Silvi dan Keluarga Broken Home



Sebut saja Silvi, anak seorang pegawai perusahaan terkemuka dari negeri Jiran, Malaysia. Anaknya imut, tapi agak cerewet dan juga bandel. Ia sebenarnya adalah sosok yang kalem sekaligus pendiam. Prestasinya luar biasa melejit, hingga memiliki segudang prestasi. Kini dia tidak lagi menjadi imut, tapi menjadi tak jelas juntrungnya. 
Perubahan prilakunya disebabkan karena perceraian orang tua beberapa tahun yang lalu.

Bu Salsa, nama panggilan bagi ibunya, seorang akuntan di salah satu perusahaan eskpedisi. Ia kembali bekerja di sana, setelah beberapa tahun mengundurkan diri lantaran bersuami. Setelah perceraian mereka, bu Salsa kembali bekerja dan lebih banyak bekerja untuk menyambung nafas keluarganya.


Silvi, siswi kelas delapan di salam satu SMP Swasta di Kota Medan ini adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Ibunya sibuk bekerja sedangkan ayahnya sudah tidak bersama mereka lagi, karena bercerai dari sang ibu. Kakak dan adiknya bersekolah di luar kota bersama paman di Jogja, sudah satu tahun ini mereka tidak berkumpul lagi. Paling-paling kalau hari lebaran mereka bisa bertemu sekedar melepas rindu. Bisa sih melalui handphone, tapi intensitasnya terbatas dan tidak bisa menyembuhkan rasa rindu yang mendera.


Sepagi itu ia terlihat santai, tidak mempersiapkan perlengkapan sekolah yang hendak ia bawa. Sedari semalam ia asik tidur di kamar, dan tidak mengerjakan PRnya. Padahal tahu sendiri, kalau PR tidak dikerjakan, maka hukuman akan menanti. 


Ibu Butet, guru yang begitu ditakuti karena galaknya. Kalau orang bilang Butet itu guru killer. Mudah sekali memarahi murid-muridnya kalau tugasnya tidak dikerjakan. Apalagi kalau sampai hafalan rumus matematikanya tidak ia kuasai, alamat buruk selama diajar oleh ibu Butet jangan harap hari itu akan terasa menyenangkan. Hukuman pastilah akan ia dapatkan.


Tak hanya Silvi, karena ada anak lain yang turut menjadi korban kekerasan ibu Butet itu. Sebenarnya bukan kekerasan fisik, karena beliau tidak pernah memukul. Tapi kekerasan psikis lah yang paling ditakuti dirinya dan teman-temannya di sekolah. Tak sedikit ibu Butet bilang pada siswanya: "Bodoh, kau! Mana PR gak dikerjakan, berangkat kesiangan, di sekolah juga mengantuk." Dengan mata melotot ia memarahi siswanya lantaran PR yang diberikan tidak dikerjakan.


Suasana belajar yang seharusnya menyenangkan, ternyata amat mengerikan. Selayaknya sebuah penjara. Tidak ada senyum dan tatapan ramah dari sang guru.


Meski begitu, kepala sekolah masih saja mempertahankannya. Karena setahu kepala sekolah, prestasi siswa yang diajarnya lumayan bagus. Menurut pendapat Ibu Butet, semua anak harus bernilai bagus, makanya muridnya harus diajarkan dengan disiplin. Kalau tidak disiplin maka harus dihukum.


Meski begitu anak-anak kelas delapan, itu tak juga merasa lelah untuk belajar, karena memang sikap guru itu tidak sama. Ada yang lemah lembut, sabar, dan penyayang, tak sedikit juga yang keras, mudah membentak, dan adapula yang kadang mau memukul muridnya. 


"Silvi!" Sang ibu memanggil dari ruang makan. Dengan nada keras sang ibu membangunkan lamunannya. Maklum rasa takut itu masih menggelayut dalam pikirannya.


"Buruan sarapan! Seru sang Ibu.


"Jam berapa ini? Tanya ibu, dengan tangan masih memegang piring yang hendak ia letakkan di meja makan. Sedangkan Silvi masih di dalam kamarnya. Dia masih terdiam di atas dipan empuk itu sembari memilin-milin rambutnya.  


