahlian dan pengalamn hidup sepertinya jauh lebih
bermanfat bagi generasi muda. Tak hanya kecerdasan logika saja yang dituntut
dalam lembaga pendidikan, tapi kecerdasan lain seperti kecerdasan sosial,
bahasa, keahlian praktis dan aneka kecerdasan dan bakat lain yang mesti
dikembangkan agar generasi muda ini tak gagap lagi tatkala berhadapan pada
situasi yang sulit dalam kehidupan mereka.
Hidup memang mesti berpikir dan berhayal, tapi melakukan segalanya dengan semangat
kerja berdasarkan skill dan pengalaman yang utuh yang diperolehnya selama
proses pendidikan maupun dunia kerjanya pun tak dapat diabaikan.
Ijazah tinggi memang diburu dan dicari sebagai jenjang pendidikan tinggi dan
keilmuannya, tapi pengetahuan praktis yang tak melulu berdasarkan logika yang
jumud dan terbatas pun sangat dibutuhkan saat ini demi proses kemandirian dan
kemajuan prestasi kerja generasi Indonesia yang lebih baik. Mana mungkin bangsa
ini siap bersaing dari bangsa lain jika para generasi mudanya terlalu naif
mengandalkan ijazah semata demi sebuah pekerjaan kantoran. Jangan sampai ada
kesan justru sarjana lebih rendah kemampuannya dibandingkan lulusan SR atau SMP
sekalipun.
Salam
Komentar