Beberapa hari ini kita begitu terseret ke dalam arus program legislasi
untuk memuluskan Rencana Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker atau Omnibus
Law). Ada banyak hal yang membuat banyak pihak mengalami pro dan kontra, antara
menyetujui RUU tersebut, atau justru menolaknya.
Di pihak yang mendukung tentu akan begitu antusias memberikan support atas
disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut, dengan alasan pada saat ini keberadaan
RUU tersebut sangat mendesak dan sangat dibutuhkan oleh calon pencari kerja.
Apalagi ekses pandemi covid-19 meninggalkan banyak persoalan terkait pemutusan
hubungan kerja (PHK), yang terjadi pada beberapa perusahaan nasional.
Karena PHK tersebut tentulah membutuhkan dukungan dari semua pihak agar di
tengah bencana covid-19 ini para pengangguran bisa menikmati kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan baru sebagai penyokong kehidupan mereka.
Sedangkan bagi yang menolak, dengan alasan RUU Cipta Kerja tersebut dianggap mendukung
pekerja asing. Padahal faktanya hanya berapa persen saja pekerja yang direkrut
dari luar negeri, sedangkan selebihnya semua lini perusahaan memperkerjaan
pekerja domestik.
Dan sebenarnya pekerja yang masuk ke tanah air merupakan ekses terbukanya
kran pekerjaan di seluruh negara dunia. Lihat saja berapa banyak tenaga kerja
Indonesia yang sudah bekerja bertahun-tahun di luar negeri? Banyak bukan?
Kondisi tersebut tentu saja akan bersinggungan dengan kepentingan sebuah
perusahaan asing tersebut, yaitu pada saat ini mereka pun membutuhkan banyak
pekerja dari negara lain untuk proses produksi di negaranya. Baik pekerja di
perusahaan manufaktur maupun pekerja yang diperkerjakan di rumah tangga.
Yang perlu dipahami bahwa saat ini jumlah pekerja dari Indonesia (TKW/TKI)
menurut BPS jumlahnya mencapai 276.553 orang, dan setiap tahun terus bertambah,
meskipun di era covid-19 ini jumlahnya ternyata menurun sejumlah 2,5%. (Kompas,28-4-2020)
Jumlah tersebut menyebar ke banyak negara, termasuk China, Jepang, Taiwan,
Hongkong dll. Mereka berasal dari berbagai penjuru tanah air mencari sesuap
nasi dan untuk mengubah nasib lantaran gaji yang lebih tinggi jika dinilai
dengan nilai rupiah atau nilai tukar dolar.
Bagaimana dengan jumlah pekerja asing di Indonesia, menurut data
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), jumlah tenaga asing yang sudah masuk di
Indonesia sebesar 98.902 orang
(kontan.co.id, 12-5-2020)
Jumlah tersebut masih jauh dari tenaga kerja Indonesia yang ada di
Indonesia. Jadi jika kita menganggap tenaga kerja asing sudah menguasai lahan
mencari uang di negeri sendiri, sepertinya patut dievaluasi lagi.
Berdemo dikala Pandemi Covid-19, efektifkah atau sebaliknya?
Sebagaimana terjadi beberapa hari ini banyak pihak yang menolak ditetapkan
RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) ini dengan alasan yang subyektif. Menurut pihak
yang kontra, bahwa penetapan RUU tersebut seakan-akan terburu-buru karena
tengah di masa pandemi covid-19.
Sayangnya pihak yang kontra tersebut justru melakukan aksi penolakan dengan
cara pengerahan massa-baik terorganisir maupun individual, yang ternyata justru
bisa mengundang masalah baru, yaitu bertambahnya cluster baru penyebaran
covid-19.
Sebagaimana dirilis berbagai media nasional, bahwa 25 Agustus 2020 bahwa
dengan adanya rencana disahkan undang-ndang Cipta Kerja, Priseden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ingin mengerahkan buruh dalam demo besar-besar
demi menolak disahkanknya RUU Cipta Kerja ini. Sebuah tindakan yang tidak tepat
di saat pandemi covid-19 saat ini.
Padahal kita tahu, DKI. Jakarta
masih menjadi kawasan penyebaran Covid-19 yang masih cukup memprihatinkan.
Apalagi para pendemo bisa saja datang dari kawasan yang saat ini masih menjadi
cluster atau wilayah penyebaran.
Dapat diduga, bahwa setelah aksi demo yang melibatkan banyak orang serta
melupakan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, justru para pendemo bisa
saja menjadi salah satu korbannya. Bahkan lebih bahaya lagi jika mereka
tertular di tempat demo dan kembali ke rumah masing-masing dengan status sebagai
orang tanpa gejala. Atau orang yang tertular virus tapi selama beberapa hari
tidak menunjukkan gejala penyakitnya.
Efek negatif pertama bisa ditebak, para pesertademo secara tidak langsung
membawa atau sebagai transmiter virus yang justru akan mengenai keluarga
sendiri. Baik orang tua maupun anak-anak.
Bolehlah mungkin merasa sehat dan baik-baik saja, tapi faktanya banyak
keluarga yang tidak tahu menahu persoalan demo tiba-tiba justru terjangkiti
virus ini.
Bagaimana dengan larangan berkumpul di tempat umum?
Sebagaimana dirilis Kompas, 23 Maret 2020, bahwa Kapolda Metro Jaya Irjen Nana
Sudjana mengatakan, orang-orang yang memaksa berkumpul di tengah wabah Covid-19
bisa saja dikenai sanksi pidana.
Sayangnya pada pada 26 Juni 2020, Kapolri Jenderal
Idham Aziz juga mencabut maklumat nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan
Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (
Covid-19) yang dikeluarkan pada Maret 2020. Padahal
penambahan korban covid-19 masih belum menunjukkan penurunan.
Pada akhirnya keputusan untuk
membatalkan larangan tersebut bisa berimbas pada pembentukan klaster baru bagi
penyebaran covid-19.
Ada
beberapa bentuk tindakan pengumpulan massa yang dimaksud dalam maklumat itu,
yaitu pertemuan sosial, budaya, keagamaan, seminar, kegiatan konser, festival,
resepsi keluarga, kegiatan olahraga dan kesenian, unjuk rasa, pawai, dan jasa
hiburan.
Dengan demikian telah jelas bahwa
hakekatnya penolakan RUU Cipta Kerja adalah tidak tepat karena justru
mempersulit dibukanya lapangan kerja baru, sedangkan saat ini banyak korban PHK
dan masyarakat umum masih membutuhkan pekerjaan bagi kehidupan mereka.
Ditambah lagi adanya demo besar-besaran
justru bisa menjadi sumber maut atas penyebaran covid-19, yang sampai sejauh
ini belum diketemukan obatnya.
Terlepas dari larangan atau tidak
terkait berkumpul masyarakat yang tentu saja akan menimbulkan kerumunan massa, jika
melihat kondisi pandemi saat ini selayaknya dihindari demi mencegah
terbentuknya klaster baru.
Melakukan gugatan melalui mekanisme
Makhkamah Konstitusi
Setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan hak-hak yang sama dalam hukum. Bagaimana mereka melakukan gugatan
pada sebuah rencana undang-undang yang hendak disahkan. Lantaran lembaga untuk
melakukan gugatan materi atas sebuah produk perundang-undangan ada dalam ranah
Mahkamah Konstitusi (MK).
Lembaga tersebut yang bisa menerima
setiap penolakan tersebut dan kemudian dikaji apakah RUU itu bisa disahkan atau justru dibatalkan.
Sehingga dengan menyampaikan gugatan
yang dirasa perlu, sebenarnya lebih tepat dibandingkan dengan pengerahan massa.
Risikonya adalah bisa munculnya kekerasan massa dan lebih berisiko lagi adanya
penularan covid-19.
Kita semua menyadari bahwa setiap produk
perundang-undangan selalu muncul pro dan kontra. Dan tentu saja lebih baik
menghindari hal-hal yang berisiko tersebut dengan menggunakan saluran institusi
yang lebih efektif demi menyalurkan aspirasi. Menghindari penyebaran virus yang
tentu saja semua orang tidak menghendakinya.
Salam
Komentar