"Kog belum sarapan juga? Mamah terlihat jengkel. Sedangkan Silvi tak juga menunjukkan batang hidungnya. Sang ibu semakin lama semakin marah lantaran anak gadisnya tak juga memenuhi panggilan ibu.


"Malah melamun." Tegur ibu lagi dengan nada lumayan ketus.


"Iya, mama. Sabar dikit kenapa sih, Ma!" Septi menjawab teguran ibu.


"Nanti Silvi kena marah bu guru lagi loh." Ibunya kembali mengingatkan.


"Kemarin katanya Silvi di setrap lagi ya?" Tanya sang Ibu sembari ibu meluruskan tempat duduknya. Maklum dari tadi pagi ibunya sudah menyiapkan kudapan sarapan sedangkan Silvi tak juga tertarik untuk menyantap meski sepucuk sendok saja.


"Iya." Silvi agak terkejut ketika tak sengaja pertanyaan itu terlontar dari Ibunya. Sambil keluar rumah dengan wajah kusut. Dengan tubuh gontai dia menemui ibunya di ruang makan dan mengambil secentong nasi bersama lauk. Keduanya terlihat kurang akrab dan tatapannya dingin.


"PR nya sudah dikerjakan?" Ibu terlihat sedikit mengingatkan, sambil memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. 


"Sudah, Ma." Jawab silvi singkat. Padahal waktu itu PRnya sama sekali tidak disentuhnya. Ia sudah tak perduli dengan urusan sekolahnya. Dia lebih banyak tidur atau merokok semalaman.
"Ya sudah, sarapan yang banyak dulu, dulu biar gak sakit perut." 


Belum lama berselang, Ibunya pernah dipanggil pihak sekolah, lantaran Silvi terlibat perkelahian dengan teman kelasnya. Yang mengherankan, ternyata teman ributnya itu laki-laki, tapi memang Silvi tak pernah mundur jika harus beduel dengan teman kelasnya. Lawannya pun acapkali menyerah kalah karena terkena pukulan Silvi. Sama dengan kawannya kali ini, wajahnya penuh luka karena pukulan Silvi. Maklum saja Silvi memang sudah terlatih bela diri semenjak sekolah dasar. Ia pun dulu pernah menjuarai perlombaan tingkat sekolah. 


Kala itu Silvi termasuk anak yang tidak suka ribut. Ia lebih banyak mengalah dan tidak mengabaikan gangguan temannya. Ia seringkali murung lantaran sering dibully. Pernah suatu ketika ia tidak masuk sekolah selama seminggu. Ia tidak mau makan, keluar kamar pun kalau mau ke toilet. Mandi pun jarang. 


Sikapnya berbanding terbalik 180 derajat seperti itu setelah ayah dan ibunya bercerai. Entah ada masalah apa, keluarga yang tadinya begitu tenang tiba-tiba berubah drastis. Keluarganya yang terlihat bahagia, kehidupan yang berkecukupan, ternyata tidak bertahan lama.


***


Ayah Silvi menyebutnya Bu Tini. Nama itu ia dapatkan ketika keduanya bertemu di sebuah lobi. Tini diperkenalkan kepada sang Ayah oleh bos perusahaan di mana ia bekerja. 


Awalnya keduanya tampak biasa saja, karena baru saja berkenalan. Tapi entahlah tiba-tiba Tini menjadi tertarik dengan ayah Silvi. Percakapan semakin intens karena keduanya menjadi manajer dan sekretaris yang tentu keduanya sering bertemu.


"Selamat pagi, Pak!" Tini menyapa Pak Dadi dengan ramah, matanya terlihat tajam menatap Pak Dadi.


"Selamat pagi. Bu Tini!. Pak Dadi menjawab sapaan Tini.


"Ah, saya jadi malu." Seloroh Tini.


"Jangan panggil saya Ibu sih, Pak!." Tini terlihat tersipu-sipu dan tersenyum menggoda. Nampak ia pandai sekali memancing perhatian pak Dadi. Sedangkan Pak Dadi tak terlalu meladeni sekretarisnya. Ia ingat sekali kata-kata Silvi anak gadisnya itu, "pah, jangan pernah deketin wanita lain ya pak!. Kasihan sama ibu." 


