Cerpen: Sahabat Yang Berbeda Jalan Pengabdian

 #Cerpen, Fiksi

Sahabat Yang Berbeda Jalan Pengadian

 


Pagi ini begitu sejuk untuk dirasakan. Angin yang berhembus lembut, menerpa kulit setiap orang di sana. Di sebuah rumah berdinding bambu dengan wujud yang sederhana itu nampak dua orang tengah duduk santai sambil menikmati kopi.

Rumah yang dipenuhi oleh ornamen adat jawa itu nampak sangat terawat. Meskipun sebagian mulai lapuk oleh rayap yang nakal, nyatanya karena ketelatenan pemiliknya, nampak itu tetap terlihat menarik. Memancing siapapun untuk melihatnya karena penasaran.

Di depannya beberapa bunga nampak subur terawat. Bunga mawar yang terus mekar, seperti menyiratkan betapa rumah tersebut selalu memekarkan diri, menghiaskan diri dengan keindahannya. Sama seperti penghuninya yang selalu saja membuat orang-orang di sekitarnya kagum karena kesederhanaannya.

Mereka adalah Amir, seperti orang-orang menyebut namanya kala memanggil. Ia ialah seorang guru ngaji di kampungnya. Setiap sore hari kakinya selalu melangkah ke mushala kecil. Di sana anak-anak sudah menanti untuk belajar abata dari sang guru. Jika soreha hari, anak-anak sudah menanti kehadirannya dengan sabar. Ada banyak senyum yang memancar di sana.

“Mas Amir lagi ngapain to? Ada sosok yang di sisi jalan depan rumah itu tiba-tiba menegur.  Laki-laki itu mengenakan setelan kaos dan celana panjang warna hitam.

“Biasalah, duduk-duduk sambil minum kopi.” Jawabnya sederhana.

“Mau kemana? Kog seperti terburu-buru? tanya Amir lagi.

“Sini lho mas, ngopi bareng kita. Mantap  pagi-pagi ngopi. Ajak Amir pada pria itu. Pria itu adalah Maman, temannya sedesa yang pernah aktif membangun majelis taklim di desanya. Sayangnya beberapa bulan terakhir si Maman mundur dari kepengurusan. Kurang jelas apa masalahnya. Tapi di akhir tugasnya itu Maman memang pernah berdebat soal negeri khilafah. Maman bersikukuh bahwa Indonesia adalah negara yang tidak Islami. Bahkan menurut Maman, sudah tidak layak diikuti.

Mamanpun mengatakan bahwa saat ini bukan untuk banyak teori tentang agama, tapi  mengembankan tugas sucinya dalam berjihad. Nah, pada saat itulah antara Amir dan Maman terjadi percekcokan. Puncaknya mereka pecah kongsi dan kini Maman tidak mau lagi mau mengurus majelis taklim.

“Makasih, Mas? Aku buru-buru mau ke tempat Pamanku. Katanya beliau sakit. Maman menolak ajakan Amir karena memang ada kepentingan.

“Mas, sabar dulu. Saya pingin ngobrol sebentar dengan mas Maman. Dah lama kita gak ketemu kan? Amir kembali meminta Maman untuk mampir sekedar ngobrol sesuatu.

“Waduh, gimana ya? Ya udah, sebentar saja ya? Nampak Maman agak ragu mengiyakan ajakan Amir, tapi karena mereka berteman yang cukup lama, akhirnya Maman pun mengiyakan meskipun sedikit berat.

“Gini lho Mas, aku penasaran sama sampeyan (anda) kenapa sih masih mau ngajar ngaji lagi? Tanya seseorang yang lewat di depan rumahnya. Raut wajah Amir menunjukkan bahwa pikirannya penuh tanda tanya, siapa sosok yang tiba-tiba bertanya itu.

“Maaf, Mas, saya tidak bisa menceritakan di sini. Ada kepentingan yang beda anara saya dan njenengan (anda)

“Ya sudah, saya nggak nanya lagi, wong itu urusan sampeyan. Oh ya, kitakan mau acara tujuh belasan, kira-kira Mas bisa nggak ikutan jadi panitia HUT RI ke-75 kita?” Tanya Amir serius.

“Maaf Mas, aku nggak bisa. Bukan apa-apa, besok saya harus pergi ke Surabaya. Di sana ada acara penting. Jadi kayaknya aku nggak bisa.” Maman menjelaskan.

Sesaat kemudian, segelas kopi panas sudah tersedia di meja di depan mereka. Adik yang dari tadi memegang gitar tua itu berinisiatif membuatkan kopi. Memang dia rajin dan tidak suka disuruh-suruh punya inisiatif melayani tamu. Ya meskipun hanya sekedar minuman kopi.

“Silakan Mas diminum!” Kata sang adik mempersilakan sang tamu menikmati kopi panasnya.

“Iya dik, matur nuwon ya!  Masih panas kok. Nanti kalau sudah hangat pasti saya minum.” Kata Maman sambil tersenyum.

