Guru Kompeten adalah Guru Dermawan Ilmu


Ilustrasi seorang guru sedang mengajar di depan murid-muridnya (dokumen pribadi)


Guru Kompeten adalah Guru Dermawan Ilmu

Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag.



Pernahkah Anda membandingkan antara guru masa kini dan guru masa lampau? Atau sekedar ingin mengamati perkembangan peradaban pendidikan di era daun dengan internet saat ini? 


Jawabannya adalah ketulusan berbagi. Meskipun tidak bisa juga menjustifikasi bahwa guru lama lebih baik dan guru sekarang kurang baik. Karena dulu dan sekarang pun tergantung personalnya. Baik dan enggak adalah karakter.


Memang sih perubahan zaman dan fenomena yang melingkupinya akan selalu sama dengan yang kita alami sendiri, sebab karena minimnya pengetahuan kita akan kondisi masyarakatnya.


Sama dengan pemahaman kita bagaimana seorang pendidik yang menurut banyak orang dianggap sosok yang gak terlalu butuh sanjungan, penghargaan yang bersifat klise atau pangkat yang hanya sebagai penghias pundaknya.


Ternyata pendapat itu bisa sejalan dengan apa yang kita alami sendiri. Seseorang yang seharusnya selalu memberikan secercah cahaya kegelapan bagi orang-orang di sekitarnya ternyata banyak yang eman-eman dan menilai segalanya hanya dengan materi. Uang masih menjadi tolak ukur penghargaan atas prestasinya.


Kenapa orang berkompeten harus dermawan ilmu dan gak melulu mengejar materi? Kenapa pula keterampilan dan kemampuannya seolah-seolah barang antik dan mahal yang harus disembunyikan dan dinikmati sendiri meskipun seharusnya semua pengetahuan semestinya dibagi secara free? Bukan justru menumpuk-numpuk pengetahuan, menyimpannya dalam karya-karya penelitian, tapi kosong kebermanfaatannya.


Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut kita urai saja satu persatu ya.


Kenapa orang kompeten harus dermawan ilmu?


Jawabannya semakin ilmu itu dibagi, maka ilmunya pun akan bertambah. Bukan justru semakin habis. Selayaknya pisau kalau diasah akan semakin tajam. Beda kalau disimpan, tentu akan berkarat.


Faktanya semakin tinggi ilmu seseorang tidak menjamin pula kebermanfaatannya. Banyak yang berilmu justru menyimpan ilmunya sendiri tanpa membagi pada siapa pun.


 Adakalanya cenderung protektif dan seolah-olah hanya sosok yang dianggap kompeten inilah yang harus mengetahui segala-galanya. 


Ironisnya jika ingin berbagi, banyak pula yang harus berbiaya mahal. Masih beruntung membagi meskipun tidak gratis. Sayangnya sudah tidak gratis, ilmunya pun hanya setengahnya.


Tidak salah memang yang beranggapan bahwa ilmu itu mahal. Toh, memang mencari ilmu juga waktunya lama dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tapi memiliki prinsip segalanya harus memakai uang juga saya kira kurang patut. Gak haram, tapi menurut kaca mata etika sangat kebangetan.


Dengan kata lain, untuk apa memiliki banyak pengetahuan, jika hanya milik sendiri dan dikonsumsi sendiri. Padahal ilmu pun adalah amanah yang harus ditebarkan ke khalayak. Itu menurut kacamata agama.


Kenapa pula hasil penelitian tidak berdaya guna?


Suatu ketika saya dapati sosok yang memiliki segudang pengalaman penelitian dan lomba guru berprestasi, sayangnya ketika ditanya hasil penelitian dan bagaimana mengaplikasikannya justru jawabannya negatif. Seolah-olah pengalaman itu mahal dan gak semudah itu kita membaginya. Padahal sebuah hasil penelitian sepatutnya bermanfaat pula. 


Kita memang lelah meneliti, namun kalau semua dinilai dengan materi, apa bedanya anda dengan berdagang ilmu. Semakin bagus penelitian, semakin layak dinilai mahal. Semakin bisa dipatenkan, semakin sedikit yang bisa menikmatinya.


Semua diasosiasikan ke prinsip dagang. Kalau mau dapat ilmu, maka kamu harus membayar mahal. Kalau ingin pendidikan bermutu, bayarannya juga harus gede. Bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya.


Ada juga yang berprinsip, kalau mau mendapatkan ilmu, maharnya juga besar. Sampai-sampai orang lain sulit memetik buah ilmunya itu. 


Karya yang lelah dibuat hanya tersimpan di otak pemiliknya, bertumpuk-tumpuk di gudang dan dinilai sebagai aset berharga yang bisa membuat kaya. 


Uang lagi yang menjadi visi dan misi kehidupannya. Sebuah ironi bukan?


Komentar

My Youtube Channel