"Pak Dadi!"


"Oh ya, maaf, saya lupa. Barusan kita ngomong apa ya? Terlihat Pak Dadi gugup sekali. Tapi ia berusaha rilex sambil kembali meneruskan pembicaraan.


"Ah, Pak Dadi, tadi 'kan saya minta jangan dipanggil Bu Tini. Tini menjelaskan sambil merapihkan pakaniannya.


"Lah terus saya harus memanggil siapa, Ibu Tini? Tanya Pak Dadi terlihat menanggapi dengan serius. Sedangkan dirinya tengah membaca sebuah dokumen. Tini tengah membawa sebuah map, dengan ada lembaran kertas di dalamnya. Sepertinya itu surat resmi yang harus ditanda tangani oleh Pak Dadi.


Sambil mendekati meja Pak Dadi, Tini menyambut uluran tangan Pak Dadi yang mengajaknya bersalaman.


"Panggil saya Tini saja, Pak." Tini terlihat menawarkan diri.


"Ah, Ibu Tini ini main-main. Kita baru berkenalan dan kita adalah sesama pekerja di perusahaan ini. Sepertinya kita harus bersikap profesional.


"Silahkan!" Mana dokumen yang harus saya tanda tangani? Pak Dadi berusaha mengalihkan perhatiannya. Sedangkan TIni terus saja memandangi wajah Pak Dadi. Pak Dadi tampak cuek. Sedangkan Tini tersenyum seakan-akan memang menaruh hati.


"Maaf, Ibu Tini, saya sudah memiliki istri, jadi tolong bersikap yang baik ya!, Saya juga atasan Anda. Jangan macam-macam! Tak disangka Pak Dadi menaikkan nada suaranya. Tini pun terhenyak, tak menyangka kalau manajernya itu ternyata tidak suka kalau ia menggoda. 

"Maaf, Pak Dadi. Sekali lagi saya minta maaf."  Tini terlihat panik.


"Sudahlah, silahkan, kalau ada keperluan lain. Soalnya saya juga masih ada pekerjaan." Pak Dedi tampak kembali membaca dokumen yang tadinya sempat ia baca.


***


Di senja itu, Pak Dadi menelepon istrinya untuk berpamitan bahwa akan ada lemburan di kantor. Istrinya mengiayakan. 

Memang benar, pak Dadi memang mengerjakan tugas-tugasnya terkait laporan yang akan disampaikan kepada pemilik perusahaan.Tini membantu dengan mempersiapkan dokumen dan catatan-catatan.


"Pak Dadi, apa sudah punya istri? Celetuk Tini memecah suasana yang tengah sibuk sore itu.


"Apa dikira saya masih bujangan? Pak Dadi menimpali.


"Bukan begitu pak, maksud saya, bapak masih gagah dan kayak masih bujangan." Tini berusaha bersikap ramah tapi menggoda pak Dadi. Sedangkan pak Dadi ternyata juga menaruh hati dengan kecantikan Tini. Entahlah, tiba-tiba persaan Pak Dadi menggelora, dan keduanya tak sadar saling tumbuh rasa cinta.


Obrolan mereka terus berlanjut, dan pekerjaan selesai. Keduanya berpisah dan kembali ke rumah masing-masing.


Tapi ternyata, tak disangka Pak Dadi semakin tertarik dengan Tini. Bagaimana tidak tertarik, Tini selalu saja menggoda seakan-akan mencintai Pak Dadi. Hampir tiap malam, keduanya saling bercengkrama melalui telephon. Istri pak Dadi tak pernah tahu, kalau suaminya justru menaruh hati terhadap sekretaris barunya itu.


Tiba-tiba, Bu Salsa, memergoki pak Dadi tengah berkencan di sebuah hotel. Terlihat sekali kalau acara itu bukan acara meeting selayaknya acara kantoran. Karena mereka hanya berdua dan suasananya cukup romantis. Keduanya terlihat bercakap-cakap secara intens. Pak Dadi memagang tangan Tini dan sebaliknya Tini mengumbar senyum dan tatapan mata tajam ke arah Pak Dadi.  
Suasana mesra sekali. 