“Saya minta maaf, kalau kemarin-kemarin ribut sama sampeyan. Karena secara prinsip pandangan sampeyan itu keliru. Maaf bukan keliru, tapi kurang tepat lho menurutku. Kita kan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, kenapa Mas Maman memilih ide khilafah? Amir kembali melanjutkan obrolannya. Sambil mulutnya meminum sedikit-sedikit kopi yang ada di depannya. Asap yang mengepul dari kopi panas itu sudah mulai tidak terlihat.

“Saya berkeyakinan bahwa Pancasila kita sudah tepat dan tidak bisa dilawankan dengan Islam. Lihat saja  dalam sila-sila Pancasila, apa yang diperintahkan dalam agama juga sudah ada di sana.” Papar Amir lagi. Nampak Maman hanya memandangi Amir sedangkan tangannya asik memilin janggutnya yang hanya lima helai rambut. Kepalanya memanggut-manggut.

“Sudahlah mas, kita gak usah berdebat lagi. Saya sudah capek menjelaskan prinsip saya. Intinya negeri kita harus berbentuk khilafah. Titik. Maaf saya permisi! Nampak wajah Maman sedikit memerah. Ada hal yang tidak ia suka dari percakapan itu. Entahlah apa karena perbedaan pandangan dan keras hatinya Maman yang selalu mengatakan bahwa Pancasila tidak tepat bagi Islam. Sedangkan menurut Amir, Islam sudah sesuai dengan Pancasila. Pancasila adalah dasar bernegara, sedangkan rakyatnya yang harus bisa mengamalkannya secara murni dan konsekuen.

Maman beranjak pergi, sedangkan kopi yang dihidangkan masih menyisakan tiga perempat gelas. Hanya sedikit yang diminum Maman.

“Mas, kenapa dia begitu? Tanya si adik yang dari tadi asik dengan tangannya yang tengah memainkan gitar tua.

“Nggak tahu juga ya. Semenjak dia ikut organisasi yang gak dikenali itu, tiba-tiba dia berubah radikal. Aku sebagai temannya hanya bisa mengingatkan. Dulu dia sangat rajin ke masjid dan berjamaah. Ikut mengurus majelis taklim sama-sama dengan Mas. Tetapi setelah beberapa bulan nggak ketemu, sikap dia berubah 180 derajat. Aku bingung gimana menyadarkannya. Padahal pak Kyai saja sudah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil yang kuat, tapi masih saja pahamnya tidak berubah.” Amir kembali menyeruput kopinya yang mulai dingin.

Seminggu kemudian ...

“Mas, aku tadi malam dengar suara pengumuman. Pengumuman orang meninggal kayaknya.” Tanya sang Adik penasaran.

Kala itu adik dan kakak itu tengah membersihkan halaman dair rumput. Memang setiap Jumat mereka bertugas bersih-bersih halaman. Makanya halaman mereka begitu terawat. Tak ada satupun sampah dan rumput yang tumbuh di sana. Ada rumput yang dibiarkan hidup, yaitu rumput Jepang. Rumput yang sengaja ditanam untuk menghiasi rumah sederhana mereka.

Seseorang tiba-tiba mengowes sepeda dengan agak cepat. Tiba-tiba berhenti di hadapan mereka.

“Mas, kok nggak layat (takziyah)?” Tanya pria itu dengan suara cepat.

“Emang siapa yang meninggal? Tanya Amir.

“Pengurus majelis taklim yang dulu mas,  Mas Maman itu lho. Yang sudah lama nggak ke masjid lagi.” Terakhir ketemu seminggu lalu katanya dia mau ke Surabaya. Katanya ada pertemuan penting.Ndilalah pagi ini ada pengumuman katanya beliau meninggal.” Jelasnya.

Seketika itu, ia pun masuk ke dalam rumah untuk mandi dan berencana bertakziah. Nggak nyangka hidup Maman begitu cepat. Seketika itu matanya tertarik pada tayangan televisi. Sebuah runing teks nampak di layar tvnya menyiarkan sekilas berita. Isinya “Telah tewas tertembak pasukan Datasemen 88. Seseorang berinisial Ujang, Alias Umar Alias Maman. Korban tertembak di bagian dada karena melawan petugas ketika hendak ditangkap di perumahan elit di kawasan Jalan Dr. Sutomo, Surabaya.”

Seketika itu hatiku berdegub kencang. Mengamati tayangan berita dan running text yang begitu cepat berganti dengan berita lain. Pikiranku tiba-tiba tertuju pada sahabatku Maman yang kini diketahui telah tewas. 

“Apakah Maman temanku itu salah satu korbannya?" Tanya Amir dalam hati.

Seketika itu dia mengelus dada, jika benar berita itu, sungguh dugaan rasa takutnya Amir pada temannya sudah terbukti bahwa dia salah memilih jalan dalam bernegara.

“Walah Maman-maman, kok kamu ngeyel toh? Ya Allah, Semoga saja arwahnya diterima di sisi-Mu. Aamiin.”

Tamat

 

 

Komentar