Sampah di sekitar kita (pikiran-rakyat.com) |
Cerpen: Wajah Kotoran Kita
Penulis: M. Ali Amiruddin
Pagi ini begitu cerahnya. Sang surya tersenyum ramah,
membagikan kehangatan pada semua yang berlalu-lalang, tidak hanya manusia yang
begitu bersemangat menikmati sejuknya pagi ini, ternak pun merasakan hal yang
sama, “alhamdulillah aku bisa menikmati rumput nan hijau di pagi ini. Bisa mengganjal
perutku yang kosong.” Para sapi seolah-olah mengungkapkan segenap rasa bahagia,
lantaran rerumputan di pemangatan awah itu masih bebas bertumbuh di sana.
Rumput yang berpelukan dengan sisa-sisa
batang padi yang memang ditinggalkan sejengkal dari tanah, ternyata menumbuhkan
tunas menghijau yang menggoda para peternak dan sapi-sapinya.
Segerombolan sapi asik menapak kaki di
jalanan desaku. Jalanan yang berwarna gelap karena dilapisi aspal itu nampak
ramai dengan sapi yang hendak menuju
tempat pemancangan. Sedangkan di depannya beberapa pemilik sapi menuntun di
depannya, sedangkan para gudel (anakan sapi) beriringan di belakang induknya.
Ternak-ternak mulai menggeliat dan menuju tempat ia
dipancangkan. Para pemilik ternak asik memegang tambang besar itu menuju ke
salah satu petak sawah. Hijaunya rerumputan di sana memancing sapi-sapi untuk
menikmati surga di sana. Surga bagi sapi dan bagi pemiliknya.
Ujang melangkah penuh
semangat menuntun sapi-sapinya, senyumnya yang sumringah seolah-olah
menunjukkan betapa pagi ini sungguh membahagiakan.
Dalam suasana cerah
itu, aku sengaja berlari-lari kecil di sepanjang jalan desa.
Pagi itu memang belum ada yang berlari-lari kecil sepertiku. Hanya pengendara
sepeda yang sepertinya menikmati olahraganya. Peluh sedikit demi sedikit
membasahi kaos yang aku kenakan.
Napas masih memburu dan tubuh ini mulai
merasa segar.
Sebenarnya aku berharap ada yang juga berlari,
ya anggap saja ada teman ngobrol di jalanan, sambil menikmati indahnya
persawahan di sana. Meskipun sawah-sawah sudah tidak ada lagi hamparan padi
lantaran panen, paling tidak junjungan pematang-pematan sawah ini menambah
kesan indah dengan berlatar belakang pepohonan nan hijau.
Tak sengaja mataku melihat wanita berusia
senja yang membuang sampah ke ledeng. Tanpa rasa bersalah, dia melemparkan
begitu saja sisa-sisa dapur bercampur dengan plastik wadah makanan. Pemandangan
yang sungguh tidak nyaman untuk dilihat. Kudekati wanita itu.
“Maaf, Nek. Kenapa membuang sampah di
ledeng? Tanyaku sambil melihat sang nenek membawa wadah yang tadi untuk membawa
sampah.
“Nenek apa memang nggak ada yang
mengingatkan, kalau sampah itu merusak
lingkungan?” Mataku masih menatap si nenek dengan tajam. Sedangkan wanita itu
memicingkan mata. Wajahnya menampakkan dirinya yang tak mau dilarang-larang. Ia
tak mau diusik.
“Kamu tahu apa, kog nglarang-larang nenek?
Kamu siapa sih sok kayak pejabat aja.” Nenek berbicara ketus.
“Waduh, Nek. Kalau begini caranya bisa banjir,
nih? Gumamku. Wajah nenek masih terlihat marah lantaran aku ingatkan.
“Nek, akibat sampah yang nenek buang itu
akan mengotori air kita. Saluran di bawah lama-lama tersumbat. Dan akibatnya
nenek kan juga tahu??” Kataku sambil mengingatkan, mungkin saja sang nenek
sudah agak berkurang ingatannya. Maklum usianya juga mulai uzur.
Entah mengapa, sang nenek justru berpaling
dariku pergi begitu saja. Aku heran, kenapa kebiasaan jelek ini bisa dilakukan.
Apa memang nenek ini terbiasa membuang
sampah sembarangan? Tidak tahu pasti. Tapi banyak orang yang aku temui memiliki
kebiasaan buruk dan tak layak ditiru.
