Jaman Sekarang, Kita Suka yang Instan-instan


Gambar Pelaku penipuan berkedok penggandaan uang
 (Dimas Kanjeng Taat Pribadi)
Sumber: berantai.com

Benar nggak ya anggapan saya ini? Bahwa jaman sekarang banyak yang suka yang instant. Sekali tepuk langsung keluar uang? Semua cara-cara dilakukan dengan mudah dengan sekali sulap, harta segunung bisa diperoleh. Jika benar tentu ini adalah fakta yang sungguh memprihatinkan sekaligus menggelikan.

Pertanyaannya, apakah nenek moyang kita mengajarkan yang instan-instan? Rasa-rasanya tidak. Apa buktinya? Banyak browww.

Nenek moyang kita berasal dari masyarakat yang pekerja keras. Makanya terkenal dalam sebuah lagu bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Mereka harus mengarungi samudra yang luas dan dalam dengan ancaman badai yang bisa menenggelamkan kapal demi mencari kebutuhan hidup mereka.

Tak hanya seorang pelaut, karena nenek moyang kita juga adalah seorang pemburu, petani dan penggali. Mereka melakukan semua itu semata-mata ingin bertahan hidup. Bertahan dari lapar mereka harus bekerja, meskipun harus membuka lahan perkebunan atau hutan agar bisa bercocok tanam dengan risiko diterkam hewan buas. Mereka menggali sumur agar bisa mendapatkan air bersih, dan mereka menggali tanah dan batu sekedar membuat tempat berteduh.

Bahkan para Nabi pun tidak ada satupun yang menjalani kehidupan mereka dengan cara-cara yang instant. Karena mereka melalui beraneka cobaan, ujian dan tekanan. Mereka jarang tidur karena banyak mengalami ancaman pembunuhan dan tentu saja mengalami sejumlah peperangan agar bisa menjalankan misi sucinya. Tidak ada yang sekonyong-konyong koder agama-agama diterima umat manusia, lantaran para utusan Tuhan itu berjuang dengan harta dan nyawa mereka.

Ingat tidak, betapa Nabi Ibrahim a.s. harus rela dibakar oleh Raja Namrud meskipun Tuhan menolongnya dengan tubuhnya tidak mempan dibakar.  Nabi Musa yang mesti berjuang meskipun para penyihir dihadirkan oleh Firaun untuk menghentikan dakwahnya, dan begitu pula Nabi Muhammad SAW yang harus berhijrah dari satu kota ke kota lain karena mengalami tekanan dari musuh-musuhnya. Semua dilakukan dengan susah payah dan tetesan keringat bahkan air mata lantaran anggota keluarganya harus dibunuh dan dianiaya. Rela dilempar kotoran dan difitnah serta diancam pembunuhuan. Bahkan Bilal bin Rabah pun salah satu umat Islam yang awal memeluk Islam telah mengalami penyiksaan oleh bangsa Qurais.

Tak hanya para pesuruh Allah itu, karena para ulama yang mengembankan misi dakwah di Indonesia harus berhadapan dengan masyarakat yang menentang dakwahnya. Kompeni melawan mereka dengan senjata, dan banyak yang berakhir kematian, begitu pula masyarakat yang masih memegang keyakinan lama  mereka dengan aneka sihir agar dakwahnya dihentikan atau bahkan nyawa pendakwah itu harus berakhir secara tragis. Semua itu dilakukan demi misi suci dakwah yang hakekatnya merupakan amanat Tuhan, Allah SWT.

Lalu, apa keterkaitan dengan jaman sekarang? 

Ketika masyarakat tempo dulu harus bekerja keras demi menyambung nafas, ternyata era kekinian justru seperti berusaha mencari cara-cara yang instan untuk memperoleh kekayaan. Seperti kasus yang belum lama ini terkait penipuan berkedok penggandaan uang. Meskipun saya sempat takjub namun tidak percaya seratus persen lantaran kembali pada fitrah hidup manusia tidak ada yang instant di dunia ini. Karena semua harus diawali dengan kerja keras.

Dialah Kanjeng Dimas Taat Pribadi (bagus banget namanya yak?), seseorang yang memiliki padepokan dan santri mengaku mampu menggandakan uang. Dengan amat bangganya memamerkan aksi liciknya itu untuk mengelabui korbannya. Sedangkan para korbannya begitu mudah terperdaya hingga menyerahkan sejumlah uang sebagai mahar agar bisa digandakan. Tak pelak, karena aksi yang konyol ini ada ribuan orang yang tertipu hingga ratusan juta rupiah. Tak hanya masyarakat awam, karena para kaum intelek pun ada yang ketipu aksi Kanjeng ini.

Kerugian yang cukup fantastis, jika dihitung nilai uang hasil mahar itu berjumlah milyaran rupiah.

Sesuatu yang sulit dimengerti. Kog bisa ya masyarakat kita mudah ditipu? Begitu mudahnya kita tertipu oleh ucapan manis dan rayuan gombal serta penampilan yang necis.

