Kisah Sedih, Fenomena (Kejam) Ketika Berhutang




Hutang dan Fenomenanya yang Mengerikan

Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi, dan boleh jadi semua orang yang pernah membaca tulisan saya di blog ini merupakan sosok yang pernah menjadi penghutang, alias orang yang hari-harinya memikirkan bagaimana membayar atau melunasi hutangnya.

Selain pengalaman pribadi yang sebenarnya bukan hal baru adalah betapa banyak saudara kita yang setiap hari dikejar-kejar penagih hutang. Entah itu rentenir, dept collector, atau tuan takur yang ternyata sudah menjadi langganan hutang kita. Baik benar atau salah, kita sebagai masyarakat bawah sepertinya mendengar istilah hutang sudah tidak asing lagi. Karena seperti sebuah budaya, ketika kebutuhan sudah mentok, maka solusinya adalah "hutang". Padahal tidak ada rumus orang akan mengalami ketentraman jika masih menyimpan catatan hutang dalam buku diarynya.

Memiliki hutang adalah sebuah siksaan

Memang mudah untuk meminjam uang atau mencari uang "dadakan" itu. Cukup modal BPKB atau sertifikat tanah, maka uang yang diinginkan pasti ada di tangan. Tak harus menunggu lama untuk mendapatakan uang yang diinginkan, karena para juragan atau pemilik modal sudah menanti kita meminjam uang. Dengan risiko uang tak kembali asalkan barang agunan bisa dimiliki tentu tak jadi soal.

Pertama kali mengenal istilah utang adalah ketika kuliah dengan modal cupet dan kebetulan masih di-handle orang tua dan sedikit-sedikit membantu kerja serabutan, ternyata kita sudah memulai transaksi yang mencekik leher ini. Berawal dari kebutuhan kuliah yang mendesak dan dibutuhkan waktu yang pendek, akhirnya langkah-langkah cepat pun dilakukan. Seorang rentenir pun menjadi jawaban atas kebuntuan tadi.

Awalnya senang karena bisa dengan mudah mendapatkan uang yang diinginkan, tapi esoknya lagi kelimpungan karena harus membayar hutang pokok dan bunganya yang lebih dari 50 persen.

Bagamana bisa 50 persen? Bisa. jika kita minjamnya 1 juta, dan harus mengembalikan 1,5 juta kan sudah dibilang 50 persen. Masih mending jika hanya dihitung pokok plus bunga yang 50 persen itu, karena ada pula para rentenir yang menghitung bunganya tidak terbatas. Asalkan uang pokoknya tidak dibayar lunas, maka bunganya harus dibayar tiap bulan tanpa mengurangi uang pokok tadi. Solusi sementara selesai tapi di belakangnya si penghutang seperti dikejar-kejar hantu yang setiap hari harus mengganggu tidur. Makan tidak enak dan shalat pun jadi tidak khusuk.

Itulah fenomena hutang yang mencekik leher. Seperti yang dialami Ny. Mun (bukan nama sebenarnya) yang awalnya berhutang 2 juta, diapun harus membayar bunga hingga 10 juta karena uang pokoknya tidak segera dilunasi.

Urusan dengan rentenir akhirnya selesai. Ketika mendapatkan pekerjaan pun akhirnya berhutang lagi. Karena dorongan dari beberapa rekan dan karena kebutuhan akan kendaaraan serta membayar sejumlah tunggakan utang yang masih tersisa, akhirnya bank pun menjadi solusi. Masalah lama selesai dengan ditutupnya tunggakan, kendaraan terbeli tapi di bank data kita pun disita dengan kewajiban membayar hutang yang uangnya dipotong dari gaji. Alamat setiap bulan sisa gaji tinggal sedikit sedangkan kebutuhan selangit.

Beruntungnya, meskipun hidup masih dikejar oleh hutang tapi sedikit-sedikit dapat dibayarkan meski kadang waktu pembayarannyya agak terlambat. Yang penting kewajiban itu bisa lekas ditunaikan. Berterima kasih sudah dibantu dengan meminjamkan kita uang, maka sebaliknya kita harus juga membantu mereka mendapatkan uang mereka kembali. Meskipun pahit tapi itulah faktanya.

Tidak perlulah membicarakan hutang negara yang jumlahnya ribuan trilyun itu, karena memiliki hutang sendiri saja sudah pusing melunasinya.


Sebuah kesalahan jika mengandalkan hidup dari hutang

Ada sebuah kata bijak mengatakan "hidup sederhana lebih baik daripada kaya berhutang". Benar sekali. Sebaik-baik hidup adalah menjalani kehidupan yang sederhana daripada menumpuk hutang dan tidak mampu membayarnya. Sebab orang yang berhutang dan mereka tidak mau membayar maka pelakunya akan masuk neraka meskipun mereka mati syahid. Karena dosa-dosa sebab berhutang itu tidak akan diampuni sebelum hutangnya dibayarkan.

Dan yang lebih menyedihkan lagi siapapun yang berhutang maka mereka seperti budak dari orang yang memberinya hutang. Hidupnya menjadi terpenjara dan seperti berada dalam tekanan orang lain. Yang lebih mengerikan lagi kadang kehormatannya harus digadaikan.

Namun faktanya, banyak orang yang hidup mengandalkan hutang. Seperti misalnya membeli baju dengan hutang, sembako pun hutang. Bahkan kendaraan yang dipakai sehari-hari pun berasal dari hutang. Dapat dikatakan hidup kita sudah terlilit hutang.

Tapi anehnya meskipun hutang itu seperti menahan kita dari surgaNya, ternyata begitu bangganya kita berhutang. Seolah-olah umur kita bakalan panjang. Padahal tidak ada yang tahu sepanjang apakah umur kita nanti. Bagaimana jika kita mati ketika masih menyimpan hutang? Sungguh mengerikan.

Terbiasa dengan kemewahan yang hakekatnya semu demi mendapatkan pujian tapi nyawa dan amalan kita menggantung lantaran terhalangi oleh hutang yang tidak juga kita bayarkan.

Hidup sederhana selalu lebih baik daripada hidup dalam kemewahan tapi menyimpan hutang yang nantinya akan memasukkan kita ke dalam neraka. Atau lebih baik makan singkong nyata dari pada makan roti sebatas mimpi.

Semoga Allah SWT memberikan kemudahan pada kita untuk segera melunasi hutang dan kita terbebas dari lilitan hutang. aamiin

 “Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)

 Gambar: pinterest.com

Komentar