Padahal sepengetahuan Bu Salsa, Pak Dadi hendak melakukan rapat di kantor karena akan ada job dengan bonus yang lumayan besar. Ee tak disangka suamiinya justru tengah asik dengan sekretarisnya di hotel itu.

Di luar dugaan mereka, Bu Salsa terlihat naik pitam dan melihat ke arah keduanya. Tak lama menahan emosi, Bu Salsa, menemui keduanya sembari marah marah.


"Ooo, begini ya, pekerjaan di kantor yang katanya meeting itu? Dasar laki-laki sialan!" Bu Salsa memaki suaminya dengan suara keras. Sedangkan tamu hotel terlihat memperhatikan konflik keduanya. Scurity hotel segera menemui meja yang terlihat gaduh itu. Tak lama ketiganya dimohon tenang untuk menjaga ketenangan hotel.


Tak lama kemudian, Tini pergi dengan raut wajah malu, dan Pak Dadi serta istrinya meninggalkan hotel dengan wajah merah padam.


Di luar hotel bu Salsa masih memarahi suaminya, dan meminta untuk bercerai.


"Dah, kalau ayah sudah gak cinta lagi sama aku dan anak-anak, lebih baik kita bercerai saja!" Nada penuh emosi ditunjukkan oleh bu Salsa sebagai bentuk luapan amarah yang menggelora. 
Pak Dadi masih tidak percaya, kenapa pertemuannya dengan Tini diketahui oleh Istrinya. Ia terlihat bingung dan malu, lantaran akibat labrakan sang istri, pihak hotel dan tamu-tamu hadir terlihat menyeringai, seakan-akan mengejek pak Dadi.


****


Anak-anak yang tadinya terlihat tenang, tiba-tiba menangis dan terlihat sekali kepanikan dan kegaduhan mereka. Silvi menjadi salah satu anak yang merasakan kekecewaan lantaran ayahnya justru berselingkuh dengan wanita lain.


"Mah, ada apa dengan ayah? Kenapa kalian bertengkar? 


"Sekarang kalian akan tahu, bahwa ayahmu itu sudah berselingkuh dan mencintai wanita lain." 


"Katanya mau meeting, tiba-tiba ketika mamah datangi kantor tak tahunya malah berada di hotel sedang bermain dengan sekretarisnya. Pria macam apa dia? Terlihat sekali nada amarah bu Salsa sudah tak lagi bisa diredam.

Rasa kecewa pun tertumpah dari raut wajah kedua anaknya yang lain. Tak henti-hentinya mereka menangis.


Sesaat berselang, Pak Didi meninggalkan rumah dengan membawa koper berisi penuh pakaian. Ibunya terlihat kacau dan wajah yang acak-acakan. Niatnya untuk menggugat suaminya sudah bulat. Meskipun Pak Dadi sudah meminta maaf dan berniat tidak akan mengulangi perbuatannya.  
Dan sebulan kemudian, setelah melalui proses persidangan dan mediasi, ternyata pernikahan pak Dadi dan Istrinya sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Keduanya bersepakat bercerai. Entah apa yang menjadi alasan Bu Salsa kenapa tidak mau kembali menerima suaminya. Mungkin wataknya yang keras, jadi dia tidak bisa dibohongi meskipun sekali saja.


***


Bu Salsa sudah merelakan suaminya. Namun dampaknya, ternyata Silvi seperti kehilangan sosok yang dicintai. Kehidupannya terlihat kacau. Ia sudah tak mau bersekolah lagi, meskipun saudaranya yang lain masih bersekolah, kondisinya amat memprihatinkan.


Meskipun bu Salsa sudah bekerja lagi, faktanya rumah tangga mereka tidak seperti dulu lagi. Rumah yang dulu besar, kini menjadi kecil lantaran dijual untuk melunasi hutang keluarga selama tidak berayah lagi. Mobil yang dahulunya biasa mengantar mereka ke sekolah, sekarang tinggal kenangan.


Tak disangka, Silvi yang dulu terlihat ceria, kini menjadi sosok perempuan yang nakal. Setiap hari ia habiskan untuk senang-senang dengan teman-temannya. Entah minum-minuman keras, atau menghisap narkoba. Pelampiasan rasa kesalnya lantaran keluarga yang dicintainya hancur berantakan.


@@@


Komentar