Siapakah yang sebenarnya bisa disalahkan? Apakah si Kanjeng yang sebenarnya memakai cara-cara curang tipu menipu demi meraih keuntungan? Atau masyarakat sendiri yang begitu mudahnya mau menerima rayuan gombal hingga menyerahkan hartanya demi ambisi mendapatkan uang secara cepat?

Tentu saja semua salah. Si Kanjeng bersalah karena telah menipu dan merugikan orang lain. Dengan cara-cara magis meyakinkan semua korbannya agar percaya. Meskipun cara-cara tipu-tipu ini sebenarnya cara klasik. Ada yang mengaku sebagai dukun pengganda uang, paranormal pencari kekayaan, dukun penglaris, dan lain-lain kedok untuk menipu korbannya.

Masyarakat pun hakekatnya juga bersalah, karena membiarkan aksi kejahatan tipu-tipu ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa menaruh curiga. Bahkan lebih dari itu karena ambisi dan nafsu keduniawian yang membuat masyarakat terpedaya. Katanya masyarakat terpelajar tapi masih saja bisa ditipu oleh orang-orang yang ingin mengeruk kekayaan dengan cara yang batil.

Sifat masyarakat yang suka instan, munculnya generasi-generasi penipu dan masyarakat yang mudah dibodohi

Saya teringat salah satu tokoh masyarakat di kampung yang tiba-tiba mempercayai sebuah yayasan yang katanya mendapatkan warisan Soekarno. Yayasan itu bernama Yayasan Amalilah dan Yamisa. Yayasan yang tidak jelas keberadaannya itu telah memperdaya ribuan orang demi ingin mendapatkan warisan Soekarno mantan Presiden RI pertama.

Begitu banyak yang tertipu hingga jutaan rupiah dengan dalih akan mendapatkan kembaliannya berlipat-lipat jika saatnya uang itu diserahhkan. Janji-janji manis ditebar hingga ke penjuru perkampungan. Tak sedikit yang sadar telah tertipu hingga tanah pekarangannya digadaikan demi harta karun itu. Dan tak sedikit yang berujung di sel tahanan karena dilaporkan masyarakat dengan tuduhan penipuan ini.

Sampai sekarang kasus Yayasan Amalilah dan Yamisa ini tidak jelas keberadaannya. Apakah para tokoh mereka dihukum atau tidak. Yang jelas saat ini uang para pengikut sudah tidak jelas jungtrungnya.

Ada pula seseorang yang mengaku sebagai pembawa kabar gembira, dengan janji membayar mahar 7 jutaan akan mendapatkan puluhan juta. Banyak orang yang tertipu hingga tanah satu-satunya terjual. Penipunya kabur tapi masyarakatnya meratapi nasib karena harta bendanya raip dibawa penipu.

Ada juga seorang kerabat yang juga menjadi korban penipuan asuransi beras yang katanya dengan memberikan uang Rp 100.000, mereka akan mendapatkan beras 10 kg selama berbulan-bulan. Sesuatu yang konyol dan tidak masuk akal. Tapi sayangnya masih ada saja yang mau percaya dengan cara-cara curang dan licik ini.

Masyarakat begitu mudahnya mempercayai rayuan gombal tanpa menimbang logis atau tidaknya. Dengan dalih karena menggunakan ayat-ayat suci, seorang penipu acapkali memperdaya korbannya. Dan ternyata masyarakat Indonesia yang agamis begitu mudahnya mempercayai perkataan seseorang yang baru sebatas menghafal satu dua ayat dan hadist tapi berusaha menipu masyarakat awam ini.

Sudah pasti, kondisi ini disebut sebagai gangguan mental. Masyarakat begitu mudahnya mempercayai seseorang meskipun sebenarnya hendak menipu. Mereka begitu mudah terperdaya meskipun sudah berkali-kali mengalami penipuan. Korban yang tidak sedikit itu ternyata tidak membuka ruang berfikir bahwa hakekatnya tidak ada yang bisa diraih dengan mudah. Semua harus dilalui dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas.

Jika kita menganggap bahwa bangsa kita sudah merdeka, hakekatnya anggapan itu salah. Karena kita masih dijajah oleh kebodohan yang membuat bangsa ini selalu terpuruk dalam kemiskinan.

Apakah semua ini pertanda bahwa bangsa ini belum siap merdeka atau memang karakter kita yang mudah sekali mempercayai seseorang meskipun hakekatnya hendak menjadi korban penipuan selanjutnya? Entahlah.

Namun, kunci dijauhkan dari penipuan ini adalah menerima apa adanya. Bersyukur dengan apa yang dimiliki sekaligus berusaha memperoleh rezeki dengan cara-cara yang patut dan logis serta halal. Tidak memikirkan harta yang bukan haknya apalagi meminta bantuan makhluk gaib seperti jin, tuyul dan genderuwo demi memperoleh kekayaan. Karena kekayaan hakekatnya adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kaya.

Semoga saja kasus penipuan berkedok penggadaan uang ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Salam

Komentar