Memory 2020, Dari Covid-19, Konflik Agama Sampai Kasus Korupsi

 Memory 2020, Dari Covid-19, Konflik Agama Sampai Kasus Korupsi


Dua hari sudah kita meninggalkan tahun penuh fenomena dan warna. Selayaknya tahun-tahun lain yang juga telah dilewati bersama, ternyata menyisakan memory yang juga menguras emosi kita.


Sungguh, meskipun kita hendak mengabaikan memori tersebut, nyatanya sampai beberapa tahun kemudian, setiap detik dan moment begitu sangat memberikan makna, baik makna positif maupun negatif. 


Yang pasti, terlepas ada makna positif dan negatifnya, hendaklah selalu menjadi bahan evaluasi dan renungan betapa setiap kejadian dalam kehidupan ini memiliki hikmah tersendiri.


Berbincang tentang Covid-19, sebuah realita virus yang bukan abal-abal.


Pernahkah Anda berpikir bahwa muncul isu yang dihembuskan oleh banyak orang terkait sebuah serangan virus? Isu tersebut begitu massif disebarkan oleh banyak orang terkait keberadaan virus. Di mana isu yang berkembang adalah ada yang pro dan kontra. Ada isu yang mendukung informasi sebaran virus yang sudah merenggut banyak jiwa ini. Begitu pula begitu massifnya isu yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu, bahwa virus ini hanyalah bualan semata. Bahkan sampai-sampai mereka yang menyangsikan kebenaran adanya virus tersebut menawarkan diri untuk ditulari virus ini.

 

Dua fenomena sebaran isu yang bertolak belakang ini tentu memancing banyak argumen atau pendapat. Antara percaya dan tidak. Antara ingin melihat langsung sosok yang terpapar dan siapa yang kebal virus. 


Bahkan, karena penolakan untuk mempercayai adanya virus tersebut di sambut dengan penolakan pemberian vaksin pada si pelaku. Padahal fakta-fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa virus ini amatlah nyata dan sudah merenggut banyak korban jiwa.


Terlepas adanya informasi yang menyesatkan terkait oknum rumah sakit yang memalsukan kondisi pasien, seharusnya informasi yang sudah valid tentang keberadaan virus tetap ditanggapi dengan positif. Jika informasi ini sudah dianggap positif, maka mau tidak mau, dengan segala macam cara berusaha menghindari serangan virus ini. Baik dengan 3 M (Mencuci tangan dengan sabun, Menjauhi kerumunan/Menjaga jarak, dan Memakai masker), pun diiringi dengan doa semoga virus ini segera berlalu dan aktivitas bisa produktif lagi seperti semula.


Sayangnya, karena ulah oknum yang tidak mempercayai adanya virus ini, akibatnya virus inipun sulit dibendung. Kita meyakini di 2020 sebaran virus sudah berhenti, karena mematuhi protokol kesehatan. Faktanya sampai tahun berganti, virus ini belum juga sirna. Publik dibuat bingung mengapa virus ini tidak juga berhenti dan anak-anak sekolah tidak juga bisa beraktivitas secara normal. Itu semua karena merasa kebal dan tidak mempercayai informasi apapun terkait pandemik Covid-19.


Coba saja, jika setiap orang memiliki persepsi yang sama untuk mencegah penularan virus dan mengatasi persoalan penduduk yang mengiringi akibat persoalan virus ini, tentu masalah tidak berlarut-larut.


Persepsi terhadap Covid-19 sejak lama sudah terbelah. Kepercayaan publik terkait informasi yang berbeda pun seperti terkoyak karena banyak oknum yang memunculkan opini menyesatkan terkait virus ini. Bahkan ketika kita hendak mendapatkan vaksin saja kita sudah berbeda pandangan, antara siapa yang divaksin dan keandalan vaksin. 


Padahal, beberapa tahun silam pun kita sudah berdebat terkait banyak vaksin terkait halal dan haramnya, dan berdebat akan dampak negatif dari vaksin tersebut. 


Itu semua adalah situasi keterbelahan publik terkait pandemi Covid-19. 


2020 adalah tahun kelam, karena di tahun ini banyak jatuh korban jiwa dari banyak kalangan. Dan 2020 adalah tahun di mana publik seperti dibuat bingung terkait informasi yang beredar di masyarakat.