Aku kembali meneruskan olahraga pagi ini,
hingga beberapa menit berlalu, tubuh sudah bermandikan peluh. Tak terasa rasa
lelah melanda. Aku kembali ke rumah dengan tubuh yang basah. Tapi, nggak
apa-apa, bagiku olahraga ini menyenangkan. Meskipun tadi nampak membuat aku
kecewa. Seorang nenek yang seharusnya memberi teladan yang baik, nyatanya
sikapnya tidak layak ditiru.
Kulangkahkan kaki perlahan. Aku lihat
seonggok berambut ada di sisi tembok pagar tetanggaku. Ku pungut dan kumasukkan
ke dalam polybag tanaman obat di sana. Ada kunyit, kencur dan jahe. Ada pula
lengkuas yang juga tumbuh lebat di sana. Ambil segenggam demi genggam, ku isi
polybag itu agar tanaman-tanaman yang aku pelihara menjadi lebih subur.
“Sungguh nyaman suasana pagi ini,” kataku
sambil menikmati kudapan jajanan di pagi hari selepas melemaskan otot-otot yang
tegang karena kelamaan duduk. Kopi susu masih teronggok di meja tamu yang isinya
tidak sedikit. Kutegguk dan kembali aku lanjutkan kegiatan di pagi ini.
“Mau angon pak?” tanyaku.
“Iya, Pak.” Jawab penuntun sapi itu dengan
santai sambil tangannya tetap menuntut sapi-sapinya. Ia tersenyum sekedarnya.
Tak seberapa lama, tiba-tiba beberapa sampinya
mengeluarkan kotoran yang baunya cukup menyengat dan berceceran di jalanan yang
aku lalui yang mengganggu orang-orang yang hendak melewati jalanan itu. Segenap
mata tertarik untuk mengamati pemandangan yang tidak menyenangkan itu.
“Pak, sapinya membuang kotoran sembarangan
ya? Tanyaku sambil tertawa ngekek.
“La iya to, Pak, namanya sapi yang
sembarangan. Kalau sapi bisa buang air di toilet, tentu bukan sapi lagi tapi
manusia.”
“Tapi banyak juga manusia yang membuang
kotoran di jalanan ya, Pak? Sampah-sampah yang seharusnya di buang di tempat
sampah, ternyata dibuang diselokan, jalanan, di taman-taman dan di mana
menemukan tempat yang dianggap layak untuk membuang kotoran. Padahal tempat itu
akan penuh dengan sampah dan mengganggu pemandangan. Selain itu kan pasti
mengganggu kesehatan karena akan membusuk dan menjadi tempat hinggap
lalat-lalat.”
Mpok Ijem
itu kalau membuang sampah malah di ledeng. Padahal kita tahu nantinya
sampah akan menyumbat salurannya. Saya bisa membayangkan kalau sampah itu menumpuk,
maka saluran bagian hilir akan tersumbat. Apa yang terjadi kalau tersumbat?
Pasti banjir di mana-mana.
Aku nggak habis pikir kenapa banyak yang
nggak peduli dengan kesehatan lingkungan, seolah-olah ledeng itu adalah tempat
sampah yang paling aman. Gak perlu mengangkut ke TPS, tinggal lempar dan sampah
pun hanyut.
“Iya
Pak,” kata pria itu. Sambil terus melaju. Sedangkan kotoran sapinya tetap
tercecer di jalanan dan semakin lama menipis karena dilindas ban kendaraan.”
Beberapa motor mengurangi laju
kendaraannya. Melewati tumpukan kotoran itu dengan perlahan-lahan takut roda
kendaraannya melindas kotoran itu.
Pemandangan yang aneka warna, antara
orang-orang yang tak lagi peduli dengan kebersihan kampung dan kerusakan alam. Orang-orang
yang terlalu memikirkan betapa mudahnya membuang kotoran di sekitar, tanpa
memikirkan akibatnya. Sama seperti mulut-mulut kita, yang begitu mudahnya membuang
kotoran di media sosial, seakan-akan semuanya tidak ada efeknya bagi
orang-orangnya yang mendengarnya.
Yang penting, aku tak mau jadi seperti
sapi-sapi itu, yang tak tahu malu menunjukkan ketidak mengertiannya dengan
membuang kotoran di jalanan. Malu jika disamakan dengan sapi-sapi itu. Malu dengan
anak cucuku nanti.
Komentar