Ketika Dua Kubu Melebur Jadi Satu

 Ketika Dua Kubu Melebur Jadi Satu

Gambar : Pasangan kontestan Pilpres 2019 (Sumber: Kompas.com)


Dunia perpolitikan di negeri +62 sepertinya tidak lepas dari fenomena yang mengitarinya. Sampai-sampai hampir setiap saat publik dibuat tercengang dengan pergerakan bidak catur yang dimainkan para politisi. Apakah ini sebuah kebetulan, coba-coba atau memang sudah lazim dalam dunia yang cukup menguras emosi para pendukungnya.


Sebagaimana publik melihat betapa panasnya aura Pilpres 2019 yang membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak merinding, jika masa-masa kampanye, pemungutan suara dan keputusan final siapa yang layak lolos di panggung kekuasaan. Dan benar, pergolakan di tingkat bawah ketika pengumuman hasil Pilpres diumumkan ternyata publik pun bergolak. Sampai-sampai ada gerakan massa pendukung kedua calon yang berusaha menyampaikan aspirasi dan protes atas fenomena Pilpres yang menurut sebagian pendukung dilaksanakan tidak fair.

   

Hingga endingnya adalah bentrokan massa dan ada beberapa orang yang harus mengalami kekerasan fisik oleh aparat karena ada gerakan yang dianggap menuggangi gerakan damai demonstrasi tersebut.


Beruntungnya, meskipun demonstrasi sempat terjadi bentrokan dan terlihat huru-hara, nyatanya publik masih bisa didinginkan suasananya, tidak sampai membuat kerusakan yang lebih frontal. Saya melihat konflik dua kubu yang melibatkan aparat keamanan tentu merupakan sebuah ekses dari proses demokrasi. Di saat aksi protes itu berjalan damai dan ternyata ada pihak yang menunggangi, maka akibatnya bisa ditebak, jika tidak dapat diredam maka efeknya bisa kepanjangan. Publik dan aparat keamanan bisa terjadi bentrokan yang lebih parah dan bahkan bisa chaos. Bayangkan saja jika aparat yang seharusnya melindungin dan mengayomi rakyat ternyata harus adu fisik dengan rakyat yang diayomi dan dilindungi, tentu menjadi preseden buruk bagi penegakan demokrasi di negeri ini.


Konflik partai politik, tokoh yang bertanding, dan pendukung adalah satu bab yang secara alamiah terbentuk, sebagai manifestasi dari perjalanan panjang negeri ini yang usianya lebih dari 75 tahun. Negeri ini sudah bisa dibilang sepuh atau tua, tapi masih tua bagian kulitnya, sedangkan di dalamnya masih perlu digembleng menjadi lebih dewasa.


Bersatunya kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi adalah dinamika politik yang arif


Memang benar, bahwa politik itu penuh dengan dinamika, intrik dan fakta-fakta yang sangat menggelikan. Bagi sosok yang menciptakan dan pemain dalam panggung, langkah mereka sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Di saat berkompetisi, mereka adalah lawan yang berat. dengan segenap tool mereka kerahkan demi memenangkan kompetisi. Sedangkan bagi publik yang hanya menonton, percaturan politik tentu menjadi sesuatu yang amat rumit, bikin sensitif dan kadang membuat tekanan jantung.

 

Kenapa? Ketika awalnya begitu terbelah pilihan dan komitmen mendukung salah satu pihak, ternyata kondisi berubah 180 derajat dengan saling dekatnya para kompetitor. Fenomena yang mengejutkan sepertu sengatan listrik 220 VA ini tentu membuat publik terkesima dan penuh tanda tanya, "mengapa mereka bisa bergabung? Mengapa bisa berbaur? Kog bisa ya saling rangkulan seolah-olah tidak pernah berperang politik?


Jawabannya adalah inilah fakta atau realitas politik yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Dalam dunia politik semuanya akan cepat berubah dan berganti arah ketika kepentingannya bisa diakomodir. Entah, meskipun ada yang menganggap ini sesuatu yang tidak lazim, faktanya di dunia manapun sebuah sikap politik adalah selalu dinamis. TIdak ada politik yang kaku sampai mengeluarkan urat leher demi kepentingan yang bersifat individual dan kelompok.


Bertemunya Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, adalah sebuah fenomena yang menarik dan lumrah dalam dinamikan politik. Apalagi tujuan kedua kubu sebenarnya sama, ingin menjaga marwah bangsa dan membangunnya menjadi negara yang  bisa setara dengan bangsa lain di dunia.


Jika cita-cita politik adalah sama-sama ingin membangun bangsa dan menjaga nilai-nilai Pancasila, mengapa perseteruan harus dipendam lama? Bukankah dengan bersatu dan saling merangkul akan tercipta harmoninasi di tingkat grassroot. Masyarakat akan melihat kedua kubu semakin akur dan tidak saling bertempur.


Dan semestinya, jika para petinggi bisa akur dan bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan bangsa yang sangat rumit, mengapa arus bawah tidak ikut senang dengan fenomena yang unik ini?


Bukankan dalam politik itu dikenal dengan istilah kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi kawan? Tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada adalah kepentingan. Dan yang perlu dicatat, jika kepentingan mereka adalah untuk menjaga dan membangun marwah bangsa, tentu pilihan akhir adalah berkolaborasi demi membangun bumi pertiwi. 


Jika antara anjing dan kucing yang katanya musuh abadi saja bisa bersatu, mengapa manusia dengan manusia lainnya yang berakal ini tidak bisa menyatu, seperti air dan gula, atau gula dan kopi. Meskipun di sana selalu saja ada yang terus dianggap paling berjasa, antara air, gula, dan kopi. Meskipun ketiganya berbeda, jika salah satunya tidak ada, maka esensinya adalah hampa.


Ya sudah, gitu aja. Mari nyeruput kopi manis sambil makan singkong goreng.


Salam damai

Komentar