Semoga saja di 2020 menjadi pelajaran bahwa kita harus kembali bersatu dalam persepsi bahwa virus ini harus dilawan dan bukan malah menganggapnya tidak ada atau sebagai kawan.


Munculnya konflik agama, bukti kita masih belum dewasa


Sejak mula kita lahir di bumi pertiwi, kita sudah diperkenalkan dengan aneka agama, tak perlu kita mengurai lagi agama apa yang sudah ada di negeri ini, karena sejarah sudah menceritakan bahwa kita hidup di tengah keberagaman agama.


Sayangnya, meskipun kita sudah memahami bahwa saudara kita berbeda agama, faktanya masih terus saja timbul pertikaian dan konflik antar agama. Bahkan tidak hanya dengan agama yang berbeda, dengan yang seagama saja masih berdebat mana yang paling benar dan paling pantas masuk surga. Padahal setiap hamba hanya diperintahkan untuk beribadah secara ikhlas dan memasrahkan semuanya kepada Sang Khaliq dengan apa yang diyakininya. Jikalau keyakinan sudah dianggap benar, maka yakini saja apa yang sudah dianggap benar tanpa melukai keyakinan yang berbeda. 


Jika setiap individu atau kelompok merasa tidak mau diganggu, maka sebaiknya menjaga kelompok masing-masing dan tidak saling mengganggu. Meskipun diwajibkan mengajak, toh cara mengajak juga jangan memaksa. Seperti apa yang diwahyukan Tuhan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.


Jika setiap orang merasa sudah sesuai apa yang diyakininya, maka sebaiknya berjalan saja sesuai rel yang dipahami tanpa melintasi jalan kendaraan lain, apalagi merusak keyakinan orang tanpa memahami apa yang dipahami orang lain.


Kedewasaan kita dalam agama hakekatnya saling memahami potensi dari sebuah perbedaan sudut pandang dari agama-agama. Dan jika sudut pandang itu dipaksa untuk sama, maka konflik akan terjadi.


Korupsi oh korupsi, sungguh menyayat hati


2020 masih menyisakan banyak tanya, mengapa virus ini tidak juga musnah, dan mengapa masih ada saja yang tega "mengembat" uang negara. Apalagi uang itu dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan masyarakat di tengah pandemi. Padahal, dalam situasi yang tidak menentu ini, seharusnya banyak pihak  yang "waras" betapa psikis masyarakat tengah dalam situasi yang darurat.


Psikis yang cukup darurat itu disebabkan karena kondisi yang menjerat karena terdampak covid-19,  seperti PHK, Kesulitan mencari penghidupan dan kejenuhan karena terlalu lama di rumah.


Sayangnya di tengah konflik psikis masyarakat, masih ada saja yang mau mengambil keuntungan dari persoalan yang ada. 


Reaksi apa yang kemudian muncul karena aksi pihak curang ini? Tentu menanggapinya dengan beragam tanya, mengapa tega ya dana sosial dikorupsi? Dan kenapa bisa menyelam sambil minum air di tengah-tengah pandemi ini?


Situasi yang sulit ini ternyata tidak menyadarkan kita betapa saat ini kondisinya tengah darurat. Atau karena menganggap bahwa saat inilah saat yang tepat untuk memanfaatkan situasi psikis masyarakat yang tengah panik karena pandemi. Di saat masyarat bingung dengan keadaan, ternyata ada pihak yang mengambil keuntungan.


Sungguh 2020 adalah tahun yang penuh fenomena yang menguras energi kita. Ada banyak asa yang terkubur dan hancur karena pandemi yang tak juga berakhir, dan banyak pihak yang tertawa di dalam musibah ini. Sungguh miris.


Jika kita hendak menertawai apa yang terjadi, tentu bukanlah sesuatu yang bijak. Tapi berusaha mengintrospeksi dan berkaca diri adalah langkah paling tepat agar tidak turut serta dalam arus kegelian ini.


Biarlah 2020 tahun penuh musibah, tapi 2021 ini adalah tahun penuh harapan. Semoga di tahun ini semua yang direncanakan dapat direalisasikan dengan baik.


Seperti kemarin, ketika di tahun paceklik kita sulit menikmati bubur ayam, semoga di tahun ini, kita masih bisa menikmati singkong goreng dengan kopi kental manis.


Salam